Sumber gambar: https://www.coretanzone.id

Oleh: Zaenal Karomi*

Shalat sunnah, dalam bahasa Arab biasa dikenal dengan shalat an Nafl. Secara etimologi, an nafl berarti tambahan. Sedangkan menurut terminologi fikih adalah shalat yang dianjurkan untuk dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Rendahnya kualitas shalat fardhu bisa saja terjadi karena sulitnya khusyu’ atau kosentrasi ketika melaksanakan shalat. Meskipun badan terkesan khusyu’ tetapi hati dan pikiran bisa saja di mall Ramayana, di pantai, bahkan teringat soal makanan. Lebih dari itu shalat fardhu terkesan hanya menggugurkan kewajiban saja sehingga makna ubudiyyah kita kepada Allah ketika shalat sangat minim sekali.

Di saat demikian, lantas apakah yang akan kita banggakan dengan amal shalat kita? Di sinilah salah satu faidah shalat sunnah sebagai unsur penyempurnaan kekurangan dalam shalat fardhu. Bahkan kelak di akhirat shalat sunnah dapat difungsikan sebagai pengganti shalat fardhu yang pernah ditinggalkan kala di dunia. Setiap 70 rakaat shalat sunnah bernilai satu shalat fardhu. [1] Begitulah pentingnya shalat sunnah dalam Islam sehingga Nabi sangat menganjurkan untuk melaksanakannya.

Ditinjau dari segi pelaksanaanya, shalat sunnah terbagi menjadi dua bagian yaitu shalat sunnah yang tidak dianjurkan dengan berjamaah, seperti shalat rawatib, shalat tahajjud, shalat hajat, dan lain-lain. Yang selanjutnya, shalat sunnah yang dianjurkan dikerjakan dengan berjamaah, yaitu shalat idul fitri, idul adha, shalat gerhana, shalat tarawih, dan shalat istisqa’.

Sebagai permulaan akan diterangkan terlebih dahulu shalat sunnah rawatib. Shalat rawatib adalah shalat sunnah yang dikerjakan mengiringi shalat fardhu, baik sebelum pelaksanaan fardhu (qabliyyah) atau sesudahnya (ba’diyyah). Shalat sunnah ini dibagi menjadi dua bagian; shalat sunnah rawatib yang muakkad (sunnah yang dilakukan Nabi secara ajeg, beliau tidak pernah meninggalkannya baik itu di rumah maupun perjalanan)dan ghoiru muakkad (amalan Nabi yang tidak selalu Nabi laksanakan pada setiap saat, namun kadang-kadang melaksanakannya, kadang-kadang juga meninggalkannya). Menurut para ulama, shalat sunnah tersebut dianjurkan untuk melaksanakannya. Terlebih shalat sunnah rawatib yang muakkad, karena terkandung beberapa keistimewaan yang luar biasa. Bahkan Nabi sendiri secara istikamah dalam melaksanakan shalat tersebut.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam literatur kitab fikih shalat sunnah rawatib muakkad adalah dua raka’at sebelum shalat Subuh, dua raka’at sebelum shalat Dhuhur/Jum’at, dua raka’at setelah Dhuhur/Jum’at, dua raka’at setelah shalat Maghrib, dan dua rakaat setelah shalat Isya’. Sedangkan yang ghairu muakkad adalah empat raka’at sebelum shalat Ashar, dua rakaat sebelum shalat Maghrib, dan dua raka’at sebelum shalat Isya, dua raka’at sebelum shalat dhuhur dan setelahnya (sebagai tambahan yang muakkad). Shalat-shalat tersebut memiliki keutamaan yang dijelaskan dalam hadis berikut ini:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرُمَ عَلَى النَّارِ » قَالَ أَبُو دَاوُدَ رَوَاهُ الْعَلاَءُ بْنُ الْحَارِثِ وَسُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى عَنْ مَكْحُولٍ بِإِسْنَادِهِ مِثْلَهُ

Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “barangsiapa yang menjaga shalat sunnah empat rakaat sebelum shalat dhuhur dan empat rakaat setelahnya maka diharamkan bagi orang tersebut api neraka.”

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا

Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Allah akan memberikan rahmat kepada seorang yang (menjalankan) shalat sebelum ashar sebanyak empat raka’at (pengerjaannya dua raka’at dua rakaat dan dua salam).”

حدثنا محمد بن عبيد الغبري حدثنا أبو عوانة عن قتادة عن زرارة بن أوفى عن سعد بن هشام عن عائشة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال  ركعتا الفجر خير من الدنيا وما فيها

Dari Aisyah dari Nabi shallahu ‘alaihi wassalam, beliau bersabda: “dua rakaat (sebelum) shalat fajar lebih baik dari dunia seisinya.”

Demikianlah keterangan sebagian keutamaan menjalankan shalat sunnah rawatib. Semoga kita diberikan keistikamahan dalam menjalankannya sebagaimana yang Rasulullah praktikan. Amiin yaa rabbal ‘alamiin. Wallahu ‘alam bisshowab.

*Santri Putra Pesantren Tebuireng.


[1] Hasyiyah al Baijuri ala Ibnu Qasim, juz 1, halaman 131