Oleh: Seto Galih P*
إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
“Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.”
Dikutip dari buku Fiihi Ma Fiihi karya Maulana Jalaluddin Rumi bahwasannya diterangkan dalam sebuah hadits qudsi, “Hai para tawanan, jika kalian berpaling pada keyakinan yang dulu, memandangku dengan khauf (rasa takut) dan raja’ (penuh harap), dan menyadari bahwa diri kalian berada dalam kendaliku, maka aku membebaskan kalian dari rasa takut itu. Aku juga akan mengembalikan semua harta yang dirampas saat perang dan kerusakan yang telah terjadi, bahkan akan aku lipatgandakan dengan sesuatu yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Akan aku ampuni kalian dan akan aku gabungkan kebahagiaan dunia dan akhirat untuk kalian.”
Dalam hadits qudsi di atas, secara tersurat tertuju kepada para tawanan. Hadits qudsi artinya hadits yang redaksinya dari Allah langsung, namun bukan termasuk dalam ayat Al Quran. Hadits qudsi di atas bagi tawanan yang berpaling pada keyakinan yang dulu dalam artian, jika mereka menghendaki untuk berpaling pada keimanannya. Ini bisa tertuju kepada tentara muslim yang menjadi tawanan musuh dan bisa saja dipaksa untuk keluar dari keimanannya yag dahulu. Maka Allah memerintahkan untuk memandang dan memperkuat rasa takutnya kepada Allah bukan pada musuh. Inilah yang dinamakan khauf. Setelah itu memandang dengan raja’ atau penuh harap kepada Allah bukan menaruh harap kepada musuh agar membebaskannya. Setelah itu dimiliki maka ia akan menyadari bahwa dirinya dalam kendali Allah dan menyerahkan kepadanya.
Inilah 3 unsur yaitu khauf, raja, dan tawakal. Ketika ini digabungkan, maka aka ada power yang luar biasa. Tawanan diatas bisa digambarkan kepada orang yang sedang bermasalah atau terkena musibah dan orang yang sedang berusaha atau ingin mewujudkan cita-citanya. Seseorang ketika memiliki hajat, maka ia akan memintanya kepada Allah. Ini belum cukup karena harus dengan rasa takut. Ketika rasa takut ada, maka hamba tersebut sadar akan kehambaannya dan takut bila tak diperhatikan oleh sang maha pencipta. Dari situ muncul sifat raja atau berharap kepada Allah, yang akhirnya menumbuhkan rasa berserah diri karena merasa dirinya dalam kendalinya.
Dari konteks ayat diatas yang terdapat pada Al Quran surah Yusuf ayat 87, Allah memerintahkan kita untuk selalu mengharapkan rahmat dari Allah yang selalu diberikan kepada para hambanya, mengharapkan rahmat dari Allah yang selalu diberikan kepada para hambanya, hanya saja dalam tempo waktu yang tidak ditentukan. Berputus asa tidak diperbolehkan dalam Islam. Bahasa lainnya pesimis. Menyerah sebelum melangkah, seperti itu pepatah mengatakan. Sebaliknya Islam atau agama menganjurkan untuk optimis khusunya dalam hal kebaikan. Ketika seseorang menyingkirkan pesimis dalam dirinya, maka akan mudah untuk melangkah. Berbeda dengan orang pesimis yang mikir-mikir/lama berpikir untuk melangkah dan akhirnya tidak mau melangkah karena memandang resiko bukan peluang.
KH. Musta’in Syafi’i mengatakan bahwa orang yang sukses ialah yang memandang kepada peluang bukan resiko atau kegagalan. Contoh seseorang ingin menjual pakaian, tetapi ia berpikir cukup lama menghitung-hitung modal, hasil, dan rugi, kemudian ia berfokus kepada rugi yang didapatnya bila ia menjual pakaian tanpa adanya survei dan analisis. Akhirnya ia membatalkan niatnya untuk berbisnis pakaian. Padahal bila ia terus melakukan atau mewujudkan idenya, ia akan menjadi pembisnis sukses sampai bisa mendirikan toko atau perusahaan sendiri. Ini sangat disayangkan. “Sesulit apapun jalannya, jangan pernah berfikir untuk menyerah. Karena, kamu tidak akan tahu apa yang sedang menantimu diujung perjuangan nanti”.
Penyebab utama kegagalan adalah tidak percaya dan su’udzan kepada Allah Ta’ala. Dalam suatu hadits disebutkan:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي ، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ، ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي ، وَإِنْ ذَكَرنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ )) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada itu (kumpulan malaikat).” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 6970 dan Muslim, no. 2675]
Maka Allah Ta’ala akan memberikan apa yang disangka oleh hambanya. Contoh, seseorang hamba berdoa agar diberi mobil. Tapi dengan ragu-ragu ia berpikir “Dari mana aku bisa mendapatkan mobil?” dan yang terjadi ialah hamba itu tidak dikabulkan doanya karena tidak bersungguh-sungguh dalam berdoa.
*Siswa Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng Jombang.