Firman Allah dalam al-Quran surat An-Nisa’ ayat 43:

يَاأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُواْ مَا تَقُولُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati shalat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar akan apa yang kamu ucapkan.”

Ayat ini sering dipahami sebagai dasar syarat shalat. Shalat tidak boleh dilakukan dalam keadaan mabuk. Karena niat dan ucapan orang mabuk tidak dianggap, sehingga menjadikan rukun-rukun dalam shalat tidak bisa terlaksana.

Selain landasan syarat shalat, ayat ini juga memiliki cerita historis yang berkaitan dengan khamr (minuman memabukkan). Ayat ini merupakan salah satu bentuk larangan meminum khamr yang dilakukan secara bertahap. Dengan turunnya ayat ini, para sahabat Nabi Muhammad hanya meminum khamr setelah melaksanakan shalat Isya’. Di siang hari mereka akan menahan, karena waktu shalat yang saling berdekatan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tapi mungkinkah ayat tersebut tidak bisa dikontekstualisasikan pada keadaan kita selama ini?

Mari kita lihat dari kacamata tasawuf. Ayat tersebut memunculkan larangan melakukan shalat dalam keadaan mabuk. Mabuk di sini sebenarnya tidak terbatas pada mabuk karena meminum khamr, melainkan juga bisa diartikan dengan mabuk dunia, mabuk cinta, dan mabuk-mabuk lain.

Hal ini bisa terindikasi dengan banyaknya kejadian orang shalat yang tidak menyadari dan memahami apa yang sedang lakukan dan baca. Banyak orang shalat yang melakukannya dengan otomatis, karena gerakan dan bacaanya sudah dihafal. Tahu-tahu sudah salam. Tanpa disadari itulah yang kita alami.

Maka Allah SWT mewanti-wanti dengan kalimat حتى atau dalam bahasa Arab diistilahkan sebagai غاية  “Sampai kalian menyadari apa yang kalian baca…”, atau dalam ayat lain disebutkan:

وَأَقِمِ ‌الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

dirikannlah shalat untuk mengingatku.” (Q.S. Taha: 14).

Ayat ini berisi perintah untuk melaksanakan shalat untuk mengingat Allah. Lalu bagaimana bisa dianggap melaksanakan shalat kalau sedang dalam keadaan lalai. Cukup dari dua ayat ini saja, sudah terlihat apa yang umumnya kita lakukan: Shalat yang otomatis. Otomatis takbir, otomatis membaca surah Al-Fatihah, sampai otomatis salam.

Tak heran, tujuan shalat yang disampaikan sebagai pencegah kemunkaran tidak tercapai:

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Bacalah Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Ankabut : 45).

Dalam ayat tersebut ada penghubungan antara tujuan shalat dengan mengingat Allah. Tanpa mengingat, maka tujuan shalat pun tidak terlaksana.

Maka, inilah yang disebut oleh para ulama sebagai khusyuk. Hal ini sedemikian penting, sampai-sampai ada sebagian ulama yang menghukumi salat tidak sah bila dilakukan tanpa khusyuk.

Di antaranya ialah Imam Al-Ghazali. Menurut beliau khusyuk merupakan syarat shalat. Karena tujuan utama dari shalat adalah mengingat. Tanpa khusyuk maka makna substansial dari shalat tidak didapatkan dan gerak-geriknya hanya sebatas gerakan yang tidak bermakna. Lantas apa yang membedakan sujud ke berhala dan ke Allah SWT kalau bukan hati yang ikhlas beribadah karena Allah.


Refrensi: Ihya’ Ulum Ad-Din


Ditulis oleh Muhtaddin Rahayu, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Malang