ilustrasi: kompas.com

Oleh: Fitrianti Maryam Hakim*

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut bahwa pandemi virus Corona kini telah menjadi krisis Hak Asasi Manusia (HAM). PBB menyebut banyak diskriminasi yang dialami banyak orang adalah diakibatkan Corona.

Sebagaimana informasi yang dilansir dari Associated Press (AP) News, Kamis (23/4/2020) Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa pandemi Corona adalah “krisis manusia yang dengan cepat menjadi krisis Hak Asasi Manusia.” Dia mengatakan dalam sebuah video bahwa ada diskriminasi dalam pengiriman layanan publik untuk mengatasi Covid-19 dan ada “ketidaksetaraan struktural yang menghambat akses ke mereka.”

Berkenaan dengan penanganan Covid-19 oleh Pemerintah Indonesia, Komisi untuk orang hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dalam website resminya mengatakan, bahwa mereka telah melakukan pemantauan terhadap pemenuhan kewajiban negara dalam memenuhi, melindungi, dan menghargai Hak Asasi Manusia, termasuk penghormatan terhadap prinsip demokrasi dalam penanganan Covid-19.  KontraS mencatat, sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia selama pandemi Covid-19 (Januari – April 2020), antara lain sebagai berikut:

Hak atas Standar Kesehatan Tertinggi

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pada pertengahan bulan Maret 2020, KontraS melakukan pemantauan lebih melalui pembukaan kanal pengaduan publik terkait kualitas pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan penanganan Covid-19 melalui RS rujukan Covid-19. Dalam pemantauan ini, KontraS menemukan bahwa berbagai Rumah Sakit rujukan memiliki sejumlah permasalahan, seperti akses informasi yang minim, kekurangan tenaga medis, kekurangan sarana dan prasarana penunjang pelayanan kesehatan, dan tidak ada prosedur khusus untuk pasien yang ingin melakukan tes Covid-19. Sementara layanan bagi masyarakat untuk mendapatkan layanan test PCR juga masih minim karena masih terbatasnya penyelenggaraan dan akses yang tersedia.

Sedangkan, akses terhadap pelayanan kesehatan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia secara keseluruhan. Prinsip dasar terhadap pemenuhan hak atas kesehatan berdasarkan General Comment Nomor 14 Tahun 2000, negara wajib memerhatikan ketersediaan, aksesibilitas, penerimaan, dan kualitas atas layanan kesehatan kepada masyarakat. Persiapan dan penanganan yang minim ini, bisa berdampak pada tidak terkontrolnya angka penyebaran, penularan, serta penanganan Covid-19 di masyarakat.

Hak atas Informasi

Dalam konteks penanganan pandemi, informasi yang valid, terpercaya, dan terus diperbaharui mengenai situasi pandemi serta penanganannya wajib dipenuhi dan diberikan kepada publik tanpa terkecuali. Hal itu sangat penting karena di tengah ketiadaan vaksin, keselamatan warga tergantung pada informasi tentang upaya pencegahan dan pengendalian perilaku individu. Namun, pada awal penyebaran Covid-19, pemerintah justru melakukan hal yang sebaliknya. Keterlibatan Badan Intelenje Negara (BIN) melalui operasi senyap, penyampaian informasi yang tidak utuh, penyangkalan dan inskonsitensi pernyataan dan informasi para elit politik dan pejabat negara terhadap kerentanan dan penanganan kedaruratan Covid-19 di Indonesia justru memperburuk krisis dan menimbulkan ketidakpastian, ketidakjelasan penanganan krisis.

Hingga Maret, pemerintah menutupi informasi mengenai sebaran daerah merah. Hal ini yang menyulitkan tidak hanya publik, tapi juga pemerintah daerah untuk mengambil tindakan pencegahan yang efektif dan memadai. Ketertutupan atas informasi, justru telah memberikan sinyal dan arah yang keliru untuk public dalam melakukan penanganan terhadap Covid-19.

Sehingga menyebabkan sejumlah kasus yang membahayakan kesehatan dan pelanggaran hak asasi menjadi dampak dari tidak terpenuhinya hak atas informasi. Diantaranya adalah prosedur penggunaan disinfektan, penggunaan obat-obatan, dan suplemen yang tidak disarankan, pelanggaran privasi hingga praktik diskriminasi seperti penolakan pemakaman jenazah yang terpapar Covid-19.

Hal ini bertolak belakang dengan kewajiban menyampaikan informasi dari sejumlah peraturan seperti pasal 154 Jo. 155 UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang menyatakan bahwa pemerintah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan menyebar dalam waktu singkat, serta Pasal 9 ayat (2) huruf d UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan pasal-pasal lainnya.

Hak atas Fair Trial

Banyak wilayah yang belum menerapkan status PSBB yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, aparat keamanan dengan tindakan yang sewenang-wenang melakukan aksi-aksi pembubaran, hal ini bertentangan dengan jaminan hak kebebasan berkumpul, dimana hak kebebasan berkumpul dijamin oleh undang-undang dan dapat dibatasi sesuai dengan standar hukum dan HAM.

Karena Pembatasan Sosial Bersekala Besar, yakni khususnya yang terkait dengan pembatasan berkumpul, mengacu pada aturan perundang-undangan, hal ini jelas bahwa penerapan PSBB suatu wilayah haruslah berdasarkan penetapan dari Menteri Kesehatan berdasarkan permohonan dari Kepala Daerah, sehingga tidak serta merta dengan dalil PSBB yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, dijadikan alat dan tafsir serampangan oleh aparat keamanan untuk melakukan tindakan pembubaran.

Covid-19 memanglah ujian bagi masyarakat, pemerintah, komunitas, dan individu. Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di seluruh spektrum, termasuk hak ekonomi, sosial, budaya, dan sipil dan politik, akan menjadi fundamental bagi keberhasilan respons kesehatan masyarakat dan pemulihan dari pandemi. Pandemi global Covid-19 tidak boleh dan tidak bisa menjadi alasan bagi setiap negara untuk membuat kebijakan yang bersifat represif dan melanggar Hak Asasi Manusia.

Dengan ini membawa harapan kepada pemerintah perlu mengambil tindakan untuk mengurangi dampak terburuk Covid-19 pada pekerjaan, mata pencaharian, akses ke layanan dasar, dan kehidupan keluarga. Guterres mengatakan tindakan darurat apa pun -termasuk keadaan darurat- harus “sah, proporsional, perlu dan tidak diskriminatif, memiliki fokus dan durasi spesifik, dan mengambil pendekatan yang paling tidak mengganggu yang mungkin dilakukan untuk melindungi kesehatan masyarakat.”

Dalam tindakan apapun pemerintah untuk mengedepankan HAM, nilai dan prinsip negara hukum dan demokrasi dalam setiap kebijakan yang keluarkan dan dijalankan dalam penanganan pandemi Covid-19; yaitu pengurangan atau pembatasan penikmatan Hak Asasi Manusia harus dilalukan dengan mengikuti ketentuan instrument hukum nasional dan internasional yang telah diratifikasi pemerintah.

Sumber: Dilansir dari web resmi KontraS dan sumber web lainnya.

*Alumni Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.