Sama dengan Belanda, awalnya Jepang melakukan represi kuat terhadap para ulama’ di Indonesia. Lantaran kedudukan kiai sangat berpengaruh pada periode pra-kemederdekaan Indonesia. Apalagi pada saat itu ada dua ormas Islam besar, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Bahkan, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari sempat ditahan selama 3 bulan lantaran beliau tidak mau melakukan saikeirei (membungkuk menghadap matahari).
Hal itu dilakukan Jepang dalam hal ini Dai Nippon karena ketidakpahaman mereka terhadap kondisi umat Islam Indonesia di bawah pengaruh NU dan Muahmmadiyah. Ketika tiba di Jawa pada 1 Maret 1942, Jepang hanya tahu bahwa Islam punya potensi anti-Barat yang sangat kuat. Jepang tidak paham besarnya pengaruh NU di masyarakat.
Kurangnya pengetahuan tentang peta politik ormas Islam Indonesia juga yang membuat Jepang memilih untuk menghidupkan MIAI pada bulan September 1942. Selain itu, tokoh MIAI dari PSII, Wondoamiseno, memberikan informasi bahwa PSII dan Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang paling bagus serta merekomendasikan untuk tidak memilih NU. Karena menurut dia, “NU terdiri dari orang-orang yang buta huruf, fanatik dan tidak berpendidikan”. Atas dasar ini, Jepang memilih menghidupkan kembali MIAI dan memindahkan markas MIAI dari Surabaya ke Batavia.
Meski pada akhirnya Dai Nippon mulai percaya pada kiai. Semuanya bertujuan untuk memperalat kelompok Islam untuk tujuan utama mereka. Yaitu memengaruhi masyarakat bawah agar bisa dimobilisasi untuk kepentingan melawan sekutu di Perang Dunia ke-2. Karena tujuan ini pula, mulai bulan Desember 1942 hingga Februari 1943, ketua Shumubu pertama, Kolonel Horie membuat serangkaian pertemuan dengan para kiai dari berbagai daerah. Mereka dijamu dengan bagus dan pendapat mereka didengar pemerintah kolonial Jepang. Dari beberapa pertemuan ini, Jepang secara resmi berpendapat bahwa kiai bukan saja tokoh agama, tetapi juga tokoh politik.
Maka mulai bulan Juli 1943, Jepang melaksanakan program pelatihan ribuan kiai yang mana sebagian besar dari mereka adalah anggota NU. Salah satu tujuan dari pelatihan ini adalah agar para kiai mendukung Jepang serta mendeklarasikan perang melawan sekutu sebagai jihad fi sabilillah.
Pada akhirnya, kebijakan ini secara umum bisa dikatakan berbeda dengan Belanda yang berusaha netral dalam urusan agama. Sedangkan Jepang, punya kecenderungan memihak umat Islam untuk tujuan politik tertentu.
Perubahan respon Nippon terhadap kiai, pada awalnya membekukan ormas Islam pada akhirnya memberikan ruang terhadap ormas Islam. Hal ini menurut Kobayashi Yasuko, ada satu tokoh Muslim Jepang dibalik perubahan kebijakan itu. Dia adalah Abdul Hamid Ono yang menikah dengan orang Jawa dan tinggal beberapa lama di Surabaya. Ono pula yang menyarankan Jepang untuk memberi perhatian lebih kepada NU dan kiai. Menurut Ono, kiai mempunyai peran dan pengaruh penting di masyarakat. Ono memberikan 5 rekomendasi kepada Jepang untuk kebijakan terkait Islam:
- Biarkan masyarakat Jawa bebas melaksanakan agama Islam.
- Untuk kalangan konservatif (NU), berikan kepercayaan secara penuh kepada kiai karena popularitas mereka, dan jadikan mereka boneka.
- Untuk kalangan progresif (Muhammadiyah), wajibkan program bahasa Jepang di sekolah Muhammadiyah).
- Lakukan Jepangisasi melalui disiplin militer.
- Perhatikan hal-hal yang menimbulkan kebencian terhadap orang kafir (asing).
Kepercayaan Jepang MIAI pada saat itu cukup tinggi. Namun karena MIAI dicurigai punya gelagat memberontak, yakni lantaran pendirian Baitul Mal di berbagai provinsi adalah tindakan yang tidak bisa dibiarkan. Apalagi visi MIAI mulanya adalah melawan penjajah Belanda. Sehingga 24 Oktober 1943 MIAI dibubarkan.
Setelah MIAI bubar, pada 22 November 1943 Jepang mendirikan Masyumi. Sebagai antisipasi terhadap kejadian pembubaran MIAI, Jepang melalui Shumubu (Kantor Urusan Agama) yang mengatur kepengurusan Masyumi. Shumubu menetapkan KH. M. Hasyim Asy’ari sebagai ketua Masyumi. Untuk struktur kepengurusan, Hadratussyaikh dipilih sebagai ketua besar. Mendampingi Hadratussyaikh, adalah ketua muda I yang diisi oleh KH. Mas Mansur dan ketua muda II oleh KH. Wahid Hasyim.
Dari struktur keseluruhan, bisa dilihat bahwa pengurus harian Masyumi hanya diisi oleh personil ormas Muhammadiyah dan NU. Di luar keduanya, sepertinya Jepang tidak memberikan ruang. Alasan mengapa kedua ormas ini yang diberi jatah posisi pengurus? Sepertinya Jepang belajar bahwa setelah hampir 16 bulan menjajah Indonesia, mereka mengetahui bagaimana besar peran kedua ormas ini di mata masyarakat, khususnya lagi Nahdlatul Ulama.
Ini pula alasan mengapa posisi ketua besar diberikan kepada Hadratussyaikh. Padahal beliau sebelumnya pernah dipenjara selama 3 bulan di tahun 1942. Jepang berharap ketokohan Hadratussyaikh di NU bisa membantu mereka memobilisasi rakyat utamanya berkaitan dengan kampanye mereka untuk menghadapi sekutu pada Perang Dunia ke-2.
Keputusan Jepang ini sepertinya menyesuaikan dengan rekomendasi Abdul Hamid Ono. Di mana dalam rekomendasinya, Ono mengatakan agar Jepang memberikan kepercayaan secara penuh kepada kiai karena popularitas mereka, dan jadikan mereka sebagai boneka.
Disarikan dari Artikal Muhammad As’ad, “Mengapa Jepang Memilih Hadratussyaikh: Analisa Sejarah Ditunjuknya KH. Hasyim Asy’ari Menjadi Ketua Masyumi” Tebuireng: Journal of Islamic Studies and Society Vol. 1, No.1, 2020.
Ditranskrip oleh Yuniar Indra