Oleh: Anisa Faiqotul Jannah*

KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menulis essainya yang berjudul Tata Krama dan ‘Ummatan Wahidatan, yang mana Gus Dur bercerita tentang fatwa KH. Hasyim Asy’ari perihal kentongan yang tidak diperkenankan untuk memanggil shalat dalam hukum Islam. Fatwa itu disampaikan oleh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, yang tak lain adalah kakek dari Gus Dur, juga dimuat di jurnal ilmiah bulanan Nahdlatul Ulama edisi perdana terbitan 1928.

Yang mendasari pendapat Hadratussyaikh tersebut adalah kelangkaan hadist nabi, yang disebut sebagai tidak adanya teks tertulis (dalil naqli) dalam hal tersebut, tulis Gus Dur, dikutip dari kumpulan esainya yang dibukukan The Wahid Institute dengan judul Islamku Islam Anda Islam Kita. Agama Masyarakat Negara Demokrasi (2006). Terlepas dari nama besar Kiai Hasyim, sebagai ulama bergelar Hadratusysyaikh dan pendiri sekaligus pimpinan tertinggi pertama Nahdlatul Ulama.

Singkat cerita, dalam artikel yang memuat fatwa soal kentongan Kiai Hasyim tersebut, tak lama kemudian Kiai Faqih dari Maskumambang Gresik menyanggah fatwa soal kentongan itu, lewat jurnal yang sama pada edisi bulan berikutnya. Kiai Faqih adalah wakil Kiai Hasyim. Beliau juga salah satu ulama besar yang turut mendirikan NU.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam dunia demokrasi kita kenal adanya prinsip kebebasan berpendapat. Kata dibalas kata, tulisan dibalas tulisan. Ternyata, prinsip itu sudah berlaku di NU hampir seabad lalu, 17 tahun sebelum Indonesia merdeka, 80 tahun sebelum munculnya UU ITE.

Saat itu, Kiai Faqih menulis dalam artikelnya bahwa kentongan bisa dianalogikan kepada beduk sebagai alat pemanggil shalat. Maka itu, beliau berpendapat kentongan mestinya tidak dilarang.

“Karena beduk diperkenankan, atas adanya sumber tertulis (dalil naqli) berupa hadis Nabi Muhammad SAW mengenai adanya atau dipergunakannya alat tersebut pada zaman Nabi, maka kentongan pun harus diperkenankan,” tulis Gus Dur menyitir pendapat Kiai Faqih.

Bukannya tersinggung oleh artikel Kiai Faqih, Kiai Hasyim justru memanggil ulama se-Jombang dan para santri seniornya untuk berkumpul di Pesantren Tebuireng. Kemudian, beliau meminta agar tulisannya dan tulisan Kyai Faqih dibacakan.

Setelah itu, para ulama dan santri dibebaskan memilih kentongan atau beduk sebagai alat pemanggil shalat. Sekali lagi, prinsip demokrasi dijalankan di sini. Kiai Hasyim menghargai ‘kebenaran’ yang diyakini Kiai Faqih dan tak memaksakan orang lain agar mengikuti ‘kebenaran’ yang diyakininya.


*Mahasiswi Universitas Hasyim Asy’ari