KH. Salahuddin Wahid (Gus Sholah) saat memberikan sambutan dalam acara seminar nasional memperingati Haul ke-10 Gus Dur, di Pesantren Tebuireng. (Foto: Aqilla)

Tebuireng.online— Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur KH Salahuddin Wahid menyoroti kerancuan makna kata radikalisme dan radikal. Pernyataan ini menyoroti rencana Presiden Joko Widodo yang akan memberikan perhatian lebih pada penyelesaian isu radikalisme Islam dalam lima tahun kedepan bersama Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin.

Sayangnya, kata radikal yang dimaksud Joko Widodo tidak terlalu jelas dan menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat.

“Hal ini bisa dilihat di berbagai media yang banyak terdapat perbedaan pendapat tentang istilah dan pengertian radikal dan radikalisme,” kata tokoh Nahlatul Ulama yang biasa disapa Gus Sholah ini.

Gus Sholah menyampaikan pendapatnya saat hadir pada Seminar Nasional Silang Pendapat Makna Radikalisme di Gedung KH M Yusuf Hasyim lantai 3, Sabtu, (21/12/19). Seminar ini merupakan rangkaian haul ke-10 Gus Dur.

Gus Sholah pun bercerita bahwa pada tanggal 19 Oktober 2019 lalu ia diundang mengisi acara di Universitas Atma Jaya Serpong. Panitia yang menyambutnya saat itu memakai kaos yang bertuliskan nasionalis yang radikalis.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Saya tanya apa maksudnya, mereka menjawab nasionalisme yang sungguh-sungguh. Artinya dalam istilah itu mengandung makna positif. Kalau yang negatif ultra nasionalisme,” jelasnya.

Cucu KH M Hasyim Asy’ari ini menyayangkan dalam pengertian Islam radikal, kata radikal seringkali menjadi negatif. Terdapat simpang siuran makna kata radikal di Indonesia.

“Saya pernah bertanya pada guru besar di Institut Teknologi Bandung (ITB) apakah benar radikalisme di ITB sangat mengkhawatirkan. Menurutnya kelompok radikal memang ada tapi tidak mengkhawatirkan,” tambahnya.

Bila berangkat dari UU pemberantasan tindak terorisme, di sana disebutkan bahwa obyek derakalisasi adalah mereka yang sudah terpapar terorisme. Untuk warga yang belum terpapar terorisme tidak disebut istilah deradikalisasi tapi kontra radikalisasi.

“Ketua Muhammadiyah Haidar Natsir menyebutkan menyelesaikan radikalisme dengan deradikalisme sama saja memilih jalan radikal. Sebaliknya diganti dengan istilah moderisasi Islam sebagai alternative. Jokowi juga mengusulkan istilah manipulator agama, namun istilahnya kurang diminati ” ungkapnya.

Gus Sholah mengutip pernyataan Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur yang mengatakan definisi kata radikalisme yang digunakan pemerintah tidak jelas. Efeknya, seseorang yang taat beragama begitu saja dianggap pendukung radikalisme dalam arti negatif atau karena cara berpakaiannya berbeda dianggap radikal.

Gus Sholah juga mengajak masyarakat menalaah tulisan Direktur Aliansi Indonesia Damai Hasibullah Satrawi di Kompas yang menyebutkan sebagai sebuah masalah, radikalisme tidak dipahami sama oleh berbagai pihak apalagi disepakati. Akhirnya radikalisme jadi konsep liar, multi tafsir dan cenderung jadi penghakiman bagi pihak lain sekaligus pembersih diri sendiri.

Bahkan belakangan istilah ini semakin kontroversi, ada yang menggunakan kata radikalisme padahal yang dimaksud adalah terorisme. Pihak lain menggunakan istilah radikalisme untuk intoleransi, anarkisme, serta penolakan pada pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Di balik istilah radikalisme, ada kegagalan mendefinisikan beberapa inti persoalan dengan tepat, akurat dan disepakati bersama,” tegas Gus Sholah.

Selama ini banyak yang mengatakan bahwa intoleransi bisa meningkat jadi radikalisme lalu terorisme. Dalam kenyataannya, tidak selamaya begitu. Sebagian orang jadi teroris tanpa melalui radikalisme sebaliknya tidak selalu pengikut radikalisme itu terorisme.

“Karena makna radikalisme yang rancu maka deradikalisasi juga memiliki masalah yang sama, sama-sama rancu,” tandasnya. 

Pewarta: Syarif Abdurrahman