sumber ilustrasi: rri.co.id

Subkulturalisme di Pesantren

Oleh: M. Abror Rosyidin*

Pesantren dikenal sebagai Lembaga Pendidikan Islam yang santun dan merawat budaya ketimuran yang islami. Selain karena ia merupakan Lembaga Pendidikan Islam yang dianggap paling senior dalam sejarah bangsa, pesantren dianggap sebagai tempat suci, penuh berkah, dan tentunya teladan-teladan para kiai dan santri-santrinya. Pesantren dianggap sebagai subkultur dalam tatanan sosial masyarakat. Dalam Bahasa Gus Dur, pesantren dengan keunikan itu, mampu bertahan berabad-abad untuk menciptakan dan mempergunakan nilai-nilainya sendiri. Padahal dari era ke era, gempuran kultural terus bertubi-tubi datang, tetap tata nilai yang dianut pesantren terus berjalan.

Pesantren juga dianggap dapat melakukan dua pola secara mandiri, yaitu peniruan dan pengekangan. Pola pertama, yaitu peniruan di mana kiai dan pengurus yang membantunya, membentuk iklim kehidupan di pesantren yang meniru Rasulullah SAW, para sahabat, dan para ulama. Peniruan ini bisa diilhami dari hadis-hadis Nabi, atau tulisan-tulisan para ulama yang terkodifikasi dalam kitab-kitab kuning. Dari sini budaya-budaya khas diambil lalu diejawantahkan sebagai budaya pesantren, seperti berkah atau barokah, ketaatan, adab, kesantunan, akhlak mulia, dan lain sebagainya.

Kedua, unsur pengekangan, di mana pesantren juga punya tata nilai yang dibentuk sendiri melalui peraturan-peraturan pondok. Selain pola ini bisa digunakan untuk mendukung pola pertama, tentunya ini juga dipakai sebagai legitimasi untuk mengatur santri sebagai bentuk tanggungjawab terhadap orang tua yang menitipkan anaknya. Pengenkangan ini juga bisa disebut sebagai penciptaan disiplin sosial yang ketat di pesantren. Hal ini didukung oleh herarki pesantren yang menganut budaya sentralistik, di mana kiai adalah figure yang paling dihormati dan ditaati. Setiap pelanggaran terhadap aturan memiliki konsekuensi mekanis yang sudah diatur. Mulai dari yang fisik dan non fisik.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Hukuman Fisik dan Non Fisik

Hukuman fisik memang tidaklah menjadi prioritas utama, artinya selama hal tersebut dapat mendidik, maka pesantren dapat mengambilnya, misalnya yang masih ditemukan adalah jalan jongkok ke masjid ketika telat shalat jamaah; push up, lari-lari, penggundulan, bersih-bersih dll. Namun hukuman non fisik juga menjadi alternatif pendidikan, misalnya membelikan kebutuhan bahan bangunan, denda, membaca al-Quran sekian juz dengan berdiri, menulis kalimat thayyibah dalam jumlah tertentu, dikalungkan papan nama sebagai santri pelanggar, dll.

Paling ujung dari hukuman itu biasanya ada di “pengusiran dari pondok” atau pemboyongan paksa. Semua hukuman itu, dilakukan oleh otoritas yang berwenang, biasanya disebut qism amni (pengurus keamanan), bagian ketertiban, atau sejenisnya berbeda-beda penyebutannya di setiap pesantren. Maksudnya, tidak semua elemen di dalam pesantren berhak dan dibenarkan melakukan penghakiman sendiri, sebagaimana polisi sebagai pihak berwenang terhadap tindak kejahatan. Sementara warga sipil tidak dibenarkan melakukan penghakiman fisik sendiri. Berbeda lagi jika penghakiman secara sosial, misal pengucilan dll.

Kita harus membedakan hukuman fisik yang mendidik dengan yang tidak mendidik. Misalkan penulis saat di pesantren dulu pernah dipukul sorban kiai, karena tidur saat jamaah Subuh, atau kawan penulis yang dipukul sajadah karena ketahuan bermain PS di sekitar pesantren. Telat masuk sekolah juga disuruh loncat-loncat, jalan jongkok, atau push-up. Dipukul guru dengan kemucing karena ramai di kelas, atau sekadar dibentak karena malam-malam ramai dan belum tidur di jam malam.

Penerapan hukuman melalui fisik, juga bisa dilihat dari jenis pesantren. Sebagaimana Gus Dur mengklasifikasikan menjadi 3; pesantren salaf, pesantren khalaf (modern), dan pesantren post-modern (perpaduan antara salaf dan khalaf). Karakteristik setiap pesantren juga berbeda. Salaf cenderung lebih condong tidak terlalu banyak mengakomodir peraturan. Sementara pesantren modern, terkenal sangat ketat, dan banyak aturannya, sehingga untuk mengurusinya diperlukan pengurus baik dari tenaga dengan usia di atas usia sekolah, maupun dari santri yang dicakup  dalam satu organisasi santri. Mereka ini menjadi kaki tangan pengurus pesantren untuk kinerja harian mengatur para santri. Pesantren yang ketat aturannya, cenderung lebih banyak memberikan hukuman fisik, walaupun ini masih sangat membutuhkan studi lanjut.

Namun, bagaimana jika hukuman fisik dilakukan oleh orang-orang yang tidak berwenang. Dipungkiri atau tidak, kasus-kasus kekerasan fisik di dalam pesantren perlu diteliti dan dievaluasi ulang. Belakangan ini mencuat kasus-kasus kekerasan fisik, baik atas nama penghakiman, atau hanya sekadar perselisihan yang berujung pada bullying dan kekerasan fisik, di pesantren. Atau bahkan lebih parah lagi, kekerasan seksual dilakukan di lingkungan pesantren, tempat yang dianggap “suci”. Lagi-lagi, jargon “sami’na wa atha’na” disalahgunakan oleh oknum guru dan kiai untuk kepentingan pribadi, bahkan untuk hal-hal yang melanggar hukum, baik hukum agama maupun negara.

Kasus Terbaru Kekerasan di Pesantren yang Mencuat

Kasus kekerasan seksual di pesantren sudah cukup banyak yang membahas, karena kasusnya juga telah viral beberapa waktu lalu. Pengamat-pengamat, dan para ahli sudah berhamburan keluar untuk mengkritisi system pesantren yang didominasi oleh kiai dan keluarganya. Namun, di sini, penulis lebih fokus pada kekerasan akibat bulliying, persitegang antar santri, superioritas senior, maupun tatacara penghukuman fisik di pesantren yang harus sudah ditinggalkan.

Maka pertama penulis memberikan gambaran kasus di sebuah pesantren di Desa Parau Sorat, Kec Batang Onang, Kab Padang Lawas Utara (Paluta) yang berujung wafatnya seorang santri Madrasah Tsanawiyah pesantren tersebut pada senin 23 Mei 2022. Pelaku juga merupakan santri di sana, dan sempat melarikan diri. Namun, pihak pesantren cukup koperatif, dan melaporkan kasus ini ke pihak berwajib.

Kedua, di salah satu pesantren di Jayanti Tangerang pada 07 Agustus 2022 lalu. Seorang santri meninggal setelah mengeluh sakit kepala akibat perkelahian dengan teman sesama santri. Motifnya sangat sepele, karena kesalapahaman di kamar mandi, di mana korban yang mencari temannya di kamar mandi, membuka pintu kamar mandi dan tidak sengaja mengenai tersangka, sehingga terjadi perkelahian. Korban meninggal saat dibawa ke klinik kesehatan dan dipastikan meninggal di rumah sakit terdekat.

Kasus selanjutnya, cukup berdekatan, dan sama-sama terjadi di Tanggerang. Namun kali ini terjadi di sebuah pesantren di Cipondoh. Berbeda dengan kasus di Jayanti yang diakibatkan perkelahian antar dua santri, sedangkan di Cipondoh dilakukan oleh 12 santri terhadap satu santri, artinya masuk kategori pengeroyokan. Motifnya adalah santri yang menjadi korban, kerap membangunkan seniornya dengan tidak sopan, sehingga mereka marah dan mengeroyok korban dalam kesempatan lain. Para tersangka kini tidak bisa lagi melanjutkan belajar di pesantren karena sudah dijadikan sebagai tersangka dan terancam tujuh tahun penjara.

Pada 2016 lalu, juga ada kasus di salah satu pesantren besar di Jombang. Seorang santri dikeroyok oleh 13 santri lain. Disinyalir karena korban suka melakukan pemalakan terhadap santri lain. Sehingga para korban pemalakan Menyusun strategi untuk membalas prilaku korban. Peristiwa ini gembar pada saat itu, karena sadisnya pengeroyokan, yang mana korban dikeroyok lebih dari satu kali.

Terbaru, pada bulan, ini muncul kasus penganiayaan di pesantren modern ternama di Indonesia. Di pesantren yang sangat terkenal ini, diduga terjadi penganiayaan bersifat komunal (pengeroyokan), terjadi. Bahkan korbannya sebenarnya tiga orang, kebetulan yang dua luka-luka dan satu orang meninggal. Naasnya ibu korban meninggal berbicara lantang di media, bahkan mengadu kepada pengacara kondang Hotman Paris Hutapea. Yang membuat semakin parah, jenazah di antar ke rumah dengan surat kematian tertera “kelelahan”. Ini bisa masuk pada pemalsuan data tindak pidana, atau “keterangan palsu”.

Namun, Ketika dicek oleh orang tua, ternyata ditemukan luka-luka akibat penganiayaan. Pihak pesantren tersebut akhirnya bersuara dan mengakui adanya penganiayaan dalam kasus ini. Pesantren mengucapkan maaf dan sudah mengeluarkan santri yang terduga melakukan penganiayaan. Kasus ini masih bergulir dan sedang ditangani kepolisian. Jika tidak segera ditangani secara baik, bisa saja muncul Sambo jilid 2 versi pesantren, berlarut-larut dan tidak jelas.

Lalu, Bagaimana?

Ada beberapa faktor menurut penulis yang perlu ditindaklanjuti. Pertama, perlu adanya riset yang komprehensif terkait kesehatan mental santri di pesantren. Apa betul santri-santri di pesantren tidak memiliki masalah-masalah yang berhubungan dengan mental. Betulkah setiap santri yang masuk pesantren mendapatkan jaminan spiritual yang menyehatkan mental. Maka perlu adanya riset yang didukung oleh elemen-elemen terkait, misal dari Kementerian Agama, RMI PBNU, Kemendikbudristek, Kemenko PMK, Komnas Perlindungan Anak, Komnas HAM, dan organisasi-organisasi santri.

Tanpa data yang jelas susah bisa dicarikan solusi yang mencerahkan. Pesantren masih belum familiar dengan riset, padahal hasil riset itu sangat membantu menentukan kebijakan. Banyak pesantren masih mengeneralisasi dawuh kiai, sebagai sumber utama informasi dan instruksional. Maka riset ini membantu membuka terhadap kondisi yang lebih real di lapangan yang barangkali luput dari kacamata pemangku pesantren. Langkah strategis berdasar pada asumsi bisa membahayakan pesantren sendiri.

Kedua, penugasan psikolog di pesantren-pesantren. Psikolog inilah yang membantu menangani santri-santri yang bermasalah. Santri yang mengalami perubahan sikap, atau terlibat dalam kasus-kasus  tertentu. Psikolog inilah nanti menjadi data base mental santri. Jadi, keamanan pondok tidak bertindak sebagai psikolog dadakan, ada psikolog asli yang membantunya. Semua harus dikembalikan pada keahlian masing-masing.

Ketiga, standarisasi usia dan kemampuan bagi santri-santri maupun pengurus yang menjadi kaki tangan kiai. Usia antara santri yang diurus dengan santri yang membantu menjadi pengurus juga harus diperhatikan. Usia yang berdekatan bisa mempengaruhi sikap dan prilaku interaksi antar pengurus dan yang diurus. Selain itu, harus ada standarisasi yang diatur secara jelas. Dengan tingkat senioritas yang cukup besar di pesantren, hal ini rawan terjadi overlapping tugas dan bertindak melampaui tugas, sebagaimana beberapa kasus di atas.

Keempat, keterbukaan informasi pesantren terhadap wali santri. Perlu ada digitalisasi informasi pesantren yang membahas secara terbuka kondisi santri di pesantren. Seperti kasus di pesantren di Ponorogo, di mana pemalsuan data dilakukan oleh pihak pesantren dan kebetulan ibu korban aktif di media sosial dan berani berbicara. Di era sekarang, orang berani tampil di publik untuk berkeluh kesah, bahkan berani menuding dan menyalahkan pihak lain. Dan pesantren harus siap terhadap perkembangan itu.

Agar tidak menjadi preseden buruk bagi pesantren. Walau dilakukan hanya segelintir santri, dan beberapa pesantren saja, orang akan melihat kasus ini sebagai sesuatu yang makro dan besar. Beberapa pengamat dan para ahli pun sebentar lagi bermunculan ikut berkomentar. Jika pihak terkait tak mampu menjelaskan dan berbicara banyak untuk mencegah terjadinya hal ini lagi, akan menjadi gunung es yang kapan saja bisa mencair dan menjadi banjir air es yang menutupi cekungan-cekungan problematika di aliran perjalanan pesantren.

Orang tua memasukkan anak ke pesantren dengan tujuan yang baik, maka tugas pesantren dan pihak-pihak terkait harus bekerja keras menjaganya. Sejarah pesantren sebagai Lembaga subkultural yang dikenal baik, santun, membantu mencerdaskan generasi bangsa harus dijaga betul. Hingga saat ini, pesantren sebagai garda depan menjaga NKRI.

*Dosen Universitas Hasyim Asy’ari dan Tim Kajian Pemikiran KH. Haysim Asy’ari.