Oleh: KH. Salahuddin Wahid*

Saya tertarik dengan visi “Unggul dalam menguasai tradisi ulama salafus-saleh baik di bidang ilmiah maupun amaliah” yang dimiliki oleh Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng. Yang saya garis bawahi adalah “amaliah”. Kalau ilmiah sudah pasti, karena Ma’had Aly merupakan lembaga tafaqquh fi ad-diin (konsentrasi pada kajian keilmuan agama)

Tetapi, amaliah ini, yang paling penting menurut saya, sebab ada jarak yang jauh antara apa yang kita pelajari dengan apa yang kita amalkan. Itu jauh sekali jaraknya, tidak hanya orang perorang, tetapi juga di dalam masyarakat bahkan di dalam negara. Negara yang berpenduduk mayoritas Islam di dunia, termasuk negara yang belum maju. Paling jauh sedang berkembang, paling satu dua yang sudah maju, mungkin Qatar salah satunya. Tapi negara mayoritas Islam yang lain masih merupakan negara yang sedang berkembang. Dan di sana, jauh sekali jaraknya, antara ilmu yang kita terima dan amal yang dikerjakan.

Ajaran Islam ini merupakan ajaran yang paling baik. Tidak ada agama yang mengalahkan, lebih baik dari pada Islam. Dan kita juga mempunyai uswah hasanah dari Rasulullah SAW. Itu diakui oleh semua orang di dunia. Tokoh-tokoh hebat itu, mengakui kehebatan rasulullah. Salah satunya Mahatma Gandhi ataupun para sejarawan juga mengakui kehebatan Rasulullah.

Bahkan Michael H. Hart, seorang ilmuan Amerika Serikat menyebutkan, dari daftar seratus orang yang paling berpengaruh di dunia, ia menempatkan Rasulullah SAW pada urutan yang pertama. Yang kedua Sayyiduna Umar bin Khattab. Sedangkan Nabi Isa as itu hanya pada posisi ketiga. Jadi kita mempunyai dua keunggulan, tetapi dua-duanya belum mampu kita manfaatkan sebaik-baiknya. Keunggulan ajaran yang luar biasa yang dicontohkan Rasulullah SAW, baik contoh sebagai pribadi maupun contoh sebagai pemimpin. Dan ini, kita belum mampu mewujudkannnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Di dalam sebuah penelitian, saya lupa namanya siapa yang meneliti itu, ia meneliti ribuan orang yang berhasil di seluruh dunia ini. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa orang-orang yang  berhasil itu, faktor utamanya bukan kecerdasan, bukan keilmuan, tetapi yang pertama itu kejujuran, kemudian yang lain itu kerja keras. Itu sesuai dengan lima nilai yang kita sampaikan di Tebuireng ini, yang pertama keikhlasan, yang kedua kejujuran, tanggung jawab, bekerja keras dan tasamuh.

Rumusan dari penelitian di atas, yang dimaksud kerja keras adalah kerja lebih keras dari pada orang lain. Orang lain kerja keras, kita kerja lebih keras. Jadi itulah yang harusnya kita jadikan pegangan selain keilmuan. Oleh karena itu, kita ingin melatih para alumni atau para mahasantri Ma’had Aly dengan program Diklat. Bagaimana menyampaikan nilai-nilai yang lima itu, ke dalam diri para santri.  Bagaimana menanamkan kejujuran, bagaimana menanamkan tanggung jawab, bagaimana menanamkan kemauan bekerja keras dan sikap toleran, tentunya keikhlasan.

Kita tidak akan mampu mengukur keikhlasan orang. Mengukurkan keikhlasan diri kita saja, mungkin kita salah. Jadi, saya ingin meyampaikan, apa yang diperoleh dalam diklat, apa yang diperoleh dalam kuliah-kuliah, itu harus diteruskan ke dalam kehidupan sehari-hari. InsyaAllah dengan itu anda akan mencapai keberhasilan dalam masyarakat dan juga dalam akhirat.

Saya ingin sedikit menambahkan mengenai masalah kejujuran, saya ingin mengutip angka dari sebuah penelitian wartawan Kompas pada tahun 2017. Di atas saya sampaikan bahwa kejujuran sebagai unsur pertama yang menunjang keberhasilan kita, sebagai apapun kita.

Tingkat kebohongan di dalam beberapa kalangan, isinya ada empat. Pertama, pelajar-mahasiswa. Kedua, aparat penyelenggara  negara. Ketiga, penegak hukum, dan yang keempat kalangan agamawan. Saya ambil yang pertama dan kedua saja. Di dalam kalangan pelajar-mahasiswa ada lima kategori orang, yaitu orang yang selalu jujur, orang yang sering jujur, orang yang kadang jujur kadang bohong, yang berikutnya yang sering berbohong dan selalu berbohong, artinya istikamah dalam berbohong.

Jadi pelajar-mahasiswa yang selalu jujur itu, 2,3 persen, yang sering jujur 7,5 persen kalau kita gabung sekitar 10 persen. Yang kadang-kadang jujur itu 50,5 persen, yang sering berbohong 30,8 persen, yang selalu bohong 5,8 persen. Jadi yang selalu jujur dan yang sering jujur itu lebih banyak yang sering bohong dan selalu bohong. Saya tidak tahu, survei ini diambil secara umum. Saya ingin suatu saat kita mensurvei seperti itu di Tebuireng, atau di pesantren lain. Kita jangan berannggapan bahwa kita pasti baik, belum tentu. Jadi kita harus mencoba berlaku mengkoreksi diri kita sendiri.

Nah, ini yang terakhir, ini yang lebih  menyedihkan kalau menurut saya. Di kalangan agamawan, yang selalu jujur itu, 18 persen, yang sering jujur 27,1, yang kadang jujur kadang bohong itu 38,7 persen, yang sering bohong 7,2 persen, yang selalu bohong 2,1 persen. Mudah-mudahan yang sering bohong atau selalu bohong ini, hanya bohong kepada istri, kalau istrinya lebih dari satu ya. Cuma itu saja yang diperbolehkan bohong.

Jadi, kondisi semacam ini tentunya menjadi tantangan kita. Saya pernah membaca tulisan saudara Haidar Bagir, tulisan ini sudah lama, mungkin sepuluh tahun yang lalu di koran Kompas. Dia mengatakan, pendidika agama itu gagal.  Saya membuat tulisan, tapi tidak dimuat di kompas, tetapi di republika. Saya bilang, tidak hanya pendidikan agama yang gagal, pendidikan di Indonesia secara umum itu gagal menurut saya. Betul, gagal sekali. Dan ini belum mejadi kesadaran kita semua.

Anggaran pendidikan itu kalau kita bandingkan dengan 2009, naik mungkin beberapa kali lipat, tapi mutunnya tidak naik. Mutunya ya begitu-begitu saja. Termasuk dalam pembinaan akhlak, saya pikir juga tidak naik. Berdasarkan hasil survei di menunjukkan demikan. Dan saya yakin anggaran yang naik sebesar itu, yang jatuh ke lembaga pendidikan swasta kecil dan lebih banyak kepada lemaga pendidikan pemerintah. Jadi, Pemerintahan hanya sibuk mengurusi dirinya, dalam soal pendidikan dia lupa mengurusi pendidikan swasta.

Padahal sebagai contoh Jombang. Saya bertanya kepada Pak Kusnadi (mantan Kepala Dinas Pendidikan Jombang), saya juga bertanya kepada kementrian agama, jumlah sekolah swasta atau madrasah swasta, kurang lebih 80 persen, sedangkan yang milik pemeritah hanya 20 persen saja. Namun, anggaran untuk swasta jauh lebih kecill daripada untuk (lembaga) pemerintah. Padahal perintah Undang-Undang Dasar, pendidikan dasar dan menengah itu menjadi kewajiban pemerintah.

Dan mudah-mudahan kedepannya pemerintah sadar dan memperbaiki diri. Kita pun bisa memperbaiki mutu pendidikan kita. Bukan mutu pengajaran saja, tetapi mutu pendidikan. Bagaimana kita membentuk karakter anak didik kita, bagaimana kita membentuk akhlak anak didik kita.

Dan sekali lagi saya sampaikan dawuhnya Mbah Hasyim. Dawuhnya beliau sangat banyak, yang saya ingat cuma dua. Pertama, jadilah santri yang baik, yaitu santri yang bisa mengamalkan ilmu yang diperoleh di pesantren ke dalam kehidupan sehari-hari, dan itu menurut saya akhlak.

Yang kedua,  janganlah belajar ilmu agama untuk mencari kekayaan, untuk mencari kedudukan, dan untuk mencari kemasyhuran. Kalau dikejar, belum tentu didapat. Kalau dikejar, tidak dapat, tentu membuat kecewa. Maka dijalani saja dengan sebaik-baiknya, berusaha sebaik-baiknya. Soal kedudukan, soal rezeki dan soal lain-lain itu kita serahkan kepada Allah. Allah lebih tahu dari pada kita, apa yang lebih baik untuk diri kita.


*Disampaikan dalam Wisuda Mahasantri ke-5 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng pada 13 Januari 2019