sumber ilustrasi: www.google.com

Oleh: Nur Indah*

Wanita memiliki peran yang cukup signifikan dalam kehidupan beragama, berbangsa, bahkan bernegara. Ada dua macam ulama wanita, yang pertama adalah ulama wanita berjenis kelamin wanita yang memiliki kapasitas sebagai ulama. Kedua adalah ulama wanita berjenis kelamin laki-laki yang memiliki pemahaman, kesadaran dan kepedulian terhadap isu-isu perempuan dan kesetaraan gender. Berbicara kesetaraan gender, keberadaan ulama perempuan tidak akan lepas dari perspektif ini. Tanpa perspektif ini kesetaraan gender, wanita tidak mungkin dapat berperan sedemikian rupa hingga layak disebut sebagai ulama.

Perspektif kesetaraan gender merupakan sebuah wacana untuk kembali menyadarkan bahwa kedudukan manusia di hadapan Tuhan adalah setara. Seperti yang telah dikatakan oleh ibu kita Raden Ajeng Kartini “wanita harus membuat sejarah sendiri, berdiri sama rata, duduk sama rendah, wanita harus tetap mendapatkan pendidikan seperti para laki-laki”.

Diceritakan pada zaman dahulu terdapat wanita pemberani, keberanian wanita tersebut telah mendapat pengakuan oleh Imam Az-Zirkili  Ad-Dimsyiq. Wanita tersebut memiliki kehebatan menunggang kuda seperti Khalid bin Walid yang menduduki jabatan panglima perang, kehebatan Khalid bin Walid tidak dapat diragukan lagi, kehebatan Khalid bin Walid terkuak ketika pasukan Islam di bawah pimpinan Khalid bin Walid saat menyerang negeri Syam (Romawi).

Saat pasukan Islam terdesak dengan serangan yang bertubi-tubi dari pasukan Romawi, Khalid bin Walid melihat kesatria yang maju seperti kobaran api yang membakar keranting kering. Tak ada satupun musuh yang dilewatinya kecuali mati di medan perang tersebut, berkata Khalid bin Walid dengan takjubnya “Sungguh aku ingin tahu kesatria itu, demi Allah dia adalah kesatria yang sangat hebat dan luar biasa.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kemudian Khalid bin Walid dan pasukannya mengikuti kesatria tersebut. Kesatria itu berpenampilan tertutup rapat oleh kain hitam dan hanya terlihat matanya saja. Saking takjubnya Rafik bin Umarah berkata “tidak ada kesatria yang hebat seperti itu kecuali Khalid”. Khalid bin Walid yang mendengar perkataan Rafik tersebut segera menimpali, “Aku sangat tidak setuju dengan perkataanmu! Bahkan aku lebih kagum kepada kesatria itu,” tuding Khalid bin Walid kepada kesatria yang masih berbalut dengan kain hitam tersebut, kemudian Rafik pun menanggapi perkataan Khalid bin Walid “Kesatria itu mampu menceburkan dirinya dalam lautan pasukan Romawi, sambil menghantam ke sana-ke mari.”

Selang beberapa waktu kemudian, kesatria tersebut kembali dalam barisan Islam, dan semua mata tertuju padanya, Khalid bin Walid berteriak dengan selantang-lantangnya, “bukalah penutup wajahmu,” yang diperintahkan tidak menghiraukan, hingga pasukan yang lain berkata “wahai lelaki yang mulia, engkau diperintahkan oleh panglima perang, tetapi engkau tidak menanggapinya. Sebutkanlah namamu dan bukalah penutupmu,” tetapi kesatria tersebut diam saja tidak menggubrisnya. Hingga membuat Khalid bin Walid memarahinya. Hingga pada akhirnya kesatria tersebut angkat bicara “bukanya aku tudak mau membuka kain penutupku, aku hanya malu karena engkau adalah panglima perang, sedang aku tak lebih dari orang lemah yang pemalu,”  kemudian Khalid menanyakan kembali mengenai kesatria tersebut, kemudian menjawab kesatria tersebut, “Aku Khaulah binti Azur, saudaraku adalah Dhirar yang sedang ditawan di Romawi, untuk itu aku maju untuk menyelamatkan orang yang membela agama Allah itu.”

Berdasarkan kisah di atas dapat kita ambil pelajaran bahwasanya perspektif gender hadir bukan untuk melawan laki-laki, namun lewat perspektif ini para penganutnya bermaksud untuk mengajak seluruh masyarakat baik laki-laki maupun yang perempuan untuk saling bermitra dan berkerja sama dalam menegakkan kebenaran agama.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.