Oleh: M. Rizki Syahrul Ramadhan*
Jika pembaca adalah lulusan sekolah lanjutan tingkat atas yang pernah belajar ilmu ekonomi, pembaca akan ingat bahwa terdapat sebuah kepercayaan “kebutuhan manusia tidak terbatas, sedangkan pemuas kebutuhan terbatas” di dalamnya. Kepercayaan tersebut diistilahkan sebagai “masalah ekonomi”. Atau dengan kata lain, ketidak-sebandingan kebutuhan dan pemuasnya merupakan masalah dalam perihal ekonomi.
Anda tidak harus setuju dengan kepercayaan seperti itu. Karena sebuah kepercayaan memang tidak selalu benar, namun orang yang mempercayainya tidak bisa disalahkan. Kalau menyalahkan kepercayaan orang lain dan menyuruhnya beralih ke kepercayaan kita, itu namanya memaksakan kepercayaan. Pemaksaan semacam itu dilarang dalam Islam.
Tapi Islam membolehkan kritikan atas kepercayaan. Dalam Al Quran terdapat banyak ayat yang mengkritik kepercayaan orang kafir. Seperti “Awalau kaana abaauhum laa ya’qiluuna syaian wa laa yahtaduun”. Walaupun nenek moyang mereka tidak berpikir dan tidak mendapat petunjuk. Sebuah kritikan yang terus terang atas kepercayaan manusia yang bukan muslim dipaparkan dalam surat al Baqarah ayat 170.
Dengan ittiba’ dari Al Qur’an, tidaklah kurang ajar jika kita sedikit menggelitik kepercayaan yang disebut masalah ekonomi di atas; “kebutuhan manusia tidak terbatas, sedangkan pemuas kebutuhan terbatas”. Kita akan ambil satu premis, kebutuhan (al-haajah) manusia tidak terbatas.
Apakah kebutuhan manusia memang tidak terbatas? Kita bisa membayangkan secara sederhana, ketika kita lapar, kita butuh makan. Maka makanan adalah kebutuhan kita. Apakah makanan yang kita butuhkan tidak terbatas? Satu atau dua piring setidaknya telah cukup membuat orang berkata “cukup, saya kenyang”. Berarti kebutuhan makan manusia seharusnya ada batasnya, terbatas pada satu piring dan tiga kali sehari atau jumlah lain. Jika lebih dari itu, maka kita telah melebihi batas (israf).
Sebenarnya yang tidak terbatas bukanlah kebutuhan manusia, melainkan keinginannya. Dalam ilmu ekonomi yang dibahas di atas, kebutuhan yang dimaksud ada tiga jenis, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Kebutuhan tersier inilah yang sebenarnya tidak terbatas. Karena tersier sebenarnya bukan kebutuhan, melainkan keinginan. Jika kita butuh makan kemudian kita ingin makan ayam goreng, maka makan adalah kebutuhan (primer) dan ayam goreng adalah keinginan (tersier). Pemenuhan keinginan (tersier) inilah yang tidak ada habis-habisnya. Karenanya, Islam mengajarkan manusia untuk tidak ambisius memenuhi keinginan (nafsu) yang tidak terbatas tersebut.
Seseorang yang keras kepala untuk memenuhi setiap keinginannya akan berujung pada ketidakpuasan dan tidak jarang berakhir menyedihkan. Islam melarang hal itu. “wa laa tusrifuun“, kata Tuhan.
Maka di antara tiga jenis kebutuhan, hanya kebutuhan primer dan sekunder lah yang memenuhi kriteria kebutuhan, sedangkan tersier merupakan keinginan. Sekunder pun tidak seratus persen berisi kebutuhan, terkadang mengalami percampuran antara kebutuhan dan keinginan.
Contohnya seperti kebutuhan untuk pergi ke suatu tempat. Untuk sampai di tempat tersebut, alat transportasi menjadi kebutuhan sekundernya. Karena yang sebenarnya dia butuhkan hanya “sampai di suatu tempat”, sedangkan alat transportasi berupa motor, mobil, atau yang lain adalah pendukungnya. Di sinilah percampuran antara kebutuhan dan keinginan terjadi. Jika dia memilih naik motor karena ingin lebih cepat, maka motor merupakan keinginan. Namun jika memilih karena dia memang harus cepat, maka motor merupakan kebutuhannya. Keinginan dan keharusan menjadi pembedanya.
Tentang terbatas atau tidak, kebutuhan sekunder tentu terbatas. Dalam contoh di atas, seseorang hanya butuh satu alat transportasi, tidak lebih. Sehingga jika dia memiliki lebih dari satu alat transportasi atau satu alat transportasi yang berganti-ganti, maka itu bukan kebutuhan, melainkan keinginan. Keinginan tidak ada batasnya walaupun terus dituruti.
Jadi intinya, jika anda lulusan sekolah lanjutan tingkat atas yang pernah belajar ilmu ekonomi dan telah terlanjur mengikuti kepercayaan “masalah ekonomi”, ingatlah bahwa masalah ekonomi lupa membedakan antara kebutuhan dan keinginan manusia.
*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
**Disarikan dari kuliah Dr. H. Ahmad Syakur, Lc. M.Ei. yang mengacu pada kitab madkhal li al-fikri al-iqtishodi fi al-islami karya Said Saad Marton.