latifah ferdiana

Oleh: Latifah Ferdiana* 

Entah langkah apalagi yang akan ia lalui

Meski ia hanya seorang diri

Tapi itulah kehidupan yang harus ia jalani

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Untuk tetap bisa bernafas dan merasakan indahnya dunia ini,,

“jadi, kamu anak tunggal Riz??” sontak mata Alya melotot terkejut mendengarkan pernyataan sahabat karibnya. gimana nggak? Setiap awal bulan kunjungan santri yang dia lihat dari jajaran keluarga yang paling menghabiskan tempat adalah keluarga Rizka.

“iya, emang kenapa? Heran banget Al?” jawab Rizka kemudian setelah melihat ekspresi Alya yang semakin terlihat antusias

“ lha terus, yang biasa kunjungin kamu pas awal bulan itu?” tanya Alya antusias

“oohh,, itu mah keluarga besar” jawabnya singkat, tetap dengan ekspresinya yang tenang. Memang akhir- akhir ini rizka termasuk anak yang tenang dan tidak banyak tingkah.

“tapi kayaknya mama kamu ga pernah ikut?” entah sisi apa yang mendorong Alya mempertanyakan hal yang amat susah dijawab Rizka. Seketika Rizka pun meninggalkan Alya dengan segudang pertanyaannya.

                                                                   ***

Matahari mulai kembali ke peraduannya, sang mega merah turut mengantarkan kembalinya sang mentari sembari mewarnai indahnya langit sore itu. saat itu adalah saat yang dinantikan oleh jajaran finalis lomba pidato di gedung utama kota Surabaya.

“dan pemenang utama lomba pidato tingkat SMA se jawa timur yakni saudari Rizka kamila dari pondok pesantren Al-Multazam!!” Serentak tepuk tangan pun meramaikan pengumuman yang amat dinantikan. Beberapa teman Rizka pun menghampirinya, memeluk dan memberikan selamat padanya. Beberapa ustadzah pun turut menghampirinya, memberikan senyuman hangat yang sungguh menyejukkan. Tak lama kemudian ia pun naik ke atas panggung untuk menerima hadiah dan sekedar foto bersama dengan finalis lainnya. Saling berjabat tangan bagi yang putri dan memberikan selamat.

Rizka adalah salah satu santri berprestasi di bidang pidato sejak 2 tahun terakhir, sejak menginjak SMA ia menuntut ilmu di Pesantren Al-Multazam karena ia memilih untuk tidak menetap di rumah.

Tanpa disadari, air mata Rizka pun menetes perlahan saat dilihatnya beberapa finalis bergandengan dengan ibunya masing-masing. Alya yang mengetahui tetesan airmata itu segera datang dan mengusap air matanya. Rizka pun langsung memeluk hangat Alya. Dirasakan beban berat yang diemban Rizka. Entah apa yang mengubah Rizka yang periang menjadi pendiam belakangan ini, sepertinnya ini adalah salah satu alasan itu.

Alya pun meminta ustadzahnya untuk menemani Rizka berfoto-foto di panggung, sebagai ganti dari ibunya. Sesaat ia ikut merasakan kesedihan sahabat karibnya. baru kali ini ia melihat Rizka yang tenang meneteskan airmatanya.

Beberapa menit berlalu, akhirnya rombongan pesantren Al-multazam pun meninggalkan gedung. Perjalanan untuk kembali menuju asrama pun berlalu, semua santri kembali dalam penjara suci mereka.

Saat itu langit terlihat sangat gelap, sepertinya bulan dan bintang sedang enggan berpartisipasi untuk menghiasinya, awan hitam pun terlihat semakin menguasai mewakili perasaan Rizka yang kian menanjak, Rizka memandang langit hampa. Menengadah sejenak lalu kembali menunduk, malam ini adalah saat dimana ia harus menghilangkan rindu yang telah menyiksa.

                                                ***

Seperti biasa, rutinitas malam kamis pun berlaku. Istighosah akbar dan siraman rohani bersama dengan Romo yai di masjid lantai dasar. Beberapa santri pun berbondong-bondong membawa mukena sholatnya menuju lantai dasar, karena adzan magrib telah dikumandangkan. Beberapa menit kemudian sholat magrib pun dilaksanakan berjamaah.

“do’a yang paling mujarab adalah doa sang ibu untuk putra putrinya, betapa mulianya seorang ibu hingga Allah dengan mudah mengabulkan doa-doa beliau” tutur Romo yai dengan arifnya, seluruh pendengar pun tetap dalam kediamannya, entah sibuk dengan pikiran masing-masing ataukah mendengarkan petuah-petuah yang sedang dipaparkan oleh sang arif.

“Dan bagaimana kalau ibu kita meninggalkan kita?” tiba-tiba suara Rizka terdengar ketus, meski agak lirih namun tergambar aura kebencian di dalamnya.

Ternyata sang kyai mendengar ucapan itu, serentak sorot mata tertuju pada sumber suara. Romo yai pun membalasnya dengan senyuman, senyum hangat yang menenangkan. Kemudian beliau menjawabnya.

“seorang ibu itu tidak mungkin meninggalkan anaknya, kecuali dia memilki alasan tertentu. Ingat bagaimana perjuangan seorang ibu terhadap kalian saat bersusah payah mengandung, mempertahankan kandungan agar kalian bisa hadir di dunia ini, berapa lama kandungan itu dan bagaimana perjuangan beliau saat beliau menghadirkan kalian, melahirkan kalian di dunia ini” papar romo yai tenang, suaranya yang teduh pun meneteskan airmata beberapa santri yang sedang merindukan emaknya. Namun tak berlaku lagi bagi Rizka. Kali ini ia tak bisa meneteskan air mata lagi untuk orang yang sudah sengaja meninggalkannya. Bahkan kerinduan itu membeku menjadi kebencian yang membatu.

Mata menatap namun fikiran menerawang jauh menuju masa lampau yang tak karuan. Yah, itulah yang dialami Rizka malam ini, menatap ke depan memandang Romo yai, namun fikiran melaju kebelakang. Ingat dua tahun lalu ia mengalami kecelakaan yang amat tragis. Saat itu pula ia hanya melihat ibunya saat sebelum dioperasi, mencium hangat keningnya. Lalu perawat membawananya ke ruang operasi, selanjutnya ia tak pernah melihat ibunya lagi sampai detik ini. Dan itu satu-satunya alasan yang membuatnya memilih untuk membenci ibunya, apa alasan dia meninggalkan Rizka dalam keadaan yang tak memungkinkan itu?? disaat ia butuh support untuk tetap bertahan hidup.

                                                ***

“bagiku seorang ibu itu gak penting, ga ngaruh banget dalam hidupku, toh aku masih bisa hidup tanpa dia” gerutu Rizka sembari menghitung anak tangga yang telah ia lewati. Mencoba menguatkan hatinya untuk tetap pada pendirian membenci ibunya.

“Rizka, ada panggilan di kantor depan!” ucap Laura, salah satu santri yang baru saja piket di kantor depan. Rizka pun dengan cuek mengiyakan informasi yang barusaja diterimanya. Segera ia menuruni anak tangga lagi da beranjak menuju kantor depan.

Agak sedikit tanda tanya dalam benaknya, siapakah tamu yang akan ia temui pagi ini. Yah, hari jum’at adalah hari dimana para santri boleh menerima tamu diluar jadwal kunjungan, asal bertemunya di kantor khusus yang lokasinya di depan pondok tentu dengan penjagaan yang ekstra ketat.

“assalamualaikum, ada yang mencari saya ustadzah?” tanya Rizka sesampainya di pintu kantor depan.

“waalaikumsalam, iya Riz, ini ada dokter yang mencari kamu” jawab ustadzah kemudian, tanpa pikir panjang Rizka pun segera menuju kursi yang memang sudah disediakan untuk pertemuan tamu.

“maaf, ada apa ya?” tanya Rizka kepada dokter yang sedang menunggunya. Wanita paruh baya dengan balutan kostum dokter yang terlihat anggun.

“adek yang namanya Rizka Kamila?” tanyanya kemudian, suaranya terdengar sangat berat.

“iya, maaf anda siapa? Apa sebelumnya kita pernah bertemu?” runtunan pertanyaan Rizka tertuju kepada wanita paruh baya itu.

“perkenalkan, saya Anis. Dokter yang pernah mengoperasi adek saat pasca kecelakaan 2 tahun lalu, dan memang kita pernah bertemu sebelumnya” jawabnya kemudian, ia terlihat sangat sedih memandang Rizka, seperti ada rahasia besar yang enggan untuk diceritakan kepada Rizka. Rizka pun terdiam, sejenak mengingat saat-saat itu, meski ia sangat bingung dengan kedatangan orang baru ini.

“iya dok, ada apa ya?” jawab Rizka kemudian, meski ia tak mengingat seutuhnya tentang kejadian yang amat lampau itu, tapi setidaknya ia tahu apa maksud kedatangan wanita ini.

“ini, titipan dari seseorang yang sangat menyayangimu.” Ucap wanita itu sembari menyodorkan sebuah kotak yang dibalut rapi dengan kertas kado.

“apa ini?” tanya Rizka, semakin tak tahu apa yang sebenarnya harus ia ketahui

“ini titipan dari ibunda kamu nak,” jawabnya kemudian, sontak Rizka mengambil dengan kasar dan melemparnya ke lantai. Beberapa penghuni ruangan pun ikut terkejut dengan perlakuan Rizka kali ini.

Wanita paruh baya itu pun seperti sangat memahami apa yang telah dirasakan Rizka, ia mengambil kotak itu kemudian meletakkan kembali di atas meja, ia sengaja duduk di sebelah Rizka dan membelainya lembut,

“maafkan ibumu nak, dia pergi demi kamu” tuturnya kemudian,

Rizka masih dengan geramnya, dan mencoba untuk mengeluarkan isi hatinya.

“demi aku? Apa buktinya?” balas Rizka kemudian, rahangnya terkatup terpapar emosi yang amat dalam. Wanita itu pun mengelus pundaknya, agar ia tidak terlalu larut denagn amarahnya.

“buktinya kamu ada sekarang ini dan kamu bisa melihat indah dunia ini” balas wanita itu dengan tenang. Rizka yang sebelumnya geram pun agak sedikit mencerna kalimat yang baru saja diucapkan oleh wanita itu.

“maksutnya? Aku ada karena Allah, bukan dia” masih dengan nada yang tinggi,

“iya nak, dan allah melewatkan kesembuhanmu melalui ibumu. Dia yang memberikan darah dan matanya untukmu nak, dan ”

“CUKUUP!! Sandiwara apalagi yang telah anda buat untukku?? Aku sudah sangat merindukan dia, dan higga sekarang aku mengubahnya menjadi kebencian yang amat dalam. Cukup dok. Aku benci ibuku!! ” Rizka tak mau mendengar cerita wanita itu, baginya itu hanya hal konyol yang harus membuat kebencian itu hilang. Aahh. Tidak!!

“saya tau bagaimana kamu sampai harus membenci ibumu, ini bukan sandiwara nak, ini nyata, bahkan saya mempunyai surat rumah sakit sebagai bukti bahwa semua ini bukan sandiwara” kali ini wanita itu meyakinkan, rizka hanya bisa diam, mencoba menerka keadaan yang entah tak tahu harus bagaimana. Wanita itu pun menunjukkan berkas- berkas rumah sakit kepada rizka, ia pun hanya memandang kosong. Bingung harus bagaimana, keringatnya bercucuran deras, matanya berkaca-kaca seperti akan meneteskan air mata.

“ia meninggal setelah operasi kornea, yang akan diberikan kepadamu dan memberikan beberapa liter darahnya untukmu, karena saat itu darah yang jenisnya sama hanya milik ibumu, ia meninggal karena darah yang ia butuhkan kurang dari normal. Dan kotak itu adalah pesan terakhirya agar diberikan kepadamu saat kamu sudah bisa hidup tanpa mengingatnya” paparnya kemudian. Rizka pun diam, airmata kasih pun bercucuran memasahi pipinya. Ia baru menyadari bahwa ibu adalah pahlawan hidupnya yang bahkan sampai detik ini ia rasakan, meski beliau tak segagah pahlawan Negara yang selalu dibanggakan, namun baginya, tetaplah ibu pahlawan hidupnya. Beliau yang memilih untuk meninggalkan dunia agar anaknya bisa tetap ada di dunia ini. Wanita itu pun perlahan memeluknya.

Detik itu pula ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena sudah membenci ibu yang telah memperjuangkan hidupnya. Akan selalu kujaga pemberianmu ibu, kornea dan seluruh aliran darah yang kau beri. Batin Rizka menjerit, lalu Dibukanya kotak yang telah disiapkan untuknya, disitu terdapat sebuah cincin emas yang bertuliskan nama ibunya. Yah, itulah satu- satunya barang peninggalan ibunya atas pemberian ayahnya yang pergi sebelum ibunya. Entah misteri apalagi yang akan ia temukan di setiap langkah hidupnya esok, karena baginya kehidupan ini sungguh misteri.

*Pegiat Sanggar Kepoedang.