Mutakharrij atau alumni pesantren memiliki kelebihan khusus, jagoan pidato, singa podium. Hal ini jama, lumrah dan wajar, karena tempaan yang luar biasa lewat menu “ekstra kurikuler” pesantren. Tentunya, realitas ini bukan perkara adanya talenta atau tidak, melainkan kadar pembiasaan berpidato yang demikian tinggi.
Bayangkan, di komplek setiap malam selasa ada giliran belajar pidato, setiap malam jumat dan di di Organisasi Daerah (Orda), setengah bulan sekali. Belum lagi, dalam lingkup per-kamar ada yang berijtihad atau berinisiasi sendiri, melakukan pertemuan di internalnya antara lain untuk mengasah kemampuan berpidato.
Pastilah, memori kita menoleh kepada Soekarno. Orator tiada tanding. Nehru, Nasser, Kennedy sekalipun, semuanya lewat. Apa resepnya? Orator itu “is made not born”. Tidak lain, karena Soekarno muda ditempa habis habis-an oleh Tjokroaminoto dan nyaris setiap hari belajar berorasi di hadapan dan melawan gelombang dan debur ombak di Tanjung Perak.
Lho, kok ada kesan munculnya trend alumni pesantren kurang piawai tampil di khalayak melaui kecanggihannya berpidato? Adakah volume latihan berpidato-nya sangat berkurang saat ini di pesantren? Kebijakan pesantren yang berubah dan kurang mendukung aktivitas komplek dan orda?
Sayup-sayup, sembari ngrokok dan nongkrong depan komplek I al-Azhar saya mendengar pidato Ustadz Ali Musthofa di komplek Y. Nadanya lembut, artikulasinya begitu jelas dan sesekali menyelipkan serta dibumbui agitasi. “Kunci keberhasilan santri di antaranya mempunyai kepercayaan diri yang kuat kepada potensi diri sendiri. Dengan keinginan dan ikhtiar yang kuat, yakin akan “al-i’timad ala al-nafs asas al-najah”, jadilah kelak hadir sebagai santri yang hebat”. Demikian arahan Ustadz Ali Musthofa Ya’kub dalam pidatonya kepada santri santri junior.
Maka jangan heran jika santri-santri era Ustadz Ali Musthofa mahir, handal dan “ciamik” berpidato. Justru, kekurangmumpuniannya dalam hal ilmu tertutup oleh kecanggihannya dalam berorasi. Mudah dipahami, bila “panggung berpidato” sangat ditunggu tunggu oleh santri dan alumni pesantren Tebuireng untuk unjuk kemampuan. Terbukti, itu menjadi resep eksistensial untuk yang dalam teori pemasaran disebut sebagai “personal marketing”, pemasaran pribadi.
Arena tampil di publik, forum halaqah dan berorganisasi merupakan pintu masuk yang efektif agar dikenal dan unjuk gigi kapasitas yang laris dan populer digunakan kalangan santri. Tampilan yang memukau, memantik ketertarikan dan pengakuan kualitas. Jadilah kemudian, santri alumni pesantren Tebuireng dikenal dan mendapat reward posisi penting di NU misalnya.
Bahkan, tidak terkecuali, kelebihan di bidang “olah mulut” atau berceramah itulah juga menjadi investasi dilirik dan “dipinang” serta dijadikan menantu kiai dan kasta the have. Jadinya, tidak perlu lagi “jungkir balik” mengatasi kebutuhan ekonomi.
Lho, sekarang kok berbeda, tidak lagi seperti itu fenomenanya? Dan ini, berdampak serius dengan maraknya ustadz karbitan di panggung dakwah. Ruas, space dan “pasar” yang begitu luas kosong tidak terisi. Sehingga, tampillah dai seleb, pendakwah “pas-pasan”, muballig instan dan karbitan.
*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Tebuireng dan Dekan Fakultas Tarbiyah di IAINU Kebumen