Era digital society 5.0 merupakan era di mana penggunaan media sosial mengalami peningkatan begitu pesat. Sebut saja pada tahun ini pengguna media sosial di Indonesia mencapai 73,7%. Salah satu yang menjadi tren beberapa tahun terakhir adalah Tiktok, Platform tersebut telah digunakan oleh 34,7% Indonesia. Bahkan, pengguna Tiktok di Indonesia juga pernah mencapai peringkat ke-2 di dunia (Databoks 2023).

Platform ini tentu memiliki keunikan tersendiri, seperti fitur praktis, konten mudah terjangkau/viral (firstmedia.com), dan algoritma. Banyak yang merasa tiktok merupakan sosok paling peka dengan keinginan. Banyak dari mereka merasa konten-konten yang disediakan / disarankan di beranda sesuai dengan apa yang mereka kehendaki.

Tentu dalam platform tersebut terdapat konten positif maupun negatif. Tanpa menafikan konten positif, tulisan ini akan fokus membahas bagaimana konten negatif dapat mempengaruhi wacana keilmuan yang seringkali diplesetkan dan bagaimana dampak dan solusinya.

Opini Kreator Tiktok

Salah satu konten yang digemari oleh banyak pengguna adalah konten perempuan (sebut saja mbak-mbak) yang berjoget dengan khas iringan musik ‘dj jedag-jedug’ yang terkadang liriknya tidak jelas itu. Uniknya, beberapa dari mbak-mbak itu bukan sekedar memperlihatkan skill joget dan bentuk fisiknya, tapi mereka seringkali memberi caption atau teks di video jogetan tersebut.

Caption tersebut biasanya berisi tentang opini-opini yang bisa saja bertema tentang relationship, psikologi, isu sosial, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Misalnya, mbak-mbak tiktok tersebut mengunggah video jogetan dengan opininya, “Kita itu harus menghargai diri kita sendiri (self-reward), kalau kita suka jajan ya itu bentuk penghargaan diri kita.”, atau, “Jadi gendut gakpapa, yang penting kan aku udah menghargai diriku dengan caraku sendiri.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Terkadang beberapa dari mereka juga melakukan self-diagnose, tanpa periksa ke psikolog tiba-tiba mengklaim bahwa dirinya sedang mengalami gangguan psikologis tertentu, tiba-tiba ngaku depresi, trauma-psikotis, dan istilah-istilah serupa.

Dalam isu sosial seperti pernikahan, perceraian, KDRT, dan sebagainya, para mbak-mbak ini juga tetap bisa memberikan pendapat. Misalnya seorang dari mereka berpendapat bahwa biar tidak KDRT, ciri-siri suami yang berpotensi KDRT itu lahir di bulan ini, zodiaknya ini, hobinya ini. Atau fatwa, “Suami yang baik itu yang umurnya selisih sekian dari istri, gak suka main game, tidak berambut gondrong”, “Laki-laki harus selalu mengetahui keinginan istri tanpa istri mengungkapkannya. Kalau tidak, berarti rasa cintanya kurang”, wa hakadza.

Ironinya, banyak dari pengguna T menyaksikan konten-konten seperti itu mempercayainya begitu saja tanpa adanya tabayun (baca: cross check). Akhirnya banyak interpretasi liar dan menganggap konten-konten tersebut bagian dari wacana ilmiah.

Bagaimana efek dari gampang percaya konten semacam itu, biasanya tergambarkan dari orang yang asalnya berpola hidup sehat tiba-tiba suka rebahan di kasur, suka konsumsi makanan tidak sehat dengan dalih self-reward. Anak kuliahan yang sedang banyak tugas, baru mengerjakan dua paragraf tiba-tiba sudah tutup laptop lalu bersantai menikmati jajan sambil membuat story “Berterima kasih kepada diri sendiri yang telah berjuang”. Bayangkan, dua paragraf sudah seperti berjuang di medan tempur, lagi-lagi dalihnya apa? Ya, self-reward.

Jangan Mudah Percaya Opini dari yang Tidak Ahli

Menganggapi fenomena seperti itu, saya kira kita bisa simak pernyataan dari dua cendekiawan di bawah ini.

Pertama, dari filsuf sekaligus tokoh sufi, Abu Hamid Muhammad al-Ghazali dalam Faishil al-Tafriqah Bayn al-Islam wa al-Zindiqiyah:

لِأَجْلِ الْجُهَّالِ كَثُرَ الْخِلَافُ بَيْنَ النَّاسِ وَ لَوْ سَكَتَ مَنْ لَاْ يَدْرِيْ لَقَلَّ الْخِلَافُ بَيْنَ الْخَلَاقِ

“Karena orang-orang dungulah terjadi banyak kontroversi di antara manusia. Seandainya orang-orang bodoh berhenti berbicara, niscaya berkuranglah pertentangan di antara sesama”

Kedua, dari Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari jilid 3:

وَ إِذَاْ تَكَلَّمَ الْمَرْءُ فِيْ غَيْرِ فَنِّهِ أَتَى بِهَذِهِ الْعَجَائِبِ

“Jika seseorang berbicara tanpa di bidangnya, maka dia akan menyampaikan hal-hal yang aneh”.

Dari pernyataan al-Ghazali bisa kita lihat bahwa opini-opini liar dari mbak-mbak tadi bukannya mencerahkan namun malah menimbulkan banyak pertentangan. Wajar saja, misalnya orang yang tidak pernah belajar di psikologi tiba-tiba berpendapat mengenai kesehatan mental, tentu akan banyak kontradiksi dengan keilmuan psikologi itu sendiri. Atau orang yang tidak pernah kuliah kedokteran tiba-tiba mengklaim bahwa kegemukan itu tanda badan sehat.

Dari pernyataan Ibn Hajar juga bisa kita lihat banyaknya keanehan yang terdapat dalam pendapat mereka. Misalnya, ”Cowok kelahiran November itu cocoknya nikah dengan cewek kelahiran Juli”, “Cowok sagitarius itu sifatnya lemah lembut tapi kadang nyebelin”, “Cowok yang suka lagu dangdut, fix red flag”, dan pernyataan-pernyataan serupa yang tentunya sangat aneh. Aneh karena tidak ada riset ilmiah.

Peningkatan Literasi

Data dari UNESCO mengindikasikan bahwa minat baca masyarakat Indonesia  adalah 0,001% (rri.co.id). Juga berdasarkan dari PISA UNESCO 2022Indonesia memiliki peringkat literasi 70 dari 81 negara terdata (pendidikan.id). Rendahnya minat baca tersebut mengakibatkan masyarakat Indonesia banyak yang tidak mengetahui apa yang sebenarnya ada di literatur ilmiah (untuk tidak mengatakan bodoh). Artinya, tidak heran jika mereka mudah terpapar dengan opini-opini liar. Apalagi opini liar yang diberi embel-embel “berdasarkan riset”, “riset mengatakan”. Bagaimana mungkin orang yang malas membaca akan cross check dari apa yang ditontonnya, ‘kan?

Oleh karena itu, untuk menghindari sikap “terlalu mudah percaya” itu tadi, di antaranya adalah peningkatan literasi itu sendiri. Dengan literasi yang baik, seseorang akan lebih terarah dalam menalar baik buruknya apa yang dia lihat, paling tidak lama-lama akan bisa menalar sesuai dengan prinsip logika / mantiq.

Selain literasi, hal yang bisa ditawarkan menjadi solusi adalah hobi positif. Seseorang bisa mengalihkan waktu bermain media sosial tersebut dengan menyibukkan dirinya, seperti mengembangkan minat dan bakatnya, bisa dari musik, olahraga, kesenian visual, dan sebagainya. Dengan kesibukan tersebut, setidaknya seseorang akan menyadari bahwa melihat konten gak genah (baca:negatif) di media sosial hanya akan membuang waktu.

Baca Juga: Memahami 4 Kaidah Fiqih Bermedia Sosial


Ditulis oleh Izzulhaq At Thoyyibi