Fenomena promosi kreator media sosial mempromosikan kain kafan menarik untuk diulas. Bagaimana fikih memandang hal ini? Dalam perawatan jenazah, biaya memang wajib berasal dari harta tinggalan (tirkah/warisan) mayit—sebelum dibagikan kepada ahli waris. Kecuali istri dan pembantu, maka biayanya dibebankan kepada suami yang menafkahinya. Kalau mayit tidak punya peninggalan harta, maka yang terbebani adalah keluarga yang diwajibkan menafkahi mayit ketika masih hidup. Kalau tidak ada, maka itu menjadi kewajiban Baitul Mal, lalu orang muslim kaya. Sebagaimana hal itu diterangkan dalam al-Iqna’ fi halli alfadz abi syuja’:
وَمَحَلُّ تَجْهِيزِ الْمَيِّتِ تَرِكَتُهُ إلَّا زَوْجَةً وَخَادِمَهَا فَتَجْهِيزُهُمَا عَلَى زَوْجٍ غَنِيٍّ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُمَا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلْمَيِّتِ تَرِكَةٌ فَتَجْهِيزُهُ عَلَى مَنْ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُ حَيًّا فِي الْجُمْلَةِ مِنْ قَرِيبٍ وَسَيِّدٍ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلْمَيِّتِ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ فَعَلَى بَيْتِ الْمَالِ.
Tanggung jawab perawatan jenazah dibebankan kepada harta tinggalan (warisan) mayit (laki-laki). Terkecuali seorang istri dan pembantu istri, maka beban perawatan jenazahnya dari harta suaminya. Apabila seorang mayit tidak punya harta tinggalan, maka yang bertanggung jawab adalah orang yang wajib menafkahi si mayit; entah kerabat (jika mayit orang merdeka) atau majikan (jika mayit seorang budak). Jika tidak ada, maka perawatan dibebankan kepada Baitul Mal.
Bahkan dalam keterangan lain, meski seorang istri yang meninggal itu kaya raya, biaya perawatan jenazahnya tetap menjadi tanggung jawab suaminya yang dianggap sudah berkecukupan—dalam artian harta suami saat itu cukup untuk kebutuhan sehari semalam, plus sisa untuk beli kain kafan. Sementara dalam mazhab lain terdapat perbedaan soal perawatan jenazah seorang istri, siapa yang dibebankan tanggung jawab biayanya? Begini keterangan dalam Bujairami ‘ala al-Khatib:
وَالْمُفْتَى بِهِ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ أَنَّ الزَّوْجَ لَا يَلْزَمُهُ تَجْهِيزُهَا لِأَنَّهُ إنَّمَا كَانَ يُنْفِقُ فِي مُقَابَلَةِ الِاسْتِمْتَاعِ وَقَدْ زَالَ، فَإِنْ كَانَتْ فَقِيرَةً فَعَلَى الْمُسْلِمِينَ وَالزَّوْجُ كَوَاحِدٍ مِنْهُمْ وَالْحَاصِلُ أَنَّ الزَّوْجَةَ الَّتِي تَجِبُ نَفَقَتُهَا مُؤَنُ تَجْهِيزِهَا عَلَى الزَّوْجِ الْمُوسِرِ وَلَوْ كَانَتْ غَنِيَّةً عِنْدَ الشَّافِعِيِّ، وَعَلَى الزَّوْجِ مُطْلَقًا عَلَى الْمُفْتَى بِهِ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ، وَمِنْ مَالِهَا عَلَى الْمَشْهُورِ وَلَوْ كَانَتْ فَقِيرَةً عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ، وَفِي مَالِهَا مُطْلَقًا عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ كَمَا فِي زَيْنِ الْعَابِدِينَ عَلَى الرَّحَبِيَّةِ.
Kalangan mazhab Malikiyah memfatwakan bahwa suami tidak dibebani biaya perawatan jenazah istrinya, karena nafkah suami itu sebagai “ganti” dari bersenang-senang degan istrinya, dan saat istri meninggal kesenangan itu tiada. Sehingga biaya perawatan itu dibebankan kepada harta istri. Apabila sang istri itu fakih, maka biaya perawatan jenazahnya dibebankan kepada segenap muslimin.
Sebab sang suami termasuk salah satu di antara segenap muslimin itu, maka ia dibebankan biaya perawatan jenazah istrinya saat kondisi sang suami berkecukupan. Ini lah yang menjadi sudut pandang mazhab Syafi’iyyah.
Sementara mazhab Hanafiyyah berpandangan bahwa suami mutlak dibebankan biaya perawatan jenzah istrinya. Berlawanan dengan mazhab Hanabilah yang membebankan biaya perawatan jenazah seorang istri mutlak berasal dari hartanya sendiri.
Membeli Kain Kafan Sejak Masih Hidup
Lalu bagaimana jika seseorang sudah menyiapkan kain kafannya sejak ia hidup? Dalam literatur fikih Syafi’iyyah menyimpan kain kafan itu sebenarnya makruh kecuali benar-benar halal atau bekas orang shalih. Namun, ahli waris tidak diwajibkan mengkafani si mayit dengan kafan simpanan itu. Bahkan ahli waris boleh-boleh saja mengganti kafan yang tersimpan tersebut, karena benda itu berpindah kepemilikan kepada mereka.
Menyiapkan kain kafan boleh-boleh saja selama benar-benar halal atau bekas orang salih yang dianggap nilai keberkahannya. Sebagaimana dalam sebuah peristiwa dalam riwayat Bukhari:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ سَهْلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: «أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبُرْدَةٍ مَنْسُوجَةٍ، فِيهَا حَاشِيَتُهَا»، أَتَدْرُونَ مَا البُرْدَةُ؟ قَالُوا: الشَّمْلَةُ، قَالَ: نَعَمْ، قَالَتْ: نَسَجْتُهَا بِيَدِي فَجِئْتُ لِأَكْسُوَكَهَا، «فَأَخَذَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْتَاجًا إِلَيْهَا، فَخَرَجَ إِلَيْنَا وَإِنَّهَا إِزَارُهُ»، فَحَسَّنَهَا فُلاَنٌ، فَقَالَ: اكْسُنِيهَا، مَا أَحْسَنَهَا، قَالَ القَوْمُ: مَا أَحْسَنْتَ، لَبِسَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْتَاجًا إِلَيْهَا، ثُمَّ سَأَلْتَهُ، وَعَلِمْتَ أَنَّهُ لاَ يَرُدُّ، قَالَ: إِنِّي وَاللَّهِ، مَا سَأَلْتُهُ لِأَلْبَسَهُ، إِنَّمَا سَأَلْتُهُ لِتَكُونَ كَفَنِي، قَالَ سَهْلٌ: فَكَانَتْ كَفَنَهُ
Diceritakan bahwa seorang perempuan mendatangi Nabi SAW dengan membawa Burdah (selimut) berjahit di pinggirannya. Perempuan itu berkata kepada Nabi, “Aku menjahitnya dengan tanganku sendiri, dan aku datang untuk memakaikannya kepada Anda.”
Lalu Nabi memakainya karena beliau butuh, kemudian Nabi keluar menemui kita dengan pakaian itu. Tiba-tiba seseorang di antara kita berkata, “Alangkah bagusnya pakaian ini. Berikan padaku Ya Rasul.”
Kita menyangkalnya, “Bagaimana kamu memuji pakaian Rasul kemudian kamu minta, padahal Rasul butuh. Dan beliau tidak pernah menolak jika diminta.”
Pria itu berkata, “Demi Allah aku tidak memintanya untuk aku pakai, hanya saja itu sebagai kain kafanku nanti.” Benar saja Burdah itu menjadi kain kafannya.
Pendapat Al-Dhamiri dalam ‘Umdah al-Qari mengatakan bahwa menyiapkan kain kafan tidak disunnahkan, supaya seseorang tidak dihisab karenanya. Sebab menyimpan barang yang belum dibutuhkan itu ada hisabnya. Boleh saja kalau kain kafan itu benar-benar halal atau dianggap berkah orang shalih.
وَقَالَ الضميري لَا يسْتَحبّ الْإِنْسَان أَن يعد لنَفسِهِ كفنا لِئَلَّا يُحَاسب عَلَيْهِ، وَهُوَ صَحِيح إلاَّ إِذا كَانَ من جِهَة يقطع بحلها أَو من أثر أهل الْخَيْر والصلحاء، فَإِنَّهُ حسن،
Ibn Bathal dalam Fath al-Bari beranggapan bahwa boleh-boleh saja menyiapkan barang sebelum kebutuhannya. Karena beberapa orang shalih menggali kubur mereka sebelum kematiannya. Lalu Zain ibn Munir sedikit menyangsikan hal itu, karena aktivitas itu tidak terjadi pada masa sahabat. Sehingga jika hal itu mustahab maka mereka pasti banyak melakukannya.
وَقَالَ بن بَطَّالٍ فِيهِ جَوَازُ إِعْدَادِ الشَّيْءِ قَبْلَ وَقْتِ الْحَاجَةِ إِلَيْهِ قَالَ وَقَدْ حَفَرَ جَمَاعَةٌ مِنَ الصَّالِحِينَ قُبُورَهُمْ قَبْلَ الْمَوْتِ. وَتَعَقَّبَهُ الزَّيْنُ بْنُ الْمُنِيرِ بِأَنَّ ذَلِكَ لَمْ يَقَعْ مِنْ أَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ قَالَ وَلَوْ كَانَ مُسْتَحَبًّا لَكَثُرَ فِيهِمْ.
Jadi, menyiapkan kain kafan itu boleh (jawaz) selama nilainya halal atau bekas orang shalih yang dianggap berkah. Namun, seorang muslim harus berhati-hati dalam aktivitas menyimpannya, karena setiap harta simpanan itu ada hisabnya. Sehingga jika kain kafan itu bernilai syubhat (tidak jelas halal haramnya) atau bukan bekas orang shalih yang dianggap berkah, maka menyimpannya adalah makruh.
Baca Juga: Hukum Anggota Tubuh Korban Kecelakaan yang Terpisah
Ditulis oleh Yuniar Indra, mahasantri M2 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari