Ustadz Ali Musthofa, sebagaimana pengakuannya sendiri, di awal tahun 1970–an pernah mengaji kitab Qathr al-Nada kepada Gus Dur. Mestinya, juga Tafsir al-Jalalain dan al-Hikam, yang dibaca Gus Dur di bulan ramadhan pada tahun 1971.
Walau hubungan Ustadz Ali Musthofa dengan Gus Dur tidak spesial saat di Pesantren Tebuireng, namun penghornatan Ustadz Ali Musthofa kepada cucu Hadratussyaikh dan putra “sang mujtahid Islam Indonesia”–yang ini meminjam terninologi dari novelis Aguk Irawan–sangat luar biasa.
Itu terbukti saat Ustadz Ali Musthofa masih memerlukan mengaji kepada Gus Dur di Ciganjur, padahal sudah dibelit kesibukan yang bertumpuk. Bahkan, kabarnya pilihan tinggal di Jakarta-pun atas petunjuk Gus Dur. Semula, Ustadz Ali Musthofa berazam hijrah ke Papua dan mendirikan pesantren di sana.
Belum lagi, keduanya adalah murid Prof. Azami. Itulah sebabnya, Gus Dur sendiri menyebut Ustadz Ali Musthofa sebagai “adik seperguruan”. Kendati harus ditambahkan, sepanjang yang saya tahu, Gus Dur selama dan menjadi sekretaris Pesantren Tebuireng, tidak memiki “santri khusus” atau “santri kesayangan”.
Ustadz Ali Musthofa memiliki karakter ta’dzim yang begitu tinggi kepada guru-gurunya, lebih lebih terhadap keturunan Hadratussyaikh. Penghormatan itu ditandai dengan silaturrahim yang selalu dijaganya. Seperti hubungan dan silaturrahim Ustadz Ali Musthofa dengan Kiai Idris Kamali saat di Saudi Arabia hingga sepulang di tanah air. Ustadz Ali Musthofa sempatkan dirinya menjaga hubungan dengan sowan Kiai Idris Kamali di Cirebon.
Walau diakui, sulitlah menandingi kadar dan keadrengan silaturrahim Gus Dur. Tentu hal ini kalau dilacak ternyata adalah “al-‘adah” atau kebiasaan kiai dan santri terdahulu. Untuk menyebut di antaranya, Syaikhona Kholil, Kiai As’ad Syamsul Arifin, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Wahid Hasyim, Kiai Syaifuddin Zuhri dan Gus Dur adalah “pemilik hobi” yang luar biasa dalam bersilaturrahim.
Itulah sebabnya, membuhul silaturrahim kiai dan santri terdahulu menjadikan sebagai medium konsolidasi personal dan perekat bagi hubungan yang satu dengan lainnya. Jangan heran, bila pola hubungan seperti ini menghasung kualitas “hablum min al-nas” demikian tinggi. Pada gilirannya, komunikasi menjadi cair dan produktif. Tak ayal pula, trilogi ukhuwah dijunjung tinggi dan berwajah sebagai kultur.
Rasanya, kadar dan wajah silaturrahim itulah yang belakangan kian tergerus dan cerderung artifisial. Potensi dan budaya konflik menyelinap nyaris di semua ruas keluarga dan lembaga. Apalagi, merebak dan merasuknya pola berpikir yang serba berhitung dan bergerak pada pendulum untung dan rugi dengan kalkulasi pragmatisme.
*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Tebuireng dan Dekan Fakultas Tarbiyah di IAINU Kebumen