sumber ilustrasi: campusiana

Oleh: Rara Zarary*

“Jangan melibatkan hatimu dalam kesedihan atas masa lalu atau kamu tidak akan siap untuk apa yang akan datang.” -Ali Bin Abi Thalib.

Tulisan ini sengaja dibuka dengan kalimat di atas. Ada banyak dari kita mengalami hal demikian. Kita lebih mudah mengklaim sesuatu yang terjadi saat ini “hanya” berdasarkan pengalaman di masa lalu, padahal tidak semua hal bisa disamaartikan atau disamaratakan. Beberapa hal memang bisa menjadi referensi, tetapi tidak semuanya bisa hanya dengan satu referensi itu, sehingga sikap mengklaim atas suatu hal atau seseorang begitu sangat tidak dianjurkan, bahkan bisa jadi melukai hati orang lain.

Sebelum kita bicara banyak tentang takdir dan nasib. Cobalah kita sejenak berpikir tentang apa yang selama ini kita sering keluhkan. Apakah salah satu darimu sering mengeluh;
“Kok hidupku begini aja ya?”
“Kenapa Tuhan begitu tega padaku?”
“Sepertinya hanya hidupku yang malang begini.”
“Semua salahku, andai waktu itu…”
“Orang paling sedih di dunia adalah aku.”

Dan banyak kalimat lain yang secara tidak sadar telah mensugesti diri kita, seakan-akan hanya kita satu-satunya manusia yang diberi nasib tidak baik, diberi rasa duka, diberikan luka atau kesedihan. Parahnya kita merasa semua ini adalah salahnya takdir, dan takdir itu dari Tuhan. Ironisnya kita membenci diri sendiri dan menuduh orang lain semua sama.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Apa yang sebenarnya membuat kita merasakan demikian? Pertama, bisa jadi karena kita tidak mau atau tidak mampu berkomunikasi dengan diri sendiri (introspeksi). Kedua, kita sangat mudah putus asa. Ketiga, kita kurang bersyukur. Keempat, kita terlalu mudah menyalahkan pihak lain (takdir). Kelima, kita tidak mampu membuka pikiran dan melatih hati untuk menerima di luar diri kita. Dan banyak penyebab lain yang berbeda dihadapi manusia. Padahal semua manusia mengalami hal serupa, meski tidak persis sama.

Mungkin kita bisa ingat kembali, kita pernah membaca, mendengar, atau tahu bagaimana tahun kesedihan (aamul huzni) yang dirasakan Nabi Muhammad? Sakaleber Nabi Muhammad mendapatkan duka begitu dahsyat. Dalam setahun beliau ditinggal oleh dua orang yang paling beliau cintai, dalam keadaan dakwah beliau yang harus menghadapi umat yang beragam dan sungguh luar biasa membutuhkan support. Dan dua orang paling berjasa dalam hidupnya meninggalkannya dalam setahun itu. Bayangkan, betapa sedih berdukanya kanjeng nabi? Bayangkan bagaimana beliau harus tetap melanjutkan dakwah di saat orang-orang terdekatnya tiada?

Saudara-saudara kita di Palestina. Bagaimana mereka hidup penuh ketakutan, ancaman, bahkan tidak aman. Setiap waktu rasanya detik-detik jarum jam seperti jadwal bom atau perang untuk kapanpun bisa menyerang mereka. Bagaimana kemudian mereka mau berpikir soal bahagia, untuk bernafas lega saja masih jauh dari kata merdeka. Lalu banyak contoh lain, yang kadang luput dari pikiran kita, karena kita terlalu fokus pada masalah yang kita hadapi.

Saat seseorang fokus pada masalah yang dihadapi, maka solusi atau jalan keluar seakan-akan tak akan pernah ada. Ia hanya sibuk berpikir dan bertengkar dengan hatinya, pikirannya. Padahal masih ada orang lain yang bisa diajak musyawarah. Bagaimana kalau tidak percaya pada orang lain? Apakah seluruh manusia di muka bumi ini adalah orang-orang yang berkhianat? Orang jahat? Tidak. Ada beberapa banyak juga yang tulus, baik, dan ikhlas hanya saja tinggal bagaimana kita mampu menyikapi dan menerima dengan baik.

Ada banyak hal yang terjadi dalam hidup ini. Ada banyak manusia bahkan mungkin semua manusia mengalami hal demikian; suka duka dalam proses atau perjalanan hidupnya. Hanya saja setiap orang memiliki cara atau seni masing-masing untuk merespons masalah atau persoalan hidupnya. Sehingga bukan hanya kita (saya atau anda) yang memiliki duka dan persoalan dalam hidup ini. Maka jangan merasa sendiri, dan memang sejatinya kita tidak sendiri.

Apakah contoh-contoh di atas tidak mewakili sebuah penjelasan untuk membuat kita percaya, bahwa tidak hanya kita yang memiliki persoalan hidup? Silakan menoleh ke kanan dan ke kiri orang-orang yang hidup di sekitar kita. Orang-orang terdekat kita. Orang-orang yang dalam keseharian terlihat bahagia, penuh tawa, dan seperti hidupnya baik-baik saja. Bukan untuk melihat bagaimana kehidupannya bermasalah, tetapi lebih pada bagaimana ia merespons masalah dalam hidupnya sehingga ia bisa hidup lebih tenang, mampu bertahan lebih kuat, dan bisa melalui hari-hari lebih baik. Dari sanalah barangkali kita bisa belajar.

Belajar tidak selalu di dalam kelas. Mendapatkan pengetahuan tak musti dalam lembaga pendidikan. Tetapi semua orang, bisa menjadi guru kehidupan. Alam semesta boleh jadi sekolah termurah yang bisa kapan saja kita akses untuk belajar, andai kita mau belajar lebih luas dan menjadikan setiap hal dalam hidup ini adalah pembelajaran terus menerus selama hidup masih berkelanjutan.

Ada beberapa kata mutiara di bawah ini, yang mungkin bisa membuat kita sejenak memberi jeda untuk kita berpikir, untuk introspeksi, juga mungkin mengambil hikmah:

“Janganlah engkau berduka atas apa yang telah terjadi, karena tidak ada apapun di dunia ini yang abadi.” -Imam Syafii.

“Jangan berduka, apa pun yang hilang darimu akan kembali lagi dalam wujud lain.” -Jalaluddin Rumi

“Banyak hal berubah. Dan teman-teman pergi. Hidup tidak berhenti untuk siapa pun.” – Stephen Chbosky.

“Ada waktu untuk berangkat, meski tidak ada tempat pasti untuk pergi.” – Tennessee Williams.

“Terkadang, orang dengan masa lalu paling kelam akan menciptakan masa depan paling cerah.” -Umar bin Khattab.

Sekarang, cobalah membuka mata lebih lebar, menatap dunia lebih luas, berpikir lebih tenang, dan mari membaca ulang apa yang selama ini terjadi, apa yang harus dilakukan, dan bagaimana cara untuk tetap hidup dengan baik meski kondisi hidup sedang tak baik-baik saja. Mari belajar untuk memaafkan diri, memaafkan orang lain, memahami keadaan, dan berdamai dengan takdir.

Bukankah sudah sangat jelas firman Allah, yang artinya:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 286).

Sungguh semoga kita semua termasuk hamba yang sabar dalam ketaatan, kebaikan, dan kemaslahatan. Tidak ada seorang manusia pun yang luput dari masalah, semoga kita dimampukan untuk mendapatkan jalan keluar, menjadi bijak dan bajik, menjadi kuat dan lapang dada atas apa yang menimpa kita. Tentu setiap kita tak semua mudah menyelesaikan permasalahan, tetapi bukan lantas tidak mungkin. Selamat mencoba menjadi diri yang lebih mampu menerima kehidupan.

*Pegiat Pesantren Perempuan.