sumber gambar: google.com

Oleh: Ilvi Hasanah*

Mbok Nah, aku biasa memanggilnya begitu. Diusianya yang hampir 7 dekade, ia terbilang kuat membopong gelondongan kayu dari hutan sebelah gubuk kami dan mengangsu air dari curug setiap sore. Sedari ibu meninggal di umurku yang masih 3 tahun, Mbok Nah lah yang mengurusku di gubuk kecil ini. Mbok Nah sebenarnya tidak tinggal sendiri, 11 tahun lalu putranya yang bernama Kardi pamit mencari kerja ke Jakarta, namun tak ada kabar hingga saat ini. Anak satu satunya yang diharap dapat mengangkat perekonomian keluarga justru menghilang tanpa kabar.

Walau pun aku bukan anak kandungnya, Mbok Nah tidak mau aku kalah dengan anak-anak seumuranku, dengan keuangan pas-pasan Mbok mendaftarkan aku ke sekolah di desa seberang, sedang beliau setiap pagi membuat tiwul dan gethuk, (jajanan tradisional yang berbahan dasar singkong) untuk kujual di sekolah, meski awal berjualan aku sangat ragu karena menjadi satu-satunya siswi yang berjualan di sekolah, untung saja teman temanku sangat mendukung dan membantuku berjualan dari satu kelas ke kelas lain. Meski tak jarang hujatan datang silih berganti.

Selain itu Mbok Nah juga menitipkan gethuk dan tiwul buatnya ke tetangga yang berjualan sayur. Alhamdulillah penghasilan kami setiap hari cukup untuk makan sehari-hari, dan terkadang sisa uang jualan kami tabung untuk merenovasi gubuk ini, dan memasang lampu-lampu seperti rumah warga sekitar. Sebab untuk lampu saja kami menggunakan lampu teplok di dua sudut gubuk ini, ruang tengah dan kamar.

Setiap malam nyanyian jangkrik dan anjing tidak pernah absen meramaikan malam hariku, juga yang lebih memprihatinkan saat musim hujan, baskom, panci dan seluruh alat dapur yang kami punya habis terpakai untuk menadah air hujan. Terkadang aku menangis, “beginikah takdirku ya Allah, kenapa tidak kau ambil saja nyawaku bersama ibuku dulu”, ucapku saat lelah membekap.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sering sekali hatiku iri melihat teman-teman sekolah dijemput oleh ayah mereka, di beberapa kesempatan saat makan bersama, aku mencoba bertanya kembali pada Mbok.

“Kalau ibu meninggal karena sakit, lantas bapakku kemana ya Mbok?, iri rasanya melihat teman-temanku dijemput ayah mereka sepulang sekolah”, lagi-lagi Mbok Nah menjawab bahwa ia lupa, padahal jelas sekali kalau Mbok Nah bukanlah seorang pelupa.

Beberapa kali aku melontarkan pertanyaan yang sama dan jawaban Mbok tetap saja nihil. Mbok seperti merahasiakan sesuatu dariku, terlihat dari raut wajahnya yang tidak mau membahas apapun perihal bapak. Akhirnya aku berfikir untuk mencari tau keberadaan bapak sendiri tanpa sepengetahuan Mbok.

Seperti hari biasa, aku menyambangi makam ibu sepulang sekolah di hari jumat, rasanya baru pertama ini aku melihat juru kunci yang sudah sangat tua seusia Mbok Nah. Melihat kakek tersebut membuat Segera aku hampiri beliau seraya ku tanyakan perihal ibuku sembari kutunjukkan foto ibu yang selalu kubawa dalam tas rajutku.

Benar sekali juru kunci yang bernama Syamsul ini mengenal ibuku, kebetulan kakek Syamsul ini menjabat sebagai kepala Dusun saat ibu masih hidup, sayangnya kakek Syamsul tidak ingat siapa suami dari ibuku atau bapakku saat aku tanya. Kemudian beliau meminta-ku datang ke rumahnya yang berjarak 3 rumah dari makam, di hari minggu pagi.

***

Hari minggu tiba, aku mendatangi rumah kakek tersebut, saat aku datang ternyata ia telah menyiapkan beberapa album foto kegiatan warga. Benar saja aku tidak pernah melihat beliau, sebab beliau lama tidak di rumah karena berobat ke kota. Saat melihat lihat album, sungguh aku terkejut melihat foto ibuku yang berjalan bersama seorang laki-laki, sesegera mungkin aku menunjukkan foto tersebut pada kakek Syamsul.

“Kek bukankah ini foto ibuku?” ujarku dengan penuh semangat.

Semua ini seperti mimpi di siang bolong, kakek Syamsul ingat semua tentang keluargaku. Perlahan beliau menceritakan siapa ibuku dan bapakku. Dan pada akhirnya aku harus ikhlas menerima kenyataan, bahwa bapakku meninggal karena dibunuh putra Mboh Nah. Dengan dalih kecemburuan Kardi putra Mbok nekat membacok bapakku saat berjalan ke sawah, niat Kardi membunuh dan membuang jasad bapakku ke hutan agar habis dimakan hewan liar, ternyata rencana Kardi tidak berjalan mulus, jasad bapak berhasil ditemukan warga 2 hari setelah warga mendapat kabar bapakku tidak pulang.

Setelah kabar penemuan jasad tersiar ke penjuru desa, Kardi saat itu pulang menghilang dari desa, tidak ada yang tahu kemana perginya, Mbok Nah pun tidak tahu dan hanya bisa menitihkan air mata saat polisi datang mengintrogasinya.

Dulu sebelum ibuku menikah dengan bapak, ternyata Kardi sudah lebih dahulu mendekati ibuku, sayangnya Kardi saat itu belum memiliki pekerjaan sedangkan disisi lain, bapaku datang untuk melamar ibuku, bapakku yang notabenenya seorang ustad di desa tersebut, tanpa berpikir panjang menerima lamaran bapakku. Sontak hal tersebut membuat Kardi marah dan terciptalah rencana pembunuhan tersebut.

Akhirnya aku mengerti alasan Mbok tidak pernah menceritakan apapun tentang bapak. Ya tidak lain, karena Mbok sayang dan tidak ingin aku pergi. Meski sebenarnya ini kenyataan paling menyakitkan, setidaknya aku tahu apa yang telah terjadi dengan keluargaku.

Terkadang ada sesuatu yang tidak bisa kita terima, namun itulah takdir. Tidak ada satu pun yang bisa mengkhianatinya.

*Mahasiswa Unhasy Tebuireng Jombang.