Foto: Kopi Ireng

Oleh: KH. Salahuddin Wahid*

Gagasan awal tentang bangsa Indonesia diperkenalkan oleh Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat melalui Indische Partij. Istilah yang digunakan adalah bangsa Hindia dengan semboyan “Hindia untuk orang Hindia”.

Bangsa Hindia yang diusulkan itu tidak mengenal suku, daerah, etnis, dan agama. Itu merupakan pengakuan implisit terhadap fakta multikebinekaan bangsa kita. Bangsa Hindia ialah bangsa yang ingin merdeka, berdaulat, bermartabat, adil, dan makmur.

Ketika Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi diasingkan ke Belanda, gagasan itu diterima dan dikembangkan oleh para pemuda dari sejumlah daerah di Nusantara yang belajar di sana. Mereka mengubah nama Indische Vereniging menjadi Perhimpunan Indonesia. Majalah mereka yang lalu dinamakan Indonesia Merdeka juga beredar di Kairo. Di Mekkah para pemuda dari sejumlah daerah di Nusantara juga menumbuhkan semangat kebangsaan.

Kongres Pemuda Indonesia ke dua pada Oktober 1928 menghasilkan kesepakatan tentang kebangsaan Indonesia yang akan mereka perjuangkan yang terkandung di dalam Sumpah Pemuda: Bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia; Berbangsa yang satu bangsa Indonesia; Menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Tanggal 28 Oktober 1928 adalah hari kelahiran bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945 adalah hari kemerdekaan bangsa Indonesia  dan 18 Agustus 1945 adalah hari kelahiran negara Republik Indonesia.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Di dalam persidangan Kongres Pemuda tidak ada pembicaraan mengenai agama dalam kaitan gagasan kebangsaan. Syamzurijal, seorang anggota Jong Java, mengusulkan supaya dalam kegiatan Jong Java sekali-sekali diadakan diskusi tentang agama Islam, tetapi usul itu ditolak. Karena itu dia mengajak  beberapa kawannya untuk mendirikan Jong Islamieten Bond.

Keagamaan dalam kaitan kebangsaan mulai disinggung Bung Karno pada akhir 1920-an dalam tulisan cukup panjang berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”. Gagasan ini tiga puluh tahun kemudian diangkat kembali oleh Bung Karno sebagai Nasakom. Bung Karno melihat ketiga isme itu hidup di dalam masyarakat Indonesia dan perlu bekerja sama. Bung Karno terlalu idealistis, tidak mau memahami bahwa sulit sekali ketiga isme itu dipersatukan, terutama komunisme yang tidak bisa diterima umat Islam.

Munculnya Tokoh Islam

 Tokoh-tokoh Islam mulai mengikuti pergerakan kemerdekaan bersama kelompok lain sejak berdirinya Sarekat Dagang Islam, tetapi secara meluas baru pada 1930-an tokoh-tokoh Islam aktif dalam pergerakan kemerdekaan bersama kelompok nasionalis dan komunis. Sebelumnya mereka bergerak khusus di dalam kalangan Islam.

Peran tokoh-tokoh Islam, khususnya tokoh NU, lebih menentukan saat era pendudukan Jepang (1942-1945). Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari diangkat menjadi Ketua Masyumi yang sehari-hari diwakili oleh putranya KH. A. Wahid Hasyim. Kemudian beliau diangkat menjadi Kepala Shumubu (semacam Kantor Kementerian Agama) dan kembali diwakili oleh KH. A. Wahid Hasyim.

Tokoh-tokoh Islam juga memanfaatkan hubungan dengan pimpinan militer Jepang untuk mendirikan Lasykar Hisbullah yang kelak menjadi salah satu unsur militer di Indonesia. Saat dibentuk Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang membahas RUUD pada Mei dan Juni 1945 sejumlah tokoh Islam terlibat sebagai anggota yang memainkan peran berarti.

Pancasila atau Islam

Kisah klasik kebangsaan kita mengungkap fakta sejarah bahwa terjadi pertentangan pertama antara kelompok Islam dan kelompok Pancasila, terkait masalah dasar negara Pancasila atau Islam dalam persidangan BPUPKI. Inilah untuk pertama kalinya masalah agama muncul dalam konteks politik di Indonesia.

Dialog untuk  menyelesaikan pertentangan itu berjalan secara damai dan beradab penuh suasana persaudaraan kebangsaan. Tidak ada demo sama sekali atau kata-kata kasar.

Kompromi yang tercapai pada 22 Juni 1945 ialah Piagam Jakarta di mana sila pertama Pancasila dirumuskan dengan kalimat “Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya”. Akan tetapi, pada 17 Agustus 1945 sekelompok anak muda yang menyatakan diri mewakili kelompok kristiani di Indonesia Timur menghadap Bung Hatta bahwa jika sila pertama rumusannya seperti itu, kelompok kristiani di Indonesia Timur tidak akan bergabung dengan Republik Indonesia.

Bung Hatta segera mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh Islam untuk menyampaikan keberatan itu. Kemudian dalam pertemuan itu, para tokoh Islam menunjukkan kebesaran jiwa dengan menyetujui pengubahan sila pertama menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Saya pribadi sejak Pemilu 1955 menyetujui Pancasila seperti yang kita kenal sekarang. Terbayangkan oleh saya kalau rumusan sila pertama itu seperti rumusan Piagam Jakarta, akan lebih banyak gejolak timbul.

Mencapai Titik Temu

Pada kabinet pertama tokoh Islam mengusulkan dibentuknya Departemen Agama, tetapi tidak diterima. Hanya ditunjuk menteri negara yang menangani urusan agama, yaitu KHA Wahid Hasyim. Usulan itu diajukan karena selama pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang (Shumubu), ada kantor khusus yang mengurusi urusan agama (masalah hukum keluarga). Dalam kabinet kedua pada Januari 1946 dibentuk Departemen Agama dipimpin oleh Menteri Agama Rasyidi. Departemen Agama adalah konvergensi agama dan negara, titik temu antara Indonesia dan Islam sebagai agama terbesar (saat itu sekitar 95 persen).

Pada 1951, Menteri Agama KH. A. Wahid Hasyim mengadakan Nota Kesepahaman (MOU) dengan Menteri Pendidikan Bahder Djohan tentang pemberian pelajaran agama di SMP dan SMA, dan mendirikan madrasah ibtidaiyah (MI), madrasah tsanawiyah (MTs) dan madrasah aliyah (MA). Madrasah tersebut berinduk ke Kementerian Agama. Berdirinya madrasah itu berarti memasukkan pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional.

UU Sisdiknas 2003 memasukkan pesantren ke dalam nomenklatur sistem pendidikan nasional. Dalam Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama terdapat Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren. Dalam waktu tidak lama akan dibahas RUU Pesantren. Sejak era reformasi jumlah pesantren meningkat tajam dan kini terdapat hampir 28.000 pesantren, semuanya milik swasta (yayasan).

Mutu madrasah juga mengalami peningkatan yang berarti. Perjuangan menjadikan Islam sebagai dasar negara diulangi lagi pada 1956-1959 melalui Konstituante, tetapi tidak berhasil. Pada 1974, diundangkan UU Perkawinan yang menjadi bukti bahwa hukum keluarga Islam bisa menjadi hukum nasional walaupun negara RI tidak berdasar Islam. Pada 1984, Muktamar NU menerima secara resmi sebagai dasar negara walaupun selama 39 tahun sudah menerimanya secara de facto. Langkah itu diikuti oleh Muhammadiyah dan semua ormas Islam kecuali satu atau dua ormas.

Bukan Perbedaan Mendasar

Puisi berjudul “Ibu Indonesia” karya Sukmawati Soekarnoputri pada akhir Maret mendadak bergema ke seluruh Indonesia melalui media sosial dan media elektronik. Reaksi terhadap puisi itu sebagian besar negatif, bahkan ada kelompok yang mengadukan Sukmawati ke Polri dengan tuduhan menghina Islam.

Permintaan maaf telah dilakukan oleh Sukmawati yang tampak tidak memahami bahwa bagian dari puisinya itu amat sensitif bagi kebanyakan umat Islam, menyinggung perasaan mereka.

Di media sosial beredar puisi karya Irene Rajiman berjudul “Ibu Muslimah” yang merupakan tanggapan terhadap puisi “Ibu Indonesia”. Karya Irene ini dianggap negatif oleh kelompok yang sepikiran dengan Sukmawati. Banyak kawan saya yang berpikiran seperti itu, yang mengirim pendapatnya lewat aplikasi Whatsapp.

Puisi itu dianggap tidak menghormati keberagaman dan keindonesiaan. Menurut saya itu tidak benar.   Menurut saya, judul “Ibu Indonesia” lebih menonjolkan keindonesiaan dan judul “Ibu Muslimah” lebih menonjolkan keislaman. Keduanya harus saling menghormati pendirian masing-masing.

Menurut saya,  perbedaan di atas menunjukkan adanya perbedaan antara mereka yang merasa sebagai orang Indonesia yang beragama Islam (Ibu Indonesia) dan mereka yang merasa sebagai orang Islam yang berbangsa Indonesia (Ibu Muslimah). Kita tidak perlu memilih mana yang lebih tepat dan mana yang lebih benar di antara dua pilihan itu. Menurut saya kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam sekaligus orang  Islam yang berbangsa Indonesia.

Perbedaan mendasar antara kelompok Islam dan kelompok Pancasila telah selesai seperti diuraikan di atas. Semua pihak telah menerima Pancasila walaupun terdapat perbedaan dalam menafsirkan sila Pancasila, terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Perbedaan kecil-kecil akan tetap ada dan diperlukan kearifan untuk tidak mengungkapkan pikiran kita tentang agama yang berpotensi mendatangkan kegaduhan secara terbuka dan diperlukan kepekaan tentang apa yang berpotensi menimbulkan kegaduhan, seperti ucapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tentang Al Maidah Ayat 51 dan puisi “Ibu Indonesia”.

Kita berharap bahwa bangsa Indonesia yang dicita-citakan oleh Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, para peserta Kongres Pemuda dan para pendiri negara tetap bisa kita pertahankan. Kita bisa lebih arif dalam mengeluarkan pendapat terkait agama dan juga arif dalam menanggapinya.

Semua agama punya hak hidup di Indonesia. Kita tidak perlu mempertentangkan antar agama, antarkelompok dalam agama. antara-agama dengan budaya Indonesia dan daerah. Kelompok pro budaya dan kelompok pro agama juga harus saling menghormati. Kita juga menghormati mereka yang pakai gamis karena itu selera mereka. Tidak perlu saling mengejek dan menyindir.   Kita boleh menganggap budaya di atas agama, tetapi jangan disampaikan secara terbuka karena hal itu akan menimbulkan kegaduhan. Kita juga boleh berpendapat sebaliknya, tetapi juga tidak boleh disampaikan secara terbuka. Suatu saat kelak kita bisa bersikap dewasa terhadap perbedaan yang ada dan menanggapinya secara tidak emosional ketika timbul masalah seperti yang terjadi beberapa waktu lalu.


*Pernah dimuat di Harian Kompas pada 19 Mei 2019, dimuat ulang untuk kepentingan pendidikan