• Judul buku : Menjaga Warisan Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari
  • Penulis : KH. Salahuddin Wahid
  • Penerbit : Pustaka Tebuireng
  • Tebal : 220 halaman
  • ISBN : 9786028805933
  • Peresensi: Dimas Setyawan Saputra*

Setelah runtuhnya era orde baru, terdapat banyak sisi positif maupun negatif. Adapun sisi positif munculnya era kebebasan dalam berpendapat, berpolitik, berbudaya, serta bersosial. Keterbukaan tersebut disadari sangat penuh, tidak akan dapat ditemui saat orde lama masih berkuasa. Sisi negatifnya pun demikian, dengan keterbukaan segala faktor, menjadikan Negara Indonesia disusupi oleh banyak faham, aliran, keyakinan dan juga kepentingan kelompok. Hal-hal tersebut, didorong juga dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” berbeda-beda tapi tetap satu tujuan.

Tetapi faktanya, banyaknya  aliran maupun faham-faham atas buah dari runtuhnya era orde baru menjadikan Negara Indonesia goyah dalam berbagai banyak hal. Munculnya kelompok yang ingin menghempaskan hingga ingin merubah kesatuan Republik Indonesia menjadi kekhawatiran tersendiri bagi kita bersama.

Kelompok ini bersikeras, bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah tidak relevan dengan kondisi umat (masyakarat) saat ini. Sehingga, hal tersebut harus segera dibenahi dan bila bisa harus diubah secara keseluruhan.

Pada tahun 1965, bangsa Indonesia pernah dibawa ke golongan kiri (PKI) akan tetapi idelogi tersebut tidak tepat dengan kondisi bernegara yang mempercayai agama dan Tuhan.

Pada tahun 1970-an, juga bangsa Indonesia pernah dibawa juga ke golongan kanan (Daulah Islamiyyah). Yang mana ingin menjadikan Negara Indonesia sebagai Negara Islam, negara yang harus tunduk pada hukum-hukum dan syari’at Islam.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kedua faham tersebut tumbang dengan sendirinya. Dikarenakan kedua faham tersebut tidak sesuai dengan cara bernegara masyarakat Indonesia, yang bersifat moderat (yakni ditengah-tengah) dan hal tersebut seusai dengan konsep Aswaja yang dicetuskan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, dalam bermanhaj yakni, Manhajul Fikri at-tawasuttiy (pola berfikir meoderat), Manhajul Fikri al-islahiy (pola pikir reformatif/akomodatif), Manhajul Fikri at-tathawwuriy (pola pikir dinamis), dan Manhajul Fikri al-manhajiy (pola pikir metodologis). (halaman. 28)

Dalam buku “Menjaga warisan Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari, kita akan dibawa oleh cucu beliau alm. KH. Salahuddin Wahid dalam menggali pemikiran, ide, gagasan dan juga sepak terjang Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, dalam menerapkan ideologi, memadukan antara keilsaman dan kebangsaan.

Sosok Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari, secara tidak langsung adalah seorang figur ulama yang mencintai Islam dan negaranya. Sehingga diantara keduanya memiliki banyak kesamaan, dalam mempertahankan dan mencintainya. Maka sesungguhnya, keislaman dan kebangsaan dapat saling bersinergi satu dengan yang lainnya.

Salah satu peran Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari yang dicatat oleh alm. KH. Salahuddin Wahid dalam buku ini adalah, “peran Hadratussyaikh yang dapat dirasakan secara langsung sebagai peran pemimpin bangsa Indonesia, ialah saat memberi persetujuan terhadap usulan yang diajukan di dalam persidangan BPUPKI dan PPKI. Peran lain ialah saat beliau memimpin ulama NU dalam menyampaikan fatwa Resolusi Jihad. Terbentuknya Kementerian Agama tentu tidak lepas dari peran beliau. Selain itu, kita mengetahui bahwa sejumlah pemimpin nasional sering meminta nasihat kepada beliau secara langsung atau dengan mengirim utusan.” (Halaman 48)

Maka secara tidak langsung, Pondok Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari adalah satu dari sekian pesantren di Indonesia yang menjadi pelopor dalam pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia. Sehingga terdapat satu maqolah yang cukup mahsyur dikalangan santri Pesantren Tebuireng, yakni:

لولا تبو ئرغ ما استقل إندونسيا

“Bila saja tanpa Pesantren Tebuireng, maka tidak akan ada kemerdekaan Republik Indonesia.”

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.