Oleh: Qona’atun Putri Rahayu*

Sebuah kisah nyata yang diambil dari seorang mahasiswa yang sedang merantau di kota, sebut saja namanya Atun. Pagi itu ia terbangun karena terdengar suara merdu azan di telinganya, kemudian bergegas mengambil air wudhu dan shalat subuh.

Dia tidak melupa untuk mengamalkan wirid yang didapatkan seketika menjadi santri dulu. Setelah selesai dilanjut bersiap-siap diri untuk berangkat bekerja, pekerjaan ini sebenarnya bukan pilihannya namun harus ia lakukan karena tuntutan.

Dia selalu berpikir pekerjaan ini adalah tuntutan hidup, jika tidak bekerja nanti bisa makan apa? Jika tidak bekerja, bagaimana cara bayar kos-kosan?

Alhasil gadis yang statusnya seorang mahasiswa tersebut harus melakukan semua ini dengan semangat. Atun berangkat bekerja dan selalu membawa kewajibannya yaitu kuliah online selama pandemi ini, ia tidak lupa membawa sebuah buku dan bulpoin untuk disambi dalam pekerjaan nanti.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Di sela-sela kerjaannya, dia menyicil mengerjakan skripsi, karena skripsi menjadi salah satu tugas untuk mendapatkan gelar sarjana Strata-1 yang ia tempuh. Menjadi sebuah impian setiap mahasiswa untuk bisa menyelesaikan kuliah tepat waktu. Oleh sebab itu, Atun bekerja keras untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dalam menjalani ini.

Karena asyiknya dalam bekerja dan belajar membuat isi perutnya keroncongan, tidak lama kemudian berbunyi lirih suara di dalam perut, ia sadar kalau perutnya juga perlu diperhatikan. Atun berencana beranjak dari tempatnya untuk membeli sebungkus nasi.

Namun, saat mendapatkan dompetnya, ia terkejut dengan isi di dalamnya. Di dalam dompet tersebut  terdapat tiga lembar kertas uang bernilai Rp.2.000,- Lalu ia menghampiri salah satu kawannya yang sama-sama bekerja.

“Mbak Fao… aku lapar! Tapi aku hanya punya uang Rp.6.000,- menurut sampean dengan uang ini aku bisa beli makan apa ya?” tanya si Atun kepada temannya sembari berpikir-pikir.

Temannya yang memiliki nama Fao juga mencari jalan keluar, dengan uang enam ribu bisa untuk beli makan apa? Ia pun juga tidak tahu.

“Kalau aku beli bubur ayam di sebelah tempat kita bekerja, uang ini masih kurang, kalau beli nasi pecel juga masih kurang,” tambah si Atun dengan muka murung.

Mereka berdua belum bisa memecahkan masalah, akhirnya mereka merenung dalam sekejap.

“Aku bingung bisa buat beli apa Mbak Atun,” jawabnya.

Lalu teringat dalam pikiran Mbak Atun, bahwa ibu kos juga jual nasi, akan tetapi harganya Rp.7000,- sedangkan uang yang dimilikinya Rp.6000,- Setelah selesai bekerja Atun pulang ke kos-kosan dan membuka isi lemarinya ternyata menemukan dua keping koin berjumlah Rp.1.000,- Akhirnya genap sudah uang si Atun menjadi Rp.7.000,- kemudian ia beli makan di ibu kos.

Alhamdulillah, hari ini masih bisa makan, terimkasih Ya Allah,” syukur Atun terhadap nikmat yang diberikan-Nya.

Setelah habis makanannya, ia berpikir lagi bahwa esok masih ada hari dan ia harus makan agar perutnya tidak sakit. Tapi sewaktu di pondok ia ingat pernah diajarkan “Jangan takut lapar, karena rezeki datangnya tidak terduga”.

Iya, sekarang kalimat tersebut yang menjadi pedomannya untuk kuat bertahan. Dengan hati yang tenang, rasa bersyukur selalu ditambah atas nikmat yang diberikan, ia mulai tersenyum kembali sembari menghela napas. Kemudian berdering suara dari ponselnya, segera ia raih dan mendapatkan sebuah pesan. Ternyata ia mendapatkan pesan dari bosnya. Lalu dibuka pesan tersebut dan isinya;

“Nanti ba’da Magrib bisa datang ke kontrakan? Ada yang perlu dibahas!” pesan dari Pak Bos.

Nggih insyaAllah saget Pak!” jawab Atun.

Atun dan Fao berangkat ke lokasi dan shalat magrib di dalam kontrakan, setelah menunggu berkumpullah kami antara karyawan dan bos. Dan siapa sangka di hari pertemuan ini, lebih tepatnya hasil kerja satu Minggu. Bos memberikan upah untuk kami selama bekerja seminggu. Sungguh lumayan hasil dari kerjanya. Atun sangat senang sekali tak lupa ia bersyukur kepada Allah.

Alhamdulillah, terimakasih ya Allah, atas nikmat-Mu,” ucap Atun.

Selang beberapa menit kemudian, perbincangan selesai dan kami berdua beranjak pergi meninggalkan lokasi tersebut, Atun meraih sepeda motornya dan memboncengkan Fao.

“Mbak Fao, apakah ini yang dinamakan rezeki datang tidak terduga!” tanyanya kepada teman sebayanya.

“Kemungkinan iya, mbak. Sebenarnya hari ini uang kirimanku juga habis, tapi tadi aku diam saja, tapi alhamdulillah sekarang kita pegang uang ya, Mbak Tun,” jawabnya.

Akhirnya kami berdua pulang dengan pikiran yang tenang dan tidak lagi memikirkan esok harus makan apa? Kami besok bisa bekerja dengan lebih semangat lagi. Alhamdulillah.

Min Haitsu La Yahtasib, dari arah yang tiada sangka-sangka.


*Mahasiswi Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng