ilustrasi: www.google.com

Oleh: Jailani*

Beramal baik merupakan suatu kewajiban bagi setiap umat manusia, baik dalam hubungan vertikal kepada sang pencipta maupun hubungan horizontal antar sesama agar tercipta keharmonisan dalam kehidupan. Namun untuk melakukannya tidaklah mudah, karena banyak cobaan yang selalu dihadapi oleh manusia, baik itu hawa nafsu maupun tipu daya setan.

Salah satu cobaan yang selalu mengintai ialah kecenderungan manusia untuk selalu bersantai-santai, sehingga menunda-nunda untuk melakukan kebaikan, padahal ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya dihari esok. Oleh karena itu Nabi Muhammad memberikan peringatan kepada umatnya agar tidak menunda dalam beramal baik. Hal ini termaktub dalam  hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitabnya  (Al-jami’ Al-sahih) sebgaima berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا»

“Bersegeralah melakukan amal saleh sebelum datangnya fitnah (cobaan), seperti potongan malam yang gelap gulita. Yaitu seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman dan pada sore hari dalam keadaan kekafiran. Atau (nabi bersabda) pada waktu sore dalam keadaan beriman dan pada waktu pagi dalam keadaan kafir. Ia akan menjual agamanya dengan keuntungan yang sedikit dari dunia.” (HR. Muslim No. 118)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Hadis di atas merupakan sebuah gambaran bagaimana Nabi Muhammad, selalu mengingatkan kepada umatnya agar selalu mengoptimalkan waktunya dalam beramal saleh, sebelum datangnya cobaan yang dapat menghambat seseorang untuk melakukannya. Nabi Muhammad memberi peringatan kepada umatnya agar tidak  menunuda-nuda, karena seseorang tidak tahu apa yang akan terjadi pada waktu yang akan datang. Apakah ia akan jatuh sakit atau lain sebagainya.

Peringatan Nabi kepada umatnya agar tidak menunda-nuda dalam beramal baik, juga termaktub dalam hadis lain yang diriwayatkan Sahabat Amr Bin Maimun aebagaimana berikut:

، عَنْ عَمْرو بْنِ مَيْمُونٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِرَجُلٍ وَهُوَ يَعِظُهُ: ” اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتِكَ قَبْلَ مَوْتِكَ “

“Manfaatkanlah lima perkara sebelum datangnya lima perkara yaitu: waktu mudamu sebelum datangnya waktu tuamu. Waktu sehatmu sebelum datangnya waktu sakitmu. Waktu kayamu sebelum datang waktu kefakiranmu. Waktu luangmu sebelum datang waktu sibukmu, dan hidupmu sebelum datangnya kematianmu.” (HR. Nasa’I No. 11832).

Menurut Imam An-Nawawi, yang dimaksud fitnah dalam hadis ini ialah setiap hal yang menyibukkan seseorang sehingga membuatnya lalai untuk beramal saleh. Baik hal tersebut dari sesuatu yang tak berguna maupun sesuatu yang diharamkan.[1] Selain itu beliau juga menambahkan bahwa, Hadis di atas bermaksud untuk mendorong seseorang agar bersegera dalam beramal baik, sebelum datangnya fitnah-fitnah yang dapat membuatnya sibuk, sehingga menjerumuskannya dalam kegelapan hidup dan tak dapat membedakan antara baik dan buruk, sebagaimana seorang yang berada dalam gelapnya malam tanpa cahaya.[2]

Kemudian Nabi Muhammad SAW, memberikan sebuah gambaran ketika seseorang telah terjerumus dalam kegelapan fitnah, ia tidak akan teguh pendirian, sebagaimana tergambar dalam sabdanya, “seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman dan di pada sore hari dalam keadaan kekafiran”.

Hadis ini merupakan suatu sindiran bagi orang yang tidak mepunyai keteguhan dalam pendiriannya. Jadi kata mukmin ataupun kafir dalam hadis ini bukan bemakna definitif sebagaimana disebutkan dalam Ilmu akidah, namun kedua lafadz tersebut merupakan kinayah antara kebaikan dan keburukan. Dengan artian jika seseorang tidak punya teguh pendirian maka hatinya akan mudah tergoyahkan, sehingga yang semula berniat baik malah menjadi berniat buruk.

Dalam Hadis lain Nabi Muhammad SAW, membarikan sebuah penjelasan tentang pentingnya keteguhan hati, sehingga baliau menjadikan keteguhan hati sebagai tolok ukur keimanan seseorang. Hal itu tersirat dalam sabdanya berikut:

لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ

“Iman seorang hamba tidak akan istikamah, sehingga hatinya istikamah.” (HR Ahmad, no. 12636).

Setelah memberikan gambaran bagi sesorang yang terjerumus dalam fitnah bahwa ia berada dalam kegelapan sehingga hatinya mudah tergoyahkan, Nabi Muhammad SAW, menjelaskan tentang bahaya ketika seseorang tidak memiliki hati yang teguh dalam berpendirian, sebagaimana termaktub dalam sabdanya, “Ia akan menjual agamanya dengan keuntungan yang sedikit dari dunia”.

Artinya ketika hati seseorang mudah tergoyahkan sehingga mudah berpaling dari kebaikan terhadap keburukan, maka ia akan mudah untuk menjual agamanya. Hal inilah yang dapat mengantarkannya pada kekafiran yang sesungguhnya [3] dan akan meneriama siksa yang pedih kelak di akhirat.

Alla SWT, berfirmana dalam surat Ali-‘Imran:

إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلًا أُولَٰئِكَ لَا خَلَاقَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat kebahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Dan Bagi merekalah azab yang pedih.” (Q.S. surat Ali-‘Imran ayat 77).

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa betapa pedihnya orang-orang yang dengan mudah menjual agamanya dengan harta dunia yang sangat rendah nilainya dibandingkan akhirat, demi kepuasan nafsu semata.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.


[1]Imam Nawawi Syarh Al-Nawawi ala Shahih Muslim JUZ 2, 133.

[2] Dr.Musa Syahin Fathu Al-Mun’im Syarah Shahih Muslim  JUZ 1, 388. Darus syuruq 2002.

[3] Muhammad bin Ali bin Adam Al-Bahru Al-Muhit fi syarhi shahih Imam Muslim  JUZ 3, 419. Daru Ibn Jauzi.