Oleh: Munawara*

Sebuah percakapan atau yang lebih akrab kita sebut komunikasi bisa terjadi di mana pun, pada siapa pun, dan kapan pun. Di ruang kerja, komunikasi bisa dilakukan oleh atasan pada bawahan, bawahan pada atasan, atau sama-sama karyawan. Di sekolah, komunikasi bisa terjadi pada guru dan siswa, siswa dan satpam, atau siapapun yang ada di sana. Di rumah, komunikasi terjadi pada anggota keluarga, anak pada orang tua dan sebaliknya. Di lingkungan masyarakat, komunikasi bisa terjadi antar manusia. Hal semacam ini juga pernah ditulis oleh Jalaludin Rakhmat, dengan narasi yang tak banyak beda, sebuah penelitian menyebutkan bahwa 70% waktu bangun seseorang digunakan untuk berkomunikasi. Komunikasi menentukan kualitas hidup kita. Lalu bagaimana mungkin kita tidak berkomunikasi?

Dengan berkomunikasi kita bisa mengurangi ketegangan, kesalahpahaman, dan kebingungan. Tetapi sebaliknya dengan komunikasi yang berlebihan dan tidak efektif, akan menimbulkan sebuah kebosanan, kesalahpahaman, dan percekcokan. Oleh karena itu, berkomunikasi bukan sekadar berkomunikasi saja, namun perlu memperhatikan etika, pesan, dan situasi yang tepat dalam mengkomunikasikan sesuatu, kepada siapa, atau tentang apa yang disampaikan dan saat bagaimana.

Komunikasi bisa membentuk terjalinnya hubungan baik, menimbulkan kasih sayang, kepercayaan, support system, merawat silaturahmi, menumbuhkan tradisi, dan banyak hal lain, yang saya yakini dalam hidup ini pada hakikatnya kita tidak bisa tidak berkomunikasi. Seperti ungkapan yang tak asing di telinga kita, “we cannot not communicate” (Bateson, 1972). Komunikasi merupakan prasyarat kehidupan manusia. Perihal sederhana seperti kebutuhan sehari-hari minum dan makan pun, manusia membutuhkan komunikasi, maka apakah mungkin manusia tidak membutuhkan komunikasi?

Hal ini tidak lepas dari fungsi komunikasi itu sendiri. Sebagai makhluk sosial, kita menyadari bahwa komunikasi akan menjadi mediator manusia menjalin hubungan manusia lainnya. Komunikasi sangat penting untuk membangun konsep diri. Seperti yang disebut oleh Deddy Mulyana, bahwa manusia yang tidak pernah berkomunikasi dengan manusia lainnya tidak mungkin mempunyai kesadaran bahwa dirinya adalah manusia. Selain karena untuk kesadaran itu, komunikasi juga menjadi jembatan eksistensi bagi diri manusia. Manusia saat hidup tak sedikit yang ingin dikenal atau dihargai oleh orang lain, dalam hal inilah komunikasi berperan penting.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam sebuah buku psikologi komunikasi diceritakan, pada tahun 1970 di California, seorang ibu (50) melarikan diri dari rumahnya usai bertengkar dengan suaminya (70) tahun. Ibu tersebut membawa anak gadisnya yang masih usia 13 tahun. Mereka datang meminta bantuan pada petugas kesejahteraan sosial. Akan tetapi, petugas melihat hal aneh pada anak gadis yang dibawanya. Perilakunya tidak menunjukkan anak yang normal. Tubuhnya bungkuk, kurus kering, kotor, dan menyedihkan. Tidak satu saat pun terdengar bicara. Petugas mengira gadis ini telah dianiaya ibunya. Polisi dipanggil, dan kedua orang tuanya harus berurusan dengan pengadilan.

Pada hari sidang, ayah gadis itu membunuh dirinya dengan pistol. Ia meninggalkan catatan, “Dunia tidak akan pernah mengerti.” Barangkali ada hal yang tak sempat dan tak mampu disampaikan oleh sang ayah hingga ia memilih membunuh dirinya. Pesan yang ia tinggalkan masih menyisakan tanda tanya, itulah mungkin salah satu komunikasi yang kurang efektif, komunikasi yang menyisakan kebingungan bahkan hanya menerka-nerka saja, dan ini bisa membuat salah paham, hubungan hancur, dan efek lainnya.

Contoh lain yang sangat dekat dengan kita, adalah kehidupan sehari-hari dalam keluarga. Beberapa waktu lalu, saya mendapati seorang teman bercerita; dia tidak betah di rumahnya, bahkan tidak ingin pulang. Rumahnya terasa sepi dan asing bagi diri yang notabenenya adalah penghuni rumah itu. Saat saya bertanya apa yang menyebabkan demikian, ia hanya menjawab singkat, “tidak pernah ada musyawarah (kumpul keluarga untuk berbicara).”

Entah itu di ruang tamu, di meja makan, atau saat mondar-mandir di dalam rumah itu. ia merasa orang tuanya sibuk bekerja dan sisanya saat di rumah adalah lelah dan istirahat. Di sanalah tidak terjadi jalinan komunikasi yang bisa menandakan bahwa mereka saling kenal, saling sayang, saling merindukan. Bisa jadi, jika hal tersebut dibiarkan, maka hubungan seerat apapun bisa renggang, salah satu buktinya adalah ketidakbetahan seorang anak tinggal di rumahnya sendiri, hingga ia memilih pulang ke rumah teman atau jalan-jalan ke manapun yang ia merasa menemukan kehidupan yang ia dambakan.

Tidak hanya persoalan anak dan orang tua, dalam dunia kerja komunikasi juga sangat dibutuhkan. Salah satunya komunikasi tersebut harus terjalin antar karyawan, atasan dan bawahan, baik dalam bentuk rapat atau koordinasi suatu program kerja. tanpa dikomunikasikan, program kerja hanyalah konsep yang terpampang di meja redaksi. Tanpa adanya koordinasi, jalinan kerja sama hanya cita-cita mulia dalam sebuah tim. Oleh karena itu, komunikasi yang sehat bisa menjadi penunjang support system yang sehat di dunia kerja, dan komunikasi efektif bisa mempercepat kerja sampai ke tujuannya. Sekali lagi, tidak hanya pokoknya berkomunikasi, tetapi kita juga punya tugas memperhatikan bagaimana cara berkomunikasi yang baik dan efektif.

Sampai di sini, saya meyakini bahwa tak ada satu dari kita yang mengelak bahwa dalam kehidupan, manusia sangat membutuhkan komunikasi sebagai penyaluran hasrat, keinginan, cita-cita, tujuan, bahkan untuk menjalin hubungan baik antara diri dengan Tuhan, diri dengan manusia lain, dan bahkan diri dengan diri sendiri. Di antara komunikasi tersebut, yang seringkali kita lupa adalah berkomunikasi dengan diri sendiri (komunikasi intrapersonal), padahal ini adalah sistem utama yang akan mengantarkan kita mampu berkomunikasi dengan selain diri kita (orang lain).


*Rara Zarary, Pegiat Pesantren Perempuan.