Menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang mengatakan kalau umat Islam wajib menununtut ilmu karena dengan adanya ilmu manusia manjadi lebih beradab dan berkemajuan. Sabda nabi tersebut diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ
Dari Anas bin Malik ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Dan orang yang meletakkan ilmu bukan pada ahlinya, seperti seorang yang mengalungkan mutiara, intan dan emas ke leher babi.[1]
Dalam sebuah hadis lain Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda juga tentang kewajiban menyampaikan apa yang datang dari nabi, yaitu sabda nabi yang berupa “ballighu ‘anni wa lau ayat (Sampaikanlah dariku walau satu ayat). Hadis ini dikomentari oleh Imam Abu Hatim, beliau mengatakan kalau hadis ini tertuju kepada para sahabat dan siapa pun yang mengikuti jejak mereka sampai datangnya hari kiamat dalam menyampaikan apa yang datang dari nabi, perintah ini adalah Fardhu Kifayah. [2]
Setelah kewajiban menuntut ilmu kita sebagai muslim juga harus menyebarkan ilmu yang telah kita pelajari. Dalam Islam menyembunyikan pengetahuan (Kitman al-Ilm) dilarang oleh Syariat, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad Saw pernah berkata:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ عَلِمَهُ ثُمَّ كَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ
Dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa ditanya tentang suatu ilmu yang dia ketahui kemudian dia menyembunyikannya, maka dia akan dicambuk pada hari kiamat dengan cambuk dari neraka.[3]
Di samping mengamalkan ilmu adalah sebuah keharusan hal tersebut juga memiliki keistimewaan, misalnya orang yang mengamalkan ilmuya tidak akan terputus pahala yang ia dapat ketika ada orang yang mempraktikkan ilmu darinya hal ini sesuai yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ صَدَقَةٍ تَجْرِي لَهُ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dari Nabi ﷺ, beliau beersabda, “Apabila manusia meninggal, terputuslah seluruh amalannya, kecuali tiga hal: ilmu yang bermanfaat, sedekah yang (pahalanya) mengalir, serta seorang anak shalih yang selalu mendoakan kebaikan untuknya”.[4]
Ilmu yang sudah kita dapat akan mejadis sia-sia jika tidak diamalkan, bayangkan saja seseorang yang sudah berlelah-lelah meluangkan waktu untuk mencari ilmu tapi ilmunya dipendam sendiri tanpa menyebarkannya ke orang lain. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Malik bin Dinar pernah berkata:
عن جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ: سَمِعْتُ مَالِكَ بْنَ دِينَارٍ يَقُولُ: ” قَرَأْتُ فِي التَّوْرَاةِ: إنَّ الْعَالِمَ إِذَا لَمْ يَعْمَلْ بِعِلْمِهِ زَلَّتْ مَوْعِظَتُهُ عَنِ الْقُلُوبِ كَمَا يَزِلُّ الْقَطْرُ عَنِ الصَّفَا
Dari Ja’far bin Sulaiman, ia berkata: Saya mendengar Malik bin Dinar berkata: “Saya membaca dalam Taurat: Sesungguhnya seorang alim jika tidak mengamalkan ilmunya, maka nasihatnya akan terjatuh dari hati-hati sebagaimana air yang jatuh dari batu yang licin”.[5]
Itulah pentingnya mengamalkan ilmu, segala kemanfaatan akan kita dapatkan bukan hanya di dunia bahkan di akhirat pun kita masih punya investasi pahala dikarenakan pernah mengamalkan illmu. Di samping kita mendapatkan pahala kita juga terhindar dari dosa karena sudah menutupi ilmu pengetahuan yang seharusnya kita sampaikan ke orang lain. Keharusan mengamalkan/menyebarkan ilmu ini harus kita tanamkan pada diri sendiri walaupun hukumnya fardhu kifayah, karena tidak ada salahnya setiap individu muslim punya semangat mengamalkan ilmu.
Baca Juga: Eksistensi Pesantren Tebuireng Mengkader Intelektual Muda Aswaja
[1] HR Imam Ibnu Majah No 220
[2] Muhammad bin Hibban, Shahih Ibn Hibban bi Tartib Ibn Bulban, Mu’assasat Al-Risalah Beirut, 1993, 149/14.
[3] HR Imam Tirmidzi No 2573
[4] HR Imam al-Darimi No 558
[5] Ahmad bin Al-Husain bin Ali bin Musa Al-Khusrawjirdi, Syu’ab Al-Iman, Maktabah Al-Rusyd lin-Nashr – Riyadh, 2003 M, 298/3
Nurdiansyah Fikri Alfani, Santri Tebuireng