Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984, industri berarti kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, industrialisasi diartikan sebagai usaha menggalakkan industri dalam suatu negara. Atau dengan pengertian lain, industrialisasi adalah suatu proses untuk mengolah bahan-bahan baku konsumsi dan barang-barang yang olah lebih lanjut dengan memperhatikan aspek produksi dan aspek permintaan.
Industri sangat penting bagi suatu bangsa atau negeri. Perannya sangat diperlukan dalam rangka memberikan maslahat bagi masyarakat penghuni suatu bangsa atau negeri tersebut. Terlebih, zaman modern sekarang, kehidupan masyarakat hampir tidak bisa dipisahkan dengan apa yang disebut “kemajuan industri.”
Pertanyaannya, di mana posisi agama Islam dalam kemajuan industri ini? Bagaimana pandangan Islam mengenai industri yang kian hari kian menampakkan kemajuannya?
Untuk memberikan penjelasan yang cukup sederhana lagi mengena, ada satu buku karangan sarjana Islam modern yang penulis tawarkan dalam kesempatan kali ini. Buku ini bertajuk “Ahkamu al-Tasni’”, karangan Ahmad bin Shalih bin Ali Bafadhal. Salah seorang sarjana ternama yang berasal dari daerah Yaman.
Di dalam kitab tersebut, beliau menjelaskan seluk-beluk industri menurut sudut pandang Islam. Mulai dari hukum berindustri, macam-macam industri dalam Islam serta kaitannya dengan hukum, dan lain sebagainnya. Kalau pembaca kepo, silahkan membaca kitab tersebut.
Namun, pada kesempatan kali ini, penulis hendak memfokuskan pada pembahasan seputar pandangan Islam terhadap industrialisasi hari ini. Bagaimana sebenarnya hukum dasar dari kegiatan industri?
Secara dasar, Ahmad bin Shalih bin Ali Bafadhal menjelaskan bahwa kegiatan industri adalah sesuatu yang seharusnya ada dan dilakukan oleh umat manusia. Mengenai dalil yang mendasari akan kegiatan industri, beliau menawarkan dalil yang berasal dari al-Quran dan hadis.
Untuk dalil al-Quran, beliau mencuplik satu ayat sebagaimana di bawah ini:
وَعَلَّمْنَٰهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَّكُمْ لِتُحْصِنَكُم مِّنۢ بَأْسِكُمْ ۖ فَهَلْ أَنتُمْ شَٰكِرُونَ
“Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah).” (Q.S. al-Anbiya: 80).
Dari sini, Imam Qurtubhi, pengarang kitab Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, menjelaskan bahwa ayat di atas menjadi dasar hukum di dalam kegiatan industri dan perangkat-perangkat yang menyertainnya.
Di dalam hadis, Nabi juga pernah menyinggung, “Allah Swt. akan memasukkan tiga orang ke dalam surga sebab satu tombak; produsen, konsumen dan distributor tombak tersebut.” (H.R. Abu Daud).
Dasar Hukum Kegiatan Industri
Untuk lebih jelasnya, kita akan mengklasifikasikan hukum dasar kegiatan industri sebagaimana di bawah ini.
Pertama, wajib kolektif (Fardhu Kifayah). Industri memiliki hukum dasar wajib kolektif (Fardhu Kifayah) dengan memahami bahwa Allah Swt. memerintahkan manusia untuk melestarikan bumi. Dalam prosesnya, pelestarian bumi tidak akan terealisasikan kecuali ketika kegiatan industri itu diadakan.
Untuk perintah Allah Swt. mengenai pelestarian bumi, hal ini bisa dilihat di dalam salah satu ayat sebagaimana di bawah ini:
هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَٱسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِ ۚ
“Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya.” (Q.S. Hud: 60).
Kesimpulan bahwa hukum dasar industri adalah wajib kolektif (Fardhu Kifayah) ini didukung oleh sebagian ulama, salah satunya Imam Muhammad Syatha berikut, “Secara hukum dasar kegiatan industri adalah wajib kolektif (Fardhu Kifayah).” (Kitab ‘Ianah Thalibhin).
Kedua, hukum dasar kegiatan industri adalah mubah. Dalam arti, tidak ada perintah untuk mengerjakan juga meninggalkan. Tidak bermasalah ketika kita tidak berindustri, juga tidak efek tertentu ketika kita melakukannya.
Untuk pendapat kedua ini bisa menyimpulkan bahwa kegiatan industri secara dasar hukumnya mubah, menimbang bahwa kegiatan tersebut adalah tabiat manusia. Secara dasar, manusia memang berindustri. Industri sendiri termasuk salah satu macam pekerjaan. Pekerjaan sendiri hukumnya mubah. Oleh karena itu, kegiatan industri secara dasar memiliki hukum mubah.
Dari sini bisa kita simpulkan bahwa secara esensi, kegiatan industri itu mubah. Namun, dengan memperhatikan faktor eksternal, misalnya adanya perintah dan tuntutan untuk melakukannya, maka dihukumi wajib kolektif (Fardhu Kifayah). Bisa jadi kondisi menuntut untuk diadakan, maka hukum industri bisa jadi wajib, sunah atau lainnya.
Namun, secara umumnya lagi, industri bisa saja distatusi haram, makruh atau hukum-hukum lainnya. Hal ini dengan mempertimbangkan faktor eksternal dari industri tersebut. Namun sekali lagi, secara asal, kegiatan industri itu hukumnya mubah.
Demikianlah penjelasan sederhana seputar kegiatan industrialisasi masa kini menurut sudut pandangan agama Islam. Islam sendiri menyadari bahwa adakalanya kegiatan industri itu sangat dibutuhkan bagi umat manusia. Untuk itu, Islam secara dasar sangat menerima perkembangan industri hari ini. Begitulah Islam. Agama yang senantiasa bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Ditulis oleh Moch. Vicky Shahrul hermawan, Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang