Tebuireng.online– Iman Partogi Sirait hadir dalam acara haul pertama KH. Salahuddin Wahid menjadi narasumber pada acara Bedah buku sekaligus Launching buku “Gus Sholah Sang Arsitek Pemersatu Umat” pada Selasa (02/02/2021) di lantai 1 gedung KH. M. Yusuf Hasyim. Acara launching dan bedah buku dimulai pada siang hari pukul 10.36 WIB.
Dalam Kesempatan ini Iman Partogi Sirait selaku Narasumber sekaligus salah satu kontributor penulis dari buku “Gus Sholah Pemersatu Umat” banyak mengulas kenangan semasa beliau bersama dengan Gus Sholah. Seorang Kristiani yang berasal dari Batak ini mengakui bahwa dia sangat mengagumi sosok Gus Sholah, dan menganggap Gus Sholah seperti bapaknya sendiri, menurut Iman Partogi ini, Gus Sholah dengan dirinya memiliki hubungan jiwa di antara keduanya.
Iman Pratogi membagi kenangan bersama Almarhum KH. Salahuddin Wahid pada tahun 2014-2015 “Saya merasa banyak mendapatkan anugerah dari Tuhan karena diizinkan bertemu dengan Gus Sholah, karena tanpa itu saya banyak sekali tersesat dalam memahami sebuah nilai hidup berbangsa dan bernegara, Gus Sholah banyak membimbing dan merealisasikan sebuah hal yang ingin saya capai hingga sampai pada wujud yang nyata,” katanya.
“Saya memiliki kerisauan program kampanye pak jokowi, kampanye yang pertama saya cukup kaget di lapangan yang mengarahkan pada propaganda-propaganda yang saling mendeskriditkan suku, agama dan ras. Yang akhirnya resah dan menanyakan perihal tersebut kepada Saifullah Ma’sum dan pak Sabar. Akan tetapi pak Saifullah ma’sum dan pak Sabar mengantarkan saya kepada Gus Sholah. Pada pertemuan pertama, saya tumpahkan segala kerisauan, kemudian Gus Sholah menanyakan kembali kepada saya, apa ide yang saya punya? Akan tetapi saya tidak menjawabnya, kemudian Gus Sholah menjawab, ‘Kalau kamu punya cita-cita, pastikan dulu cita-cita tersebut apakah asumsi atau sebuah imajinasi yang dapat terealisasikan,” ceritanya.
Iman Pratogi mengungkapkan bahwa sebuah gagasan di atas adalah gagasan yang perlu diverifikasi asumsi atau pertanggung jawaban sebagai sesuatu yang akurat. Gus Sholah menjelaskan apa itu berbangsa, apa itu bernegara, mengapa kita lebih dahulu berbangsa daripada bernegara?
Lanjutnya, Gus Sholah menjawab secara rigid apa itu jiwa bangsa yang termaktub di Pembukaan Dasar 45, itulah kearifan-kearifan dan keluhuran-kelurahan para pendiri bangsa yang disiapkan sedemikian rupa untuk tata kehidupan kita kedepan, maka peganglah nilai-nilai itu. Jangan berinteraksi dengan sosok manusianya, tapi mengabdilah pada subtansi itu, kalau manusia kamu akan kecewa, karena manusia akan datang dan pergi tidak sesuai dengan value yang tidak sesuai.
“Maka semenjak itu kepala saya ditanamkan hal-hal yang sejatinya sebuah nilai itu harus kita hayati dan jiwai, di sanalah beliau menyebutnya dengan gerakan kebajikan Pancasila. Saya memaknai diksi untuk menekankan kembali tentang Pancasila yang sesungguhnya. Peristiwa-peristiwa tersebut saya menemukan hubungan jiwa. Beliau menyingkirkan hal-hal yang sifatnya atributif, dekoratif, saya melihat hubungan jiwa dengan jiwa, untuk mendeklarasikan Gerakan Kebajikan Pancasila,” ungkapnya.
Menurutnya, selain itu, Bu Nyai Farida juga merupakan sosok yang tulus secara kejiwaan. “Itulah sosok ayah dan ibu yang saya temui dalam waktu singkat yang tidak menempatkan peraturan sifatnya semu yang pergi kepada hal-hal yang esensial. Dan saya sadari sekarang, boleh berkhayal tapi kamu periksa khayalan kamu, itu asumsi atau imajinasi. Kalau imajinasi, boleh kamu bisa mempertanggungjawabkan untuk menurunkan itu menjadi langkah-langkah yang teknis dan operasional sehingga bisa dieksekusi. Pikiran tersebut ditanamkan kepada saya, langkah berikutnya adalah silaturrahmi, semua ide gagasan yang memicu kita berpikir keras, Tuhan berikan kepada saya untuk mendapatkan jawabannya,” katanya.
Ia menyebut pesan Gus Sholah, ‘Jangan berpikir ikut populer dalam substansi, tapi tekanlah dirimu pada substansi tersebut. Tanggung jawablah dengan proses dan jangan lari, teguhlah pada objektif, berpengharapanlah pada yang esensial’. “Bagi saya, Gus Sholah adalah pendeta di atas pendeta. Harga dari sebuah kesetiaan dan komitmen, maka jangan mencampuri ambisi dan hawa nafsu. Semuanya tentang khidmat dalam hati, mindset, filosofis dan praktis,” pungkasnya.
Pewarta: Nur Indah