Pertanyaan :

Assalamu’alaikum. Pak Kyai yang muliakan. Dalam surat al-Baqarah ayat 34 :

diterangkan bahwa Iblis tidak melakukan perintah Allah berupa bersujud kepada nabi Adam a.s. dan karena hal tersebut dia termasuk golongan orang kafir. Yang kami ingin tanyakan :

  1. Ayat di atas menggunakan huruf istitsna (Illa) sebelum lafazh Iblis setelah penyebutan Lafazh Apakah itu berarti Iblis merupakan golongan dari malaikat? jika bukan, siapakah sebenarnya Iblis?
  2. Dalam ayat tersebut, Iblis dikatakan sebagai golongan kaum kafir dikarenakan dia bangkang (Abaa) dan sombong (Istakbara) dengan tidak melakukan perintah Allah. Apakah karena hal tersebut saja Iblis dimasukkan dalam golongan kaum kafir? karena di sisi lain, dia mempercayai atau membenarkan keesaan Allah (tauhid).
  3. Apa kriteria seseorang (hamba Allah) termasuk golongan kafir? Apakah perbuatan bangkang (Abaa) dan sombong (Istakbara) terhadap perintah Allah yang dilakukan seseorang, dapat menyebabkan dia dikatakan kafir?

Penanya : Sigit, Purbalingga

Jawaban :

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Barakallah fikum. Iblis membangkang dan tak mau bersujud kepada Adam A.S. padahal semua komunitas Malaikat mau. Lalu dikutuk sebagai kafir. Kisah ini diungkap dalam al-Qur’an di lebih dari satu tempat, antara lain al-Baqarah : 24. Apakah Iblis termasuk jenis malaikat ?

Sebelum Adam, di sono dulu sudah ada makhluk penghuni yang dicipta dari bahan sinar. Yang soft (cahaya/nur) menjadi malaikat dan yang hard (api/nar) menjadi Iblis. Keduanya serumpun dan sama-sama patuh kepada Tuhan, bahkan kepatuhan si Hard disinyalir lebih atraktif ketimbang si Soft. Lalu Adam lahir dari bahan tanah liat dan si Hard tak menghormat ( fa sajadu illa Iblis ). Maka Iblis termasuk komunitas Malaikat, setidaknya dengan dua alasan :

Pertama, dari sisi bahasa, terlihat model istitsna’ yang dipakai pada ayat tersebut adalah kalam tammmujab muttashil, bukan manfiy dan bukan munqathi’. Hal itu nampak pada al-mustatsna yang manshub, dibaca nashab ( illa Iblisa ). Tak ada khilaf signifikan dalam qira’ah ini sehingga nilai kemutawatirannya absolut.

Yang dimaksud istitsna’ muttashil adalah bahwa antara al-mustasna (bagian yang dikecualikan) dan al-mustatsna minh ( komunitas asal ) sama jenis, rumpun, komunitas maupun identitas. Lawannya adalah munthaqi’ seperti tak sejenisnya antara kuda dengan manusia. Sedangkan kalam tamnya itu kalimat yang sudah bisa difahami secara  sempurna tanpa perlu tambahan kata. Lawannya adalah kalam Naqish. Sementara kalam mujab adalah kalimat positif, lawannya negatif atau kalam manfiy. Soal varian i’rab, silakan rujuk ilmu nahwu.

Kedua, dari perspektif historisitas, bahwa masyarakat langit adalah mereka para lelembut. Sehingga logik serumpun dan sejenis, meski ada perbedaan prilaku. Konon, Iblis dulu itu Azazil, sosok pengabdi paling totalitas dan terhormat. Barangkali, karena elitisnya tersebut, lantas dia congkak dan memandang rendah kepada Adam, sehingga memilih membantah Tuhan ketimbang harus bersujud menghormat Adam yang tak punya reputasi apa-apa itu. Dan itu wajar bagi Iblis, tapi tak wajar menurut Tuhan.

Tak menutup pendapat yang mengatakan bahwa Iblis bukan jenis Malaikat dengan alasan tak sama perilaku. Malaikat sebagai hamba penurut sedangkan Iblis hamba pembantah (aba wa istakbar). Lagian, antara cahaya dan api tak sama. Tak sama antara menerangi dan membakar.

Atas dasar pembangkangan (aba) dan kecongkakannya (istakbar) itulah, Iblis dicap sebagai kafir. Kafir artinya tidak mengakui, tidak mengindahkan dan tidak mamatuhi. Iblis memang mengakui eksistensi Allah sebagai Tuhan, Rabb. Dan selalu ingat (dzikir) kalau Allah itu ada. Tapi tidak meyakini sebagai Tuhan yang wajib dipatuhi. Inilah kesalahan teologis yang amat mendasar. Dengan berkeyakinan tak perlu patuh  itulah, maka  pengakuan sebelumnya (dzikir) menjadi terhapus (kafir) secara otomatis. Ibarat pemimpin tanpa ketaatan. Wallahu A’lam

KH. Ahmad Musta’in, Pengasuh Rubrik Telaah Tafsir Majalah Tebuireng