
Masih soal menyelami pesan-pesan Al-Ghazali. Kali ini, Al-Ghazali menganalogikan titah Tuhan sebagai akad jual beli. Di mana ada uang sebagai alat tukar, maka ada barang sebagai bentuk kepercayaan transaksi. Tuhan menurunkan perintah secara umum dalam dua sifat, yaitu bersifat wajib (fardhu) maupun sunnah (nafilah).
Wajib (fardhu), kata Ghazali diibaratkan sebagai modal atau pokok perniagaan yang nantinya menghasilkan transaksi perniagaan yang utuh. Sementara itu, sunnah ialah keuntungan dari jual beli. Rasulullah dalam hadis Qudsi, menjelaskan bahwa Allah berkata “Pendekatan orang-orang yang mendekat kepadaKu, sebagaimana mereka menjalankan apa yang Aku fardhukan atas mereka. Dan seorang hamba yang senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan menjalankan sunnah-sunnah, hingga Aku mencintainya“.
Ibaratnya begini, kita beli laptop dapat bonus casing, tas, atau mouse. Mana mungkin kita mau menerima hanya casing, tas, atau mouse-nya, yang notabene merupakan barang-barang bonus, bukan ra’sul maal (benda pokok) yang menjadi maksud transaksi. Maka laptop justru yang wajib dihadirkan.
Sama dengan ibadah, sunnah sebagai nilai plus di samping sunnah tidak boleh dimenangkan atas wajib. Kedudukannya berbeda. Misal kita shalat tahajud lancar, tapi shalat lima waktu bolong-bolong. Shalat tarawih, tapi tidak puasa Ramadan. Maka tetap, fardhu menjadi yang prioritas, sunnah sebagai fasilitas. Prioritas ketiadaannya tidak bisa diganggu gugat, sementara fasilitas sifatnya ikhtiyari (choice) dan dicarikan alternatif-alternatif.
Maka ketika Allah sudah mencintai seseorang, maka kehidupannya berbasis ketuhanan. Pendengarannya berbasis pendegaran Allah, penglihatannya berbasis penglihatan Allah. Begitu juga lisannya yang berbicara tidak keluar dari kalam-kalam Allah, tangannya yang membantunya bangkit, kakinya yang dipakai jalan, juga tidaklah digerakkan kecuali berbasis titah Allah. Artinya entitas menusia seperti itu, sudah seakan menyatu dengan perintah Tuhan.
Ketika seseorang sudah masuk pada tingkatan itu, semua geraknya, tingkah lakunya, diliputi perasaan di dalam hatinya untuk selalu diawasi Allah (muraqabatul qalbi) karena selalu melibatkan Allah, sampai anggotan badannya, kedipan matanya hingga hembusan nafasya, tidak keluar dari dzikir kepada Allah. Kesadaran atas pengawasan Allah ini bersifat sempurnya, dari yang dhahir sampai yang sangat mendalam. Pengawasan ini dari hal umum sampai detail-detail yang luput dari pandangan manusia.
Maka di sini, seyogyanya, seorang yang hamba selalu merasa hina dan mengakui dosanya sebagai adabnya kepada Penciptanya. Untuk bisa mencapai itu, perlu manajemen waktu yang pas. Menurut Al-Ghazali hal itu harus dilakukan agar ketersambungan hamba dengan Tuhan terus terjaga.
*Disarikan dari pengajian Kitab Bidayatul Hidayah yang diampuh oleh Kiai Yayan Musthofa
**Ditulis oleh M. Abror Rosyidin, Dosen Universitas Hasyim Asy’ari