Ilustrasi ibadah

Dalam salah satu riwayat Imam Muslim dari Siti Aisyah, Nabi Muhammad pernah berkata:

أَجْرُكَ عَلَى قَدْرِ نَصْبِكَ

Pahala yang akan engkau peroleh sesuai dengan usaha yang engkau kerahkan.” (H.R. Imam Muslim).

Dari riwayat tersebut, salah satu ulama yang digadang-gadang sebagai mujtahid, yakni Imam Suyuthi, menawarkan satu kaidah yang cukup menarik kita bahas. melalui salah satu megakaryanya, yakni Asbah wa Nadhair, beliau menuturkan:

مَا كَانَ أَكْثَرَ فِعْلًا كَانَ أَكْثَرَ فَضْلًا

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sesuatu yang lebih banyak dari segi pekerjaan, maka secara keutamaan juga akan lebih banyak.”

Sederhananya, ketika misalnya suatu ibadah itu lebih banyak dari segi pekerjaan, maka kita bisa menilai bahwa dari segi keutamaan yang terkandung, ibadah tersebut juga akan memiliki nilai tambah. Semakin banyak usaha yang kita kerahkan, maka akan semakin banyak pula pahala atau nilai yang akan kita peroleh.

Dari kaidah ini pula, Imam Suyuthi menawarkan beberapa aplikasi yang kiranya mudah kita pahami. Salah satunya adalah di dalam konteks shalat. Orang yang melaksanakan shalat sunah dengan berdiri, maka pahala yang akan dia peroleh akan lebih banyak daripada orang yang melaksanakannya dengan cara duduk. Tentunya, usaha yang akan dikerahkan oleh orang yang berdiri, jauh lebih banyak daripada usaha yang dikerahkan oleh orang yang duduk.

Contoh lain, konteks shalat witir. Lebih khususnya, konteks shalat witir tiga rakaat. Orang yang melaksanakannya dengan cara memisah, akan mendapat pahala dan nilai lebih daripada orang yang melaksanakannya dengan cara menggabung tiga rakaat sekaligus. Alasanya sudah jelas. Orang yang melaksanakannya dengan cara memisah, ada segi perbedaan kuantitas dari segi niat, takbir dan salam. Perbedaan inilah yang kemudian memunculkan perbedaan dari segi nilai dan pahala.

Lebih jelasnya lagi, kita tawarkan satu contoh lagi. Supaya lebih memahamkan. Satu contoh ini dalam konteks ibadah haji dan umrah. Orang yang melaksanakan kedua ibadah tersebut dengan memisah, haji dulu lalu umrah, atau umrah dahulu baru haji, maka akan mendapat pahala dan nilai lebih dari orang yang melaksanakan kedua ibadah tersebut dengan cara menggabung. Mungkin, beberapa aplikasi yang sudah disuguhkan di atas cukup untuk memberikan pemahaman sederhana dari kaidah yang ditawarkan oleh Imam Suyuthi di atas.

Namun, karena sifat kaidah itu hanya secara umum saja, sudah pasti ada sekian masalah atau aplikasi yang terkecualikan dari kaidah tersebut. Dalam arti, ada satu dua ibadah yang secara kuantitas lebih sedikit, namun malah mendapat pahala dan nilai yang lebih.

Untuk memperjelas konteks masalah yang terkecualikan dari kaidah di atas, kiranya kita perlu melihat beberapa aplikasi di bawah ini. Misalnya, dalam konteks shalat dhuha. Kalau kita melihat beberapa keterangan yang terdapat di dalam literatur kitab fikih, kita akan menemui satu informasi bahwa rakaat paling banyak shalat dhuha adalah dua belas. Namun, ternyata melaksanakan shalat dhuha sebanyak delapan rakaat lebih utama daripada melaksanakannya sebanyak dua belas rakaat.

Alasan yang ditawarkan oleh Imam Suyuthi dalam konteks shalat dhuha di atas adalah praktik yang sesuai dengan apa yang dilaksanakan Nabi. Misalnya, melalui riwayat di bawah ini:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي يَوْمَ الْفَتْحِ سُبْحَةَ الضُحَيْ ثَمَانِيَ رَكْعَاتٍ وَيُسَلِّمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ

Nabi shalat dhuha di hari kemenangan kota Mekah sebanyak delapan rakaat, di mana setiap dua rakaat sekali beliau salam.” (H.R. Abu Dawud).

Ada juga riwayat lain dari Imam Bukhari dan Muslim yang juga menerangkan serupa bahwa Nabi pernah melaksanakan shalat dhuha sebanyak delapan rakaat.

Melalui beberapa riwayat yang ada, alasan bahwa dengan mengikuti praktik yang sudah dilaksanakan oleh Nabi, sudah cukup untuk dijadikan argumen bahwa pelaksanaan shalat dhuha sebanyak delapan rakaat lebih utama daripada dua belas rakaat. Jadi, meski dari segi banyaknya rakaat itu kalah, namun delapan rakaat lebih utama dan lebih memberikan banyak pahala serta nilai dibanding dua belas rakaat. Alasannya sekali lagi, karena praktiknya sesuai dengan Nabi.

Contoh lain, dalam konteks pembacaan surah di saat shalat. Jadi, membaca surah pendek dengan cara menyambung mulai awal hingg akhir surah, itu lebih utama dan bernilai tambah, daripada membaca surah panjang, namun dipisah. Misalnya kita membaca surah al-Ikhlas dengan cara menyambung, itu akan menghasilkan lebih banyak pahala daripada membaca surah an-Naba secara dipisah-pisah.

Alasan yang ditawarkan oleh sebagian ulama, salah satunya adalah Imam ar-Ruyani, bahwa pelaksanaan dengan membaca surah secara sempurna, meski surah pendek, itu adalah praktik yang biasa dilakukan oleh Nabi. Jadi, meski pendek, namun sambung secara sempurna, akan memberikan pahala dan nilai lebih, dibanding dengan panjang namun tidak sempurna (disambung mulai awal hingga akhir).

Dari sini bisa kita simpulkan, bahwa tidak selamanya ibadah yang secara kuantitas itu banyak, akan lebih banyak juga dari segi kualitas atau nilai. Dari sini kita juga bisa memahami, bahwa ibadah harus berlandaskan ilmu dan pengetahuan. Karena tanpa ilmu, ibadah kita bisa saja tidak sah atau bahkan salah kaprah. Dengan ilmu pun kita tahu bagaimana porsi kita dalam beribadah, agar mendapat afdhaliyyah/keutamaan dalam ibadah tersebut.


Ditulis oleh Moch Vicky Shahrul Hermawan, Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang