Oleh: Aros
Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari merupakan pendiri Pesantren Tebuireng yang sangat tegas pendiriannya, termasuk ketika berhadapan dengan santri. Santri-santri beliau menuturkan bahwa dahulu Kiai Hasyim setiap hari turun sendiri untuk membangunkan santri shalat shubuh, dan mengajar ngaji dengan jadwal yang cukup padat, khususnya di bulan Ramadan.
Perarturan-peraturan juga dibuat untuk mendisiplinkan para santri. Beberapa larangan diantaranya, dilarang nonton di bioskop atau tempat hiburan di kota Jombang, sampai nonton pasar malam di pabrik gula Tjoekir juga dilarang, karena dapat mengganggu belajar santri. Selain itu, tempat-tempat itu dianggap rawan sekali adanya kemaksiatan.
Ada satu cerita menarik saat momen penggilingan tebu di pabrik gula Tjoekir. Masyarakat sekitar Tebuireng pada saat itu memang sebagian besar bekerja di ladang tebu dan pabrik milik Belanda.
Pabrik Tebu Tjoekir mengadakan pasar malam. Kiai Hasyim melarang santrinya untuk pergi ke pasar tersebut. Tetapi ada saja santri yang melanggar peraturan. Padahal berbagai hukuman diberikan, supaya menjadi tanbih (peringatan/warning) bagi yang lain. Namun, tetap ada santri yang berangkat melihat pasar malam itu.
Cerita ini diceritakan oleh salah seorang santri beliau yang sekarang masih hidup, KH. Abdurrahman Bajuri Purworejo. Kala itu ia menjadi santri junior di Pesantren Tebuireng. Ia menyaksikan sebuah peristiwa (yang simpang siur di kalangan sekarang karena keterbatasan informasi yang valid).
Karena masih saja ada santri yang ketangkap basah jalan-jalan di pasar malam, Kiai Hasyim mulai geram. Sehingga pada satu saat, beliau dawuh, “Kalian itu dikasihtahu apa ya tidak didengar?”. Padahal jarang sekali Kiai Hasyim marah sampai keluar kata-kata seperti itu.
Sampai-sampai beliau mengeluarkan sanksi yang tidak biasa. Bahkan Kiai Abdurrahman Badjuri, santri beliau, mengaku sebelumnya tidak pernah mendengar sanksi semacam itu. Kata Kiai Hasyim, “Sudah ini yang terakhir. Siapa yang nonton (pasar malam) tertangkap dan ketahuan, itu aku suruh mencium pantatnya sapi.”
Namun, menurut Kiai Abdurrahman, hal itu hanya untuk membuat santri takut. Gertakan Kiai Hasyim itu didasari atas tujuan pendidikan supaya santri-santrinya takut dan mengambil pelajaran dari yang sebelum-sebelumnya.
Tetapi walaupun begitu, ada saja santri yang masih nonton pasar malam dan ketahuan. Akhirnya Kiai Hasyim memanggil anak itu. Anak itu diceritakan memang anak orang kaya yang mondoknya atas kemauan orang tuanya, bukan kemauan sendiri. Sehingga mencari cara biar dikeluarkan pondok.
Kepada anak tersebut Kiai Hasyim berkata, “Saya sudah membuat peraturan. Wes terserah (hukumannya menurut) teman-temanmu. Bingung saya mikirin kamu.”
Hukuman si pelanggar ini diserahkan kepada teman-temannya. Lah entah karena apa, atau para santri mungkin sudah saking kesalnya kepada santri tadi, akhirnya dia diarak keliling pondok. Mereka meminta anak itu menempelkan mukanya ke pantatnya sapi. Bayangkan saja, muka ditaruh di pantatnya sapi. Jelas saja, akhirnya santri itu pun boyong.
Berkembang cerita bahwa hukuman mencium pantat itu merupakan salah satu hukuman di Pesantren Tebuireng yang biasa dilakukan. Padahal yang benar hukuman itu hanya sekali dilakukan. Itupun bukan Kiai Hasyim yang menghukum tetapi para santri yang sudah kesal dengan santri tersebut.
Kiai Hasyim hanya menggertak agar mereka tidak ada yang berani melanggar. Namun, ndilalah masih ada saja yang melanggar. Ada kemungkinan bahwa hukuman itu kenapa diserahkan kepada para santri lain, bisa jadi karena saking tidak manusiawinya hukuman itu sehingga Kiai Hasyim tidak ingin melakukannya. Itulah kenapa hukuman itu hanya sekali terjadi. Kalian yang sedang nyantri sekarang, kalau hukuman itu diterapkan di pondok kalian, bagaimana menurut kalian?