Shalat merupakan ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap individu muslim. Apalagi kita dianjurkan untuk melakukan shalat secara berjamaah. Tidak lain tujuannya adalah mensyiarkan agama Islam. Semua orang Islam pasti berbondong-bondong untuk pergi berjamaah, karena salat jamaah dua puluh tujuh kali lipat pahalanya dari pada shalat sendirian.
Shalat berjamaah memiliki dua kategori. Pertama, shalat berjamaah secara lantang (jahr). Kedua, shalat berjamaah secara lirih (sir).
Dalam kategori pertama, yakni shalat berjamaah secara lantang, pada pembacaan surat Al-Fatihah, tatkala imam melafadkan:
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
Maka para makmum disunahkan untuk melafadkan (آمين) secara lantang. Seperti hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa nabi Muhammad Saw pernah baersabda:
إِذَا قَالَ الْإِمَامُ: {غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ} فَقُولُوا آمِينَ، فَمَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْلَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: “Tatkala Imam mengatakan ‘ghairil magdhubi ‘alaihim walaadhoolliiin. Maka ucapkanlah ‘Aminn’. Barangsiapa yang ucapannya bersamaan dengan ucapan malaikat, maka dosa-dosanya yang terdahulu akan diampuni.” (H.R. Bukhori, no. 4475)
Hukum Jamaah Perempuan Mengucapkan “Aamiin”
Lantas bagaimana bagi jamaah perempuan? Apakah mereka boleh mengucapkan (آمين) secara lantang sama seperti jamaah laki-laki? Mari kita bahas di sini.
Menurut para ulama, jamaah perempuan tidak etis ketika mengeraskan suaranya atau bacaannya di hadapan para lelaki non mahrom. Akan tetapi ketika di hadapan laki-laki mahrom atau sesama perempuan, maka boleh untuk mengeraskan suaranya. Seperti pendapat Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Muhadzab:
وَأَمَّا الْمَرْأَةُ فَقَالَ أَكْثَرُ أَصْحَابِنَا إنْ كَانَتْ تُصَلِّي خَالِيَةً أَوْ بِحَضْرَةِ نِسَاءٍ أَوْ رِجَالٍ محارم جهرت بالقراءة سواء صلت بنسوة أو مُنْفَرِدَةً وَإِنْ صَلَّتْ بِحَضْرَةِ أَجْنَبِيٍّ أَسَرَّتْ وَمِمَّنْ صَرَّحَ بِهَذَا التَّفْصِيلِ الْمُصَنِّفُ وَالشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَالْبَنْدَنِيجِيّ وَأَبُو الطَّيِّبِ فِي تَعْلِيقِهِمَا وَالْمَحَامِلِيُّ فِي الْمَجْمُوعِ وَالتَّجْرِيدِ وَآخَرُونَ وَهُوَ الْمَذْهَبُ
Artinya: “Adapun perempuan, maka mayoritas ulama mazhab Syafi’i berpendapat, bila perempuan shalat di tempat sepi, di hadapan perempuan; atau di hadapan lelaki mahram, maka ia sunah mengeraskan suara bacaan Al-Qur’an (dan semisalnya), baik ia shalat dengan mengimami jamaah perempuan atau shalat sendiri. Namun bila perempuan itu shalat di hadapan laki-laki, non mahrom, maka ia sunnah melirihkan bacaannya.”
Bahkan ada pendapat ulama yang mengatakan bahwasannya suara perempuan itu termasuk katergori dari aurat milik perempuan. Al-Qodhi Husain dalam kitabnya Ta’liqot li al-qodhi husain:
ولأصحابنا في صوت المرأة وجهان: أحدهما: هو عورة، لأن السامع يتلذذ به، فعلى هذا لو رفعت صوتها في الصلاة بطلت صلاتها. والثاني: لا، وهو الأصح؛ لأن العورة مما يشاد ويمس، ويستمتع بها
Artinya: “Menurut ashab Imam Syafi’i mengenai suara perempuan ada dua pendapat: Pendapat pertama: suara perempuan termasuk aurat perempuan, alasannya karena orang yang mendengarkannya merasa nyaman dengan suara tersebut. Maka menurut pendapat ini ketika peempuan mengeraskan suarannya saat salat, maka salatnya batal. Pendapat kedua: bukan aurat, dan ini adalah pendapat yang kuat, alasannya karena yang terkategorikan aurat ialah bagian yang dipegang dan bagian yang membuat enak.”
Jadi, hukum perempuan mengeraskan suaranya di hadapan orang non mahrom itu boleh, meskipun diperbolehkan karakter perempuan ialah pemalu dan tertutup. Maka secara etika alangkah baiknya ketika perempuan memelankan suaranya di hadapan orang non mahrom, supaya terjaga dan terhindar dari fitnah.
Baca Juga: Hadis Anjuran Shalat di Rumah bagi Muslimah
Ditulis oleh Muhammad Ahsin Maulana, Mahasantri Ma’had Aly Pondok Pesantren An-nur 2 Malang.