ilustrasi obat

Lumrah diketahui bahwa hukum minum minuman keras adalah haram. Karena minuman keras merupakan salah satu dari macam-macam muskir (sesuatu yang memabukkan), yang mana hal tersebutmerupakan salah satu perkara yang diharamkan oleh syariat Islam.

Muskir sendiri adalah segala sesuatu yang bisa menghilangkan kesadaran akal. Hukum mengonsumsinya haram berlandaskan hadis:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ

 “Segala sesuatu yang memabukkan adalah khamer (minuman keras), dan segala yang memabukkan hukumnya haram.” (H.R. Muslim).

Begitu juga dalil al-Quran:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلخَمرُ وَٱلمَيسِرُ وَٱلأَنصَابُ وَٱلأَزلَٰمُ رِجس مِّن عَمَلِ ٱلشَّيطَٰنِ فَٱجتَنِبُوهُ لَعَلَّكُم تُفلِحُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan.” (QS. Al-Maidah: 90).

Termasuk dari kategori muskir adalah alkohol. Alkohol merupakan cairan yang dapat menyebabkan kecanduan. Apabila dikonsumsi terus menerus, dapat merusak akal dan tubuh manusia.

Baca Juga: Tidak Sekaligus, Ini 4 Tahapan Pengharaman Khamr

Ada beberapa dampak negatif bagi kesehatan sebab mengonsumsi alkohol menurut kacamata medis. Misalnya, menyebabkan daya tahan tubuh menurun, mudah terinfeksi, kerusakan saraf, gangguan jantung, mengganggu sistem metabolisme tubuh, mengganggu sistem reproduksi, menurunkan kecerdasan, mengganggu fungsi hati, dan lain-lain.

Seiring berjalannya zaman, terdapat obat-obatan yang sebagian bahan dasarnya berupa alkohol. Salah satunya adalah obat batuk. Sebagian besar obat batuk, misalnya dalam bentuk sirup, mengandung alkohol. Dalam hal ini, alkohol dijadikan sebagai bahan pelarut dan pengawet obat.

Fokus pembahasan kali ini adalah bagaimana hukum mengonsumsi obat-obatan yang mengandung alkohol? Untuk itu, kiranya pembaca bisa menyimak lebih lanjut catatan kali ini. Semoga bahasan yang ditawarkan bisa melegakan pembaca. 

Perbedaan Pendapat Hukum Mengonsumsi Obat Mengandung Alkohol

Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama perihal hukum mengonsumsi obat-obatan yang mengandung alkohol.

Pertama, mayoritas ulama, mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan pendapat yang kuat di dalam mazhab Syafi’iyah berpendapat tidak boleh.

Kedua, Ibnu Hazm, ulama’ bermazhab syafi’iyah, beliau berpendapat boleh.

Pendapat pertama berlandasan hadis:

عَنْ وَائِلٍ الْحَضْرَمِيِّ اَنَّ طَارِقَ بْنَ سُوَيْدٍ الْجُعْفِيَّ سَأَلَ الْنَّبِيَّ عَنِ الْخَمْرِ فَنَهَا اَوْ كَرِهَ اَنْ يَصْنَعَهَا فَقَالَ اِنَّمَا اَصْنَعُهَا لِلدَّوَاءِ فَقَالَ اِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ

“Dari Wa’il Al Hadromi, sesungguhnya Tariq bin Suwaid Al Ju’fi bertanya perihal khamer (minuman keras) kepada nabi Muhammad Saw, kemudian nabi Muhammad Saw melarangnya untuk membuat khamer dan tidak menyukai khamer tersebut, kemudian Tariq bin Suwaid Al Ju’fi menjawab: Sesungguhnya saya membuat khamer tersebut sebagai obat, kemudian nabi Muhammad Saw berkata: Sesungguhnya khamer bukanlah suatu obat, akan tetapi khamer adalah penyakit.” (H.R. Muslim).

Hadis kedua:

عَنْ اُمِّ الْدَّرْدَاءِ عَنِ الْنَّبِيِّ اِنَّ اللهَ خَلَقَ الْدَّاءَ وَالْدَّوَاءَ فَتَدَاوَوْا وَلَاتَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

“Dari Ummi Darda’, dari nabi Muhammad Saw: Sesungguhnya Allah Swt menciptakan penyakit dan obat, maka berobatlah, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram.” (H.R. Ath-Thabrani).

Hadis lain yang senada:

عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَي رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْدَّوَاءِ الْخَبِيْثِ

Artinya: “Dari Abi Hurairah, beliau berkata: Rasulullah Saw melarang untuk mengonsumsi obat-obatan yang beracun.” (H.R. Abu Daud)

Hadits-hadits di atas menjelaskan secara jelas bahwa hukum berobat dengan obat-obatan yang mengandung sesuatu yang diharamkan oleh syariat dan segala macam minuman keras, termasuk alkohol, adalah haram. Pendapat ini masih dikuatkan lagi dengan hadis:

عَنْ اُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ اِشْتَكَتْ اِبْنَةٌ لِي فَنَبَذْتُ لَهَا فِي كُوْزٍ لَهَا فَدَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَغْلِي فَقَالَ مَا هَذَا فَقُلْتُ اِنَّ اِبْنَتِي اِشْتَكَتْ فَنَبَذْتُ لَهَا هَذَا فَقَالَ اِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيْمَا حُرِمَ عَلَيْكُمْ

“Dari Ummi Salamah, beliau berkata: Anak perempuan saya menangis, kemudian saya membuatkannya perasan buah anggur (khamer) di sebuah cangkir, kemudian nabi Muhammad Saw masuk rumah di saat perasan buah anggur tersebut mendidih, dan bertanya: Apa ini?, kemudian saya jawab: Sesungguhnya anak perempuan saya sakit kemudian saya membuatkannya perasan buah anggur tersebut, kemudian nabi Muhammad Saw berkata: Sesungguhnya Allah Swt tidak menaruh kesembuhan kaian pada sesuatu yang diharamkan bagi kalian.” (H.R. Ath-Thabrani)

Dalam hadist di atas, Nabi meniadakan adanya kesembuhan bagi seseorang dari segala macam minuman keras, termasuk alkohol. Juga dikuatkan lagi dengan argumentasi-argumentasi dari para dokter perihal memungkinkannya mengganti alkohol dengan selainnya serta dampak negatif dari alkohol. Salah satunya adalah dokter Mohammad Ali Al-Bar, beliau berkata:

“Bahan mentah semacam minyak dijadikan sebagai bahan pembuatan obat-obatan, dan untuk mencairkannya butuh terhadap penggunaan alkohol, dan sebenarnya industri farmasi bisa menggantikan alkohol tersebut dengan bahan pencair lainnya. Salah satu contohnya adalah obat untuk penyakit asma terdapat Quibron yang mengandung alkohol. Dan mengonsumsi alkohol dapat menyebabkan sakit liver.” (Ahmad bin Salih bin Ali Bafadol, Ahkamu Tasni’ Fil Fikhi Al-Islami, [Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2010], halaman 255).

Pendapat kedua adalah pendapat yang tidak diunggulkan dalam mazhab Syafi’iyah. Pendapat ini mengatakan bahwa hukum mengonsumsi obat-obatan yang mengandung alkohol adalah boleh, dengan catatan memenuhi dua syarat berikut:

  • Dengan kadar yang sedikit, yakni sekiranya tidak sampai memabukkan.
  • Dengan resep dokter yang beragama Islam.

Alasan pendapat ini adalah dengan menganggap keadaan orang yang sakit sebagai keadaan dharurat (terpaksa), sehingga sesuatu yang awalnya memiliki status hukum haram dalam keadaan tersebut menjadi boleh. Dasar dari argumen di atas adalah kaidah fikih:

الْضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ

“Keadaan terpaksa bisa membolehkan sesuatu yang diharamkan.”

Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya Al Muhalla:

وَالْخَمْرُ تَقَعُ فِي الْتِّرْيَاقِ فَلَا يَحِلُّ أَكْلُهُ اِلَّا عِنْدَ الْضَّرُوْرَةِ عَلَى سَبِيْلِ الْتَّدَاوِي لِاَنَّ الْمُتَدَاوِي مُضْطَرُّ وَقَدْ قَالَ تَعَالَى: إِلَّا مَا ٱضطُرِرتُم إِلَيهِ 

“Khamer (minuman keras) bisa dijadikan sebagai penawar racun, maka hal tersebut menunjukkan bahwa khamer haram untuk dikonsumsi kecuali ketika dalam keadaan dharurat (terpaksa) dan dijadikan sebagai obat, karena orang yang sakit merupakan orang yang berada dalam keadaan terpaksa, sesungguhnya Allah Swt telah berfirman: Kecuali ketika kalian dalam keadaan terpaksa.” (Ahmad bin Salih bin Ali Bafadol, Ahkamu Tasni’ Fil Fikhi Al-Islami, [Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2010], halaman 254).

Dari dua pendapat di atas, sebaiknya kita mengikuti pendapat yang pertama. Karena dari tinjauan syariat pendapat kedua di atas adalah pendapat yang lemah, dan penelitian ilmu kedokteran juga lebih mengarah ke pendapat pertama.

Sedangkan di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan Fatwa Nomor 11 Tahun 2009 tentang Hukum Alkohol membedakan antara khamr dan alkohol. Setiap khamr mengandung alkohol, tapi tidak semua alkohol dikategorikan sebagai khamr. Fatwa tersebut menyebutkan khamr adalah setiap minuman yang memabukkan, baik dari anggur atau yang lainnya, baik dimasak atau pun tidak. Artinya, selain minuman, produk yang mengandung alkohol tidak terkategori sebagai khamr, walaupun hukumnya bisa saja sama-sama haram.

Fatwa MUI Nomor 10 Tahun 2018 tentang Produk Makanan dan Minuman yang Mengandung Alkohol/Etanol menyebutkan bahwa minuman beralkohol yang masuk kategori khamr adalah minuman yang mengandung alkohol/etanol (C2H5OH) lebih dari 0.5 %. Minuman beralkohol yang masuk kategori khamr adalah najis dan hukumnya haram, sedikit ataupun banyak.

Maka kesimpulan yang bisa diambil dalam konteks Indonesia, bahwa regulasi dalam penggunaan obat-obatan, atau makanan dan minuman yang mengandung alkohol sudah  diatur oleh lembaga yang berwenang, sehingga fatwa MUI di atas relevan untuk dijadikan dasar hukum dalam hukum penggunaan alkohol.

Lalu apabila memang tidak ada bahan lain yang bisa menggantikan posisi alkohol tersebut, maka boleh mengikuti pendapat kedua dan harus memenuhi syarat-syaratnya. Yakni dengan kadar yang tidak sampai memabukkan dan harus dengan resep dokter.


Referensi: kitab Ahkamu Tasni’ Fil Fikhi Al-Islami, karangan syaikh Ahmad bin Salih bin Ali Bafadol


Ditulis oleh Dicky Feryansyah, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Malang