Sumber gambar: malangtoday.net

Oleh: Almara Sukma*

Hewan kurban adalah jenis hewan tertentu yang disembelih mulai hari Nahr (10 Dzulhijjah) sampai akhir hari Tasyríq (13 Dzulhijjah) dengan tujuan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah). Menurut madzhab Syafi’i hukum berkurban adalah sunah ‘ain bagi yang tidak memiliki keluarga dan sunah kifáyah bagi setiap anggota keluarga yang mampu.

Sunah kifáyah adalah kesunahan yang sifatnya kolektif. Artinya, jika salah satu anggota keluarga sudah ada yang melakukannya, maka sudah dapat menggugurkan hukum makruh bagi yang lainnya. Kurban bisa menjadi wajib apabila dinadzari.(1) Berkurban juga mempunyai syarat. Syarat-syarat berkurban diantaranya sebagai berikut:

Kurban menurut syari’at memiliki beberapa ketentuan yang harus dipenuhi sebagai berikut:

  1. Hewan yang dijadikan kurban tergolong jenis an’âm (binatang ternak), yaitu unta, sapi, kerbau dan kambing.(2) Boleh berkurban dengan hewan jantan ataupun betina. Namun lebih utama berkurban dengan hewan jantan, karena dagingnya lebih enak.(3)
  2. Untuk jenis domba harus sudah tanggal giginya (Jawa: powel) pada usia setelah enam bulan ataupun mencapai usia satu tahun, meskipun belum mengalami kondisi demikian. Untuk jenis sapi dan kambing kacang harus sudah mencapai umur dua tahun. Sementara untuk jenis unta disyaratkan mencapai usia 5 tahun.
  3. Satu ekor kambing hanya boleh dijadikan kurban untuk satu orang mudlahhî (pihak yang berkurban). Sedangkan satu ekor unta, sapi dan kerbau mencukupi untuk tujuh orang yang berkurban.
  4. Hewan kurban tidak mengalami cacat yang dapat mengurangi kuantitas daging atau anggota tubuh lain yang biasa dikonsumsi. Dengan demikian tidak mencukupi hewan yang terlalu kurus, terpotong telinganya, pincang kakinya dan lain sebagainya.
  5. Penyembelih (mudlahhî atau wakilnya) harus niat kurban saat menyembelih. Sedangkan kurban nadzar tidak disyaratkan niat.(4)

Referensi

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

(1) Muhammad bin Ahmad bin Umar asy-Syathiri, Syarh al-Yaqut an-Nafis, Dar al-Minhaj, hal. 826-827.

(2) Muhyiddin Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, vol. 9, hal. 302.

(3) Al-Khathib asy-Syarbini, al-Iqna’ Hamisy Bujairamial-Khathib, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, vol.5, hal. 240.

(4) Muhammad bin Ahmad bin Umar asy-Syathiri, Syarh al-Yaqut an-Nafis, Dar al-Minhaj, hal. 827.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari