Manusia merupakan hamba Allah yang diberi tuntutan untuk melaksanakan suatu perkara yang berhubungan dengan hukum syariat. Seperti halnya kewajiban untuk melaksanakan shalat lima waktu, berpuasa Ramadhan, memakan perkara yang halal dan menjauhi yang haram.
Yang dimaksud dengan hukum syariat ialah seperangkat aturan yang dibuat oleh Allah, dengan tujuan agar para hambanya melakukan apa yang Ia perintah dan menjauhi apa yang Ia larang, serta memberikan pilihan antara dilakukan ataupun dikerjakan.
Perintah dan larangan ini bersumber dari firman Allah, yakni al-Quran, serta hadis dari Nabi Muhammad SAW. Maka munculah dari pada ini hukum wajib, haram, makruh, mubah dan lain-lain.
Hukum Asal Mengonsumi Sesuatu
Namun, seiring berjalannya waktu, sering kita jumpai hewan ataupun tumbuhan aneh yang sebelumnya belum pernah ada. Apakah kita mubah untuk mengkonsumsi hal demikian? Kalau boleh, mengapa tidak ada dalam al-Quran atau hadis yang menghalalkannya? Para ulama merumuskan beberapa pendapat mengenai hal ini.
Jumhur ulama’ dan madzhab Syafi’i berpendapat:
الاصل فى الاشياء الاباحة الا ما دل الدليل على تحريمه
“Hukum dari segala sesuatu ialah diperbolehkan, kecuali terdapat dalil yang memang mengharamkannya.”
Jika mengikuti pendapat tersebut, maka kita diperbolehkan mengkonsumsi hewan atau tumbuhan baru yang tidak pernah ditemukan sebelumnya. Mereka berpendapat demikian berlandaskan dua ayat al-Quran:
هُوَ ٱلَّذِی خَلَقَ لَكُم مَّا فِی ٱلأَرضِ جَمِیعا
“Dialah dzat yang menciptakan untuk kalian semua yang ada di bumi … [Q.S. Surat Al-Baqarah 29]
وَسَخَّرَ لَكُم مَّا فِی ٱلسَّمَـٰوَاتِ وَمَا فِی ٱلأَرضِ جَمِیعا مِّنهُۚ إِنَّ فِی ذَ ٰلِكَ لَـَٔایَـٰت لِّقَوم یَتَفَكَّرُونَ
“Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sungguh, dalam hal yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir.” [Q.S. Surat Al-Jatsiyah 13]
Dari dua ayat tersebut menerangkan, bahwa Allah SWT menciptakan bumi seisinya untuk kita semua. Maka mana mungkin kita hukumi haram apa yang diciptakan oleh Allah kecuali memang ada dalil yang mengharamkannya? Selain ayat al-Quran, mereka juga berpegang teguh kepada hadis yang diriwayatkan oleh Imam At-Thobari dan juga Imam Al-Baihaqi, yakni:
ما أحل الله فهو حلال، وما حرّم فهو حرام، وما سكت عنه فهو عفو، فاقبلوا من الله عافيته، فإن الله لم يكن لينسى شيئا
“Apa yang Allah halalkan maka ia halal, dan apa yang Allah haramkan maka ia haram, sedangkan apa yang Dia diamkan maka itu dimaafkan, maka terimalah oleh kalian pemaafan dari Allah tersebut, karena Allah tidak pernah melupakan sesuatu”
Namun berbeda dengan pendapat Hanafiyyah, mereka berpendapat sebaliknya, yakni:
الاصل فى الاشياء الحظر الا ما دل الدليل على اباحنه
“Hukum dari segala sesuatu ialah haram, kecuali terdapat dalil yang memang memperbolehkannya.”
Maka, kita diharamkan untuk mengkonsumsi hewan atau tumbuhan baru yang tidak pernah muncul sebelumnya. Pendukung pendapat ini berargumen bahwa segala sesuatu adalah milik Allah. Maka kita tidak boleh menggunakannya kecuali ada izin dari Allah, baik di dalam al-Quran maupun hadis. Karena sesuatu yang digunakan atau dikonsumsi tanpa adanya izin sang pemilik, ialah suatu kejahatan.
Selain kedua pendapat di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa:
الاصل فى المنافع الاباحة والاصل فى المضار الحرمة
“Bahwa segala sesuatu yang bermanfaat itu pada dasarnya adalah halal. Dan segala sesuatu yang berbahaya itu adalah haram.”
Ketika kita mengikuti pendapat itu, maka perlu adanya peninjauan kepada perkara baru. Ketika perkara tersebut mengandung suatu kemanfaatan bagi kita, maka hal itu diperbolehkan, ketika sebaliknya, yakni mengandung suatu kemudhorotan, maka hal ini diharamkan.
Penulis lebih memilih pendapat bahwa segala sesuatu memiliki hukum asal halal. Karena, selain bermadzhab Syafi’i, juga pendapat yang dikemukakan oleh madzhab Syafii merupakan yang logis. Karena Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu untuk para hamba. Mana mungkin Allah menciptakan sesuatu yang haram tanpa adanya dalil yang jelas menyatakan keharamannya.
Kesimpulan yang bisa kita ambil ialah para ulama memiliki kaidah asal yang berbeda-beda. Akan tetapi mereka tidak asal-asalan untuk merumuskan hal tersebut. Dengan adanya dalil yang jelas, mereka berani untuk berargumen tanpa adanya pertikaian dan perpecahan.
Baca Juga: Pengaruh Makanan pada Jiwa
*Ditulis oleh Achmad Firdaus, Mahasiswa Ma’had Aly An-Nur II Al Murtadlo Malang.