Sumber gambar: http://www.beritamuslim.com

Oleh: Luluatul Mabruroh*

Berakhirnya perang Shiffin dengan kemenangan di tangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan melahirkan berbagai cercaan dari masyarakat luas. Masyarakat menganggap bahwa Mu’awiyah telah mendzalimi Khalifah ke empat, Ali ibn Abi Thalib dengan merebut kekuasaan khalifah dengan siasat yang curang. Atas dasar hal tersebut akhirnya Mu’awiyah mengambil sikap yang sebenarnya politis namun dibungkus dengan ruhani: untuk mencari keabsahan pengangkatan dirinya sebagai khalifah, Mu’awiyah menyebarkan doktrin fatalistik, Jabariyah.

Kepada umat Islam ia menyampaikan bahwa apa yang telah terjadi merupakan ketentuan dari Allah, tidak bisa dirubah-rubah. Baik itu berupa ketentuan yang baik maupun ketentuan yang buruk. Umat Islam hanya harus percaya bahwa segalanya telah tertulis, dan apa yang telah tertulis berarti telah diridhai oleh Allah. Begitupula pengangkatan Mu’awiyah sebagai khalifah juga telah tertulis dalam ketentuan, yang artinya kekhalifahan Mu’awiyah bersandar pada ridha Allah.

“Law lam yaraani rabbi anni ahl, li hadza al-amr ma tarakani wa iyyaya. Walaw kariha Allah ma nahnu fihi laghayyarah”yang artinya, Jika Allah tidak ridho kepadaku, tidak mungkin aku menjadi khalifah. Kalau Allah benci terhadapku sebagai khalifah niscaya Allah akan menggantikanku dengan orang lain.

Doktrin tersebut ternyata berhasil meyakinkan umat Islam sehingga mereka mau menerimanya, utamanya dikalangan orang-orang awam. Mereka memiliki anggapan bahwa khairihi wa syarrihi minallah. (Baik buruk semua adalah ketentuan dari Allah). Manusia hanyalah wayang yang tindak-tanduknya sudah diatur oleh Allah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Selanjutnya terjadi reaksi dari putra Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah, yang bernama Muhammad, puranya bersama Fatimah binti Hanafiyah yang dinikahi setelah Sayyidah Fatimah binti Rasulullah wafat. Gerakan Muhammad ini lebih ditekankan pada gerakan kultural dengan mengadakan pengajian di masjid Nabawi. Dalam pengajiannya Muhammad menyampaikan pemikirannya untuk meng-counter pemikiran Mu’awiyah yang mengedepankan otoritas Tuhan dengan menafikan tanggung jawab manusia. Di antara hasil pemikirannya adalah al-‘urf, bahwa segala sesuatu terjadi sebab tindakan manusia sendiri. Allah tidak ikut campur. Kedzaliman yang dilakukan oleh seorang manusia adalah sebab mereka sendiri. Allah tidak bisa disandarkan pada keburukan. Af’al al-‘ibad min al-‘ibad. Bahwa segenap tindakan manusia merupakan tanggung jawab mereka sendiri. Karenanya, apa yang diperbuat oleh Mu’awiyah adalah tanggung jawabnya sendiri. Allah tidak ikut campur.

Ini merupakan reaksi intelektual pertama yang menentang konsep qadha dan qadar, yang menolak konsep Jabariyah dan kemudian dikenal dengan sebutan qadariyah al-ula. Pengajian ini dihadiri oleh banyak masyarakat, diantara mereka yang aktif mengikuti pengajian tersebut adalah Washil bin Atho’.

Muhammad bin Hanafiyah didukung oleh kedua anaknya, Abu Hasyim dan Hasan. Muhammad bin Hanafiyah memiliki murid yang banyak yang tersebar ke berbagai daerah seperti Mesir, Basrah dan Kufah.


*Penulis adalah mahasiswa PBA Unhasy Tebuireng Jombang.