Sumber gambar: http://caricaritauyangbermanfaat.blogspot.co.id/2015/10/pengertian-ketentuan-serta-pendapat.html

Banyaknya aliran teologi yang berkembang membuat umat Islam semakin kebingungan dalam mengambil sebuah sikap terhadap beberapa hukum syari’at. Utamanya masayarakat awam yang tidak mampu mengambil berijtihad dan mengambil konsensus hukum. Oleh karenanya, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dalam kitab beliau menyampaikan bahwa orang yang tidak memiliki keahlian untuk sampai pada tingkat kemampuan mujtahid mutlak, sekalipun ia telah mampu menguasai beberapa cabang keilmuan yang dipersyaratkan di dalam melakukan ijtihad, maka wajib baginya untuk mengikuti (taqlid) pada satu qaul dari para Imam Mujtahid dan mengambil fatwa mereka agar ia dapat keluar dan terbebaskan dari ikatan beban (Taklif) yang mewajibkannya untuk mengikuti siapa saja yang ia kehendaki dari salah satu Imam Mujtahid, sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt :

فاسئلوا اهل الذكر إن كنتم لاتعلمـون

“Maka bertanyalah kalian semua kepada ahli ilmu jika kalian semua tidak mengetahui.”

Ayat tersebut jelas adalah pernyataan bagi siapapun yang tidak mengerti terhadap suatu hal diwajibkan untuk bertanya, utamanya dalam soal aqidah. Sedangkan bertanya itu merupakan bagian dari taklid yang mana kemudian diimplementasikan dalam bentuk perbuatan dengan mengikuti aturan-aturan yang telah ditentukan. Firman Allah iini berlaku untuk semua mukallaf yang dikhitobi.

Secara umum pula firman Allah ini, mewajibkan kita untuk bertanya dan mempertanyakan segala sesuatu yang tidak kita ketahui, sesuai dengan kesepakatan/konsensus Jumhur al–Ulama. Karena sesungguhnya orang yang beridentitas awam itu pasti ada sejak zaman generasi sahabat, tabi’in dan hingga zaman setelahnya, mereka wajib meminta fatwa kepada para mujtahid dan mengikuti fatwa-fatwa mereka dalam hukum-hukum syari’ah dan mengimplementasikannya sesuai dengan petunjuk ulama.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pertanyaan esensial yang kemudian muncul adalah, mengapa harus mempertanyakan suatu hukum dan tuntutan syari’at yang tidak diketahui? Karena sesungguhnya para ulama pun ketika menerima pertanyaan, mereka seringkali segera menjawab pertanyaan tersebut to the point tanpa memberi isyaroh untuk menuturkan dalil, di satu sisi ketika seorang ulama melarang untuk melakukan sesuatu kepada orang yang awam, mereka pun (awam) langsung menerimanya tanpa mengingkarinya.

Kondisi yang sedemikianlah yang lantas disepakati adanya kewajiban bagi orang awam untuk mengikuti pendapat seorang mujtahid, disadari pula bahwa sama sekali orang awam itu tidak memiliki kemampuan dan otoritas untuk memahami al-Kitab dan al-Sunnah dan tentunya pemahamannya tidaklah dapat diterima jika tidak cocok dengan pemahaman ulama ahli al-Haq yang agung dan terpilih. Sesungguhnya orang yang ahli bid’ah dan berperilaku menyimpang, mereka memahami hukum-hukum secara bathil dari al-Kitab dan al-Sunnah, pada kenyataannya apapun yang diambil oleh ahli bid’ah tidaklah dapat dipegangi sebagai kebenaran.

Bagi orang awam tidak diwajibkan untuk tetap eksis/konsisten mengikuti satu madzhab saja dalam menyikapi setiap masalah baru yang muncul. Walaupun ia telah menetapkan untuk mengikuti satu madzhab tertentu seperti madzhabnya Imam Al-Syafi’i ra., tidaklah selamanya ia harus mengikuti madzhab ini, bahkan diperkenankan baginya untuk pindah pada madzhab yang lain selain Al-Syafi’i.

Seorang awam yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pengkajian masalah dan istidlal (melakukan pelacakan/pencarian sumber dalil) atau ia juga tidak memiliki kemampuan membaca sebuah kitabpun yang ada sebagai reverensi dalam sebuah madzhab, lantas ia mengatakan bahwa saya adalah bermadzhab Al-Syafi’i, maka pernyataan yang sedemikian itu tidaklah absah sebagai pengakuan bilamana hanya sekedar ucapan belaka.

Tetapi menurut sebuah pendapat yang lain menyatakan bahwa; ketika seorang awam itu konsisten mengikuti satu madzhab tertentu maka wajiblah baginya untuk menetapkan madzhab pilihanya. Karena jelas seorang ‘awam itu meyakini bahwa madzhab yang ia pilih adalah madzhab yang benar. Maka konsekuensi yang harus ia terima adalah wajib menjalankan apa yang menjadi ketentuan madzhab yang ia yakini.


Ditulis oleh Luluatul Mabruroh, Santri Pesantren Putri Walisongo, saat ini menjadi mahasiswa di Unhasy Tebuireng Jombang.


Disadur dari kitab Hadratussyaikh KH.Hasyim Asy’ari. Risalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah.