Ilustrasi: M. Najib

Oleh: Ustadz Yusuf Suharto*

Mukaddimah

Menunaikan ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima adalah dambaan bagi setiap muslim. Ibadah yang diwajibkan pada akhir tahun kesembilan hijriah ini merupakan ibadah yang membutuhkan ekstra energi yang menyeluruh, mulai dari persiapan sebelum berangkat, berangkat dan tiba di tanah suci, melaksanakan syarat dan rukun haji.

Allah berfirman dalam surat al Baqarah ayat 197 yang artinya, “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan Haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”(QS. Al-Baqarah: 197).

Dalam ayat di atas, Allah menyampaikan bahwa musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, yaitu Syawwal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Menilik ayat sebelumnya (al Baqarah: 183-187), Allah memberikan nuansa bahwa agar dapat menuju ibadah haji dengan baik adalah dimulai dalam bulan Ramadhan. Di bulan yang penuh rahmat dan ampunan itu Allah memberikan gemblengan sehingga diharapkanmenjadi orang yang bertakwa, sebab tidak ada bekal yang paling baik ketika manusia sudah punya niat akan haji kecuali bekal takwa.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sejak Ramadan itu pulalah orang yang berniat akan melaksanakan ibadah haji tidak boleh rafats, fusuq, dan jidal. Bila semua itu dilakukan dengan penuh ikhlas, semata-mata mengharap ridla Allah, maka jaminan ampunan dan balasan surga yang dijanjikan Allah Ta’ala bagi mereka yang haji mabrur.

Hikmah Sosial Haji

Sewaktu kita melakukan ibadah haji kita bertemu dengan saudara-saudara kita dari seluruh penjuru dunia. Sungguh sesuatu yang tidak pernah kita lihat sebelumnya, bertemu dengan saudara-saudara yang beraneka warna kulit, aneka bentuk tubuh. Semuanya menyebut nama Allah, melangkah, bercucuran keringat, bersimbah peluh, tapi semuanya begitu bersemangat. Andaikata kita merenungkan secara mendalam, itulah salah satu bukti betapa agung dan hebat pengaruh Rasulullah Muhammad SAW. Ribuan tahun lewat, ribuan kilometer tembus, bahkan sampai kepada kita yang datang dari Indonesia ke tanah suci.

Ibadah haji adalah aktualisasi pembuktian semangat ukhuwah, tidak hanya dalam bentuk jiwa, tapi juga raga karena telah dipertemukan oleh Allah dalam satu tempat, maksud dan tujuan yang sama, bacaan yang sama hingga pakaian ihram yang sama, tak ada perbedaan suku, ras, warna kulit, bahasa, pangkat, kedudukan dan sebagainya, semua harus menunaikan ibadah haji dengan ketentuan-ketentuan yang sama. Dari semangat ukhuwah ini, kaum muslimin seharusnya semakin menyadari bahwa seorang haji semestinya lebih mantap dan kuat dalam membangun ukhuwah dan solidaritas sesama.

Ibadah tahunan yang berporos di Ka’bah Baitullah ini diharapkan dapat membangkitkan perasaan kasih sayang antar sesama muslim, dan semangat kebersamaan yang pada akhirnya diharapkan bisa membangkitkan persatuan, kerja sama dan kekuatan solidaritas umat Islam sedunia. Kemudian juga dapat menumbuhkan semangat berkorban, sebagaimana dicontohkan Bapak para nabi, karena ibadah haji memang harus ditunaikan dengan pengorbanan yang sangat besar, baik berupa harta, jiwa, tenaga hingga waktu selama menjalankan ibadah.

Disebut dalam ayat di atas, bahwa seorang haji tidak boleh melakukan rafats (berkata keji), fusuq (perbuatan yang melanggar syari’at atau mencaci dan saling mencela), dan wa la jidala (tidak boleh bermusuhan, berbantahan). Ini adalah pelajaran bahwa sesama muslim adalah bersaudara yang tidak selayaknya saling mencela, menghina, bertengkar dan bermusuhan.

Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 49 yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang mu’min itu bersaudara kerena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.

Karena itu jika tengah bertikai mereka harus bersegera bersatu kembali dan bersaudara sebagaimana semula. Hal ini diperkuat oleh larangan Rasulullah SAW terhadap permusuhan antar muslim.

Abu Ayyub al Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang muslim memutuskan silaturrahim dengan saudara muslimnya lebih dari tiga malam yang masing-masingnya saling membuang muka bila berjumpa. Yang terbaik di antara mereka adalah yang memulai mengucapkan salam kepada yang lain.”

Persaudaraan itu bukanlah semata ikatan keturunan belaka, tetapi lebih pada ikatan iman dan agama dalam universalitas bangsa-bangsa dunia. Persaudaraan dan persatuan ini juga bukan eksklusif internal satu aliran dan madzhab, tetapi universal dalam lintas batas aliran dan madzhab. Perbedaan madzhab boleh saja terjadi dan memang tidak dapat dihindari. Namun yang terpenting adalah perbedaan itu tidak membuat tercerai-berai. Perbedaan itu justru diharapkan menjadi rahmat sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis, bukan menjadi adzab.

Perbedaan yang menjadi rahmat ini diharapkan terjalin sebagai jaringan sosial yang saling bersinergi. Nabi Muhammad menekankan pentingnya membangun persaudaraan Islam dalam batasan-batasan praktis, dalam bentuk saling peduli dan tolong menolong. Sebagai contoh beliau bersabda, “Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya”.

Demikian pula pilar terbesar ibadah tahunan ini mengandung esensi persaudaraan orang-orang beriman dalam semua ritus ibadahnya. Pakaian bagi orang-orang laki-laki yang sedang haji dikenal dengan Ihram terdiri dari dua lembar kain, selembar dipakai seputar pinggang selembar yang lain diselempangkan di atas bahu. Kesederhanaan pakaian ini dikenakan oleh jutaan jamaah haji dari berbagai penjuru dunia yang menunjukkan hakikat persatuan dan persamaan dalam persaudaraan Islam.

Watak dasar yang mesti dipelihara umat ini adalah satu kesatuan yang tidak dibenarkan bercerai berai. Mereka adalah bak bangunan yang kokoh. Bagian yang satu saling menguatkan bagian yang lain. Oleh karenanya, Rasululllah bersabda:

عَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ.  رواه البخاري

Dari Abu Burdah bin Abdullah bin Abu Burdah, dari kakeknya, dari Abu Musa ra, Nabi Muhammad bersabda: “Sesungguhnya orang mukmin bagi mukmin yang lain seperti bangunan yang satu sama yang lain saling menguatkan. Dan beliau mengeratkan jari jemarinya,” (HR Imam Al-Bukhari).

Umat ini juga digambarkan oleh Rasulullah Muhammad seperti satu jasad. Setiap organ tubuh saling memerlukan dan saling sinergi dalam satu kesatuan yang sempurna. Baik dalam suka maupun duka. Dinyatakan:

عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى. رواه مسلم

Dari An-Nu’man bin Basyir berkata, Rasulullah bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kecintaan mereka, kasih mengasihi di antara mereka dan saling tolong menolong seperti jasad. Apabila satu organ merasa sakit maka berpengaruh terhadap seluruh jasad dengan jaga (tidak bisa tidur) dan panas,” (HR Imam Muslim).

Ikhtitam

Seruan terhadap orang-orang beriman mengisyaratkan adanya persatuan dan kesatuan yang diformulasikan dalam ritual ibadah dan selazimnya bisa diaplikasikan dalam kehidupan umat Islam secara universal. Haji yang merupakan ibadah yang menitik beratkan unsur fisik dan materi harus menjadi inspirasi ummat ini untuk membangun jaringan di antara mereka yang menuju terbentuknya Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur.

Untuk menuju agenda besar umat ini, antara lain memerlukan langkah-langkah berikut ini, pemahaman yang utuh tentang makna ibadah haji; implementasi makna haji dalam kehidupan sehari-hari dan pemanfaatan musim haji untuk dialog, musyawarah dan koordinasi antara para ulama, umara dan jamaah.

Tiga hal ini bila diaplikasikan oleh seorang haji, maka akan memudahkan lahirnya persatuan dan kesatuan dunia Islam. Minimal adanya persatuan umat secara regional (internal bangsa). Karena ketiganya merupakan cerminan ikhtiar spiritualitas untuk merapatkan barisan di antara tokoh, pemimpin dan cendekiawan umat. Haji mabrur yang merupakan capaian utama dalam ibadah haji adalah predikat yang menyatu dengan adanya perubahan dan perbaikan dalam diri orang yang melaksanakan ibadah haji.

Semoga kita dapat menjadikan ibadah haji dan hikmahnya, sebagai sarana perbaikan menuju agenda besar penguatan persaudaraan, persatuan dan kerjasama Umat Islam seluruh dunia.


*Penulis adalah Dewan Pakar Aswaja NU Center PCNU Jombang dan tim penulis buku “Khazanah Aswaja”

*Artikel pemenang ke-3 Lomba Penulisan Haji yang diselenggarakan PBNU – Kedutaan Iran pada Oktober 2010. Pernah dimuat di NU Online, dan majalah PWNU Jatim “AULA”, dimuat ulang atas izin penulis untuk kepentingan pendidikan.