Oleh: Quratul Adawiyah*

Kalau membuka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah SAW, di masa para sahabatnya dan para tabi’in maupun tabi’ al-tabi’in. Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (selamatan), nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Buddha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendoakan orang yang telah meninggalkan dunia seperti halnya waktu tahlilan. Namun, acara tahlilan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan doa-doa ala agama lain dengan bacaan dari al-Quran, maupun dzikir dan doa ala Islam menurut mereka. Dari aspek historis ini, bisa dikatakan bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.

Dalam konteks dakwah penyebaran Islam, seharusnya mampu memposisikan diri sebagai orang yang bisa menerima kehadiran agama dan nilai-nilai luhur suatu budaya secara proporsional, dan jangan sampai memposisikan diri sebagai orang yang hanya mengakui nilai-nilai agama sebagai satu-satunya konsep yang mengarahkan perilakunya tanpa peduli pada nilai-nilai budaya lingkungan sekitar.

Demikian juga sebaliknya, jangan sampai tampil di masyarakat sebagai orang yang hanya berpakem pada budaya dan tradisi tanpa pertimbangan-pertimbangan yang bersumber dari agama.

Oleh karenanya, diperlukan sikap yang bijak dalam memahami dan mengaktualisasikan ajaran Islam dalam perilaku dan interaksi sosial. Dengan pemahaman seperti ini, ide gerakan pribumisasi ajaran Islam di setiap daerah di Indonesia, diharapkan akan bisa dicapai, untuk membumikan ajaran-ajaran keislaman ke dalam tradisi dan budaya lokal yang secara substansial tidak bertentangan dengan Islam.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Oleh karena itu, yasinan dan tahlilan yang dilaksanakan sebagai rangkaian kegiatan takziah tentunya membawa nilai-nilai luhur dalam usaha mengembangkan nilai-nilai ajaran Islam. Bacaan-bacaan yang dilakukan pada kegiatan tersebut bersumber dari al-Quran dan Hadis. Jadi, di mana letak bid’ahnya? Semisal ada yang menganggap bahwa kegiatan tersebut adalah bid’ah. Dalam kaitan ini, membaca ayat-ayat suci al-Quran itu adalah ibadah, terlebih lagi ketika ada masyarakat Islam yang tertimpa musibah kematian, tentunya membawa dampak yang sangat positif bagi keluarga yang tertimpa musibah maupun bagi masyarakat sekitarnya.

Acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat al-Quran, dzikir-dzikir, dan disertai doa-doa tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Jadi, sudah menjadi hal yang umum jika tradisi tahlilan dan yasinan digunakan sebagai majelis taklim dan dzikir mingguan masyarakat dan sebagai media dakwah agar masyarakat menjadi lebih dekat dengan Tuhannya.

Di sisi lain, tradisi tahlilan dan yasinan bisa dimaknai sebagai forum silaturahmi warga, yang tadinya tidak kenal menjadi kenal, yang tadinya tidak akrab menjadi lebih akrab. Kegotongroyongan, solidaritas sosial, tolong-menolong, rasa simpati dan empati juga merupakan sisi lain dari adanya tradisi yasinan. Kegotongroyongan ketika mengadakan acara. Tolong-menolong agar acaranya berjalan sesuai yang diharapkan. Rasa empati dan simpati ketika ada seseorang kerabatnya yang kesusahan atau kerabatnya yang meninggal. Semua itu merupakan makna lain yang terkandung dalam tradisi yasinan.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari