ilustrasi baju besi nabi
ilustrasi baju besi nabi

Di dalam khazanah fikih, dikenal istilah ‘Aqad Rahn (transaksi gadai). Secara bahasa, Rahn berarti menahan. Sedang secara istilah, ‘Aqad Rahn (transaksi gadai) berarti menjadikan barang sebagai jaminan atas hutang. Dalam arti, menjadikan barang sebagai garansi yang akan dijual untuk dipakai pembayaran ketika gagal membayar hutang.

Mengenai dalil yang mendasari adanya transaksi gadai, umumnya ulama menawarkan dua sudut pandang; al-Quran dan hadis Nabi Muhammad. Ada juga sebagian ulama yang menawarkan sudut pandangan ketiga, yakni kesepakatan ulama. Adanya dalil ini cukup penting sehingga segala aktivitas yang dilakukan umat Islam benar-benar mendapat legalitas yang jelas.

Untuk dalil pertama, yakni al-Quran, misalnya kita bisa melihat di dalam surah al-Baqarah sebagaimana berikut:

وَإِن كُنتُمۡ عَلَىٰ سَفَرٖ وَلَمۡ تَجِدُواْ كَاتِبٗا فَرِهَٰنٞ مَّقۡبُوضَةٞۖ

Jika kamu dalam perjalanan (lalu bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh orang yang berpiutang.” (Q.S. al-Baqarah: 283).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sedang dalil kedua, kita bisa melihat melalui hadis di bawah ini:

أَنَّهُ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَهَنَ دِرْعَهُ يَهُوْدِيًّ يُقَالُ لَهُ أَبُوْ الشَحْمِ عَلَى ثَلَاثِيْنَ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ لِأَهْلِهِ

Sesungguhnya Nabi pernah menggadaikan baju perang kepada seorang Yahudi, Abu as-Sayhm sebagai jaminan atas tiga puluh sha’ gandum untuk keluarga beliau.” (H.R. Imam Bukhari Muslim).

Dari dalil yang kedua ini, kita bisa mengetahui bahwa Nabi pernah melakukan transaksi dengan non-muslim. Dari dalil kedua ini pula, ada sebagian ulama yang ingin tahu, kenapa Nabi melakukan transaksi gadai dengan non-muslim (Yahudi), padahal pada saat itu masih ada sebagian sahabat yang cukup kaya, misalnya Abdurrahman bin Auf?

Kita bisa menemukan jawaban tersebut salah satunya melalui penjelasan Imam Muhammad bin Ahmad bin Umar di dalam buku bertajuk Yaqut Nafis. Beliau menawarkan dua hikmah untuk menjawab ke-kepo-an ulama di atas. Penjelasannya sebagaimana di bawah ini.

Pertama, Nabi hendak menginformasikan kepada kita bahwa dalam kondisi tertentu, kita sebagai muslim boleh melakukan muamalah (transaksi) sehari-hari dengan orang non-muslim. Melalui hadis ini pula, beliau juga menginformasikan bahwa kita boleh bertransaksi dengan orang yang memiliki harta campur, ada yang haram dan halal. Tidak jelas, mana yang haram, mana yang halal.

Kedua, jika Nabi meminta pinjaman kepada sebagian sahabat yang kaya raya, jelas mereka akan membebaskan status pinjaman tersebut dan mengiklaskan semuanya kepada Nabi. Mereka akan memberikannya kepada Nabi secara cuma-cuma. Kita tahu sendiri, karakter sahabat pada saat itu adalah zuhud terhadap perkara dunia. Mereka akan berusaha membantu Nabi, meski harta, jiwa dan apapun yang mereka miliki habis.

Dari dua hikmah yang ada, ada sebagian ulama kemudian merumuskan satu konsep sebagaimana berikut, “Legal (namun makruh) melakukan muamalah bersama orang yang kebanyakan hartanya haram.”

Namun dari konsep tersebut, sebagian ulama ini memberikan batasan. Jika diyakini, orang yang bermuamalah dengan kita memberikan uang atau barang jelas dari sesuatu yang haram, maka muamalah ini dihukumi haram.

Jadi, yang dikehendaki dalam konteks boleh namun makruh ini adalah kita belum tahu pasti, apakah harta orang yang kita ajak bermuamalah tersebut jelas haramnya. Jadi, kita sekedar menduga, belum yakin. Misalnya, bermuamalah dengan sosok pemimpin, raja, atau orang lain yang nampak fasik, tidak tahu menahu perihal aturan bermuamalah yang benar.

Kesimpulannya, dari hikmah yang ada, apapun bentuk pekerjaan Nabi, itu adalah bentuk syariat dari nilai-nilai yang ada di dalam Islam. Semua pekerjaan yang ada, bukan karena faktor nganggur, namun sudah pasti mengandung pelajaran yang bisa diterapkan oleh umat yang datang kemudian, termasuk kita.  Selain itu, semua konsep muamalah yang kita lakukan jelas mendapat legalitas syariat, sehingga kita yakin, apa yang kita lakukan tidak diharamkan oleh syariat. Sekian, terima kasih!


Ditulis oleh Moch Vicky Shahrul Hermawan, mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang