Setiap manusia seringkali bekerja pagi sampai malam, tak mengenal waktu dan lelah. Ketika mereka ditanya motivasi bekerja, banyak yang menjawab untuk bisa jadi kaya, sukses, punya uang banyak. Sebuah motivasi yang tidak salah, meski tak sepenuhnya benar. Sebab terlalu sibuk dengan urusan duniawi berpotensi membuat kita lupa kepada persiapan kematian. Semakin lupa kepada kematian, kita akan terlupa dengan akhirat. Padahal esensi manusia sesungguhnya diciptakan Allah untuk beribadah.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56)
Memang kita mengakui, bekerja adalah bentuk dari ibadah dan mempersembahkan pengabdian terbaik kepada Allah SWT. Dalam bekerja, manusia dituntut mampu mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Tetapi niat bekerja jangan sampai membuat kita meninggalkan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
Sebagai orang beriman, kita pantas waspada agar kewajiban bekerja mencari harta di jalan halal dan berkah. Sebab harta dapat menjadi ujian yang berat bagi manusia yang lalai kepada Allah ketika bekerja memenuhi kebutuhan dunianya. Umar bin Khattab memandang harta dengan ungkapan yang lembut dan indah, dirangkai dalam sebuah doa, “Ya Allah, tempatkanlah dunia dalam genggaman tangan kami dan jangan kau tempatkan dia di lubuk hati kami.”
Keseimbangan bekerja mencari harta di dunia dan kelezatan ibadah untuk bekal akhirat sangat diperlukan manusia sekarang ini. Seorang ulama terkenal, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata “Ketika harta berada di tanganmu dan bukan di hatimu, maka ia tak membahayakanmu walaupun banyak. Ketika harta berada di hatimu maka ia membahayakanmu walaupun di tanganmu belum ada sedikitpun.”
Jadi bukan soal bagaimana mencari dan memperbanyak harta, tapi bagaimana upaya mencarinya tidak membuat kita terlupa kepada Allah. Ketika diperoleh dalam jumlah banyak, perbanyak syukur agar tidak kufur nikmat. Ketika sedikit, tetap perbanyak syukur agar Allah menambahnya dengan nikmat yang lebih besar.
Sebagai manusia, kita juga perlu mengingat bahwa kesibukan dunia dalam mencari harta jangan sampai membuat kita lupa mengerem diri. Sebab seringkali kondisi susah, manusia sibuk berkeluh kesah dalam mencari harta dan bekerja keras agar bisa kaya. Harapannya setelah kaya bisa saling berbagi peduli dengan hartanya kepada sesama.
Tetapi setelah kekayaan mendekat muncul karakter asli manusia yaitu pelit. Allah menyindir manusia seperti ini dalam Al-Qur’an. ”Sesungguhnya manusia diciptakan dengan sifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa keburukan (kesusahan), ia berkeluh kesah. Apabila mendapat kebaikan (harta), ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan salat dan selalu setia mengerjakan salatnya. (QS Al Ma’arij : 19-23)
Dalam memandang harta, kita selayaknya tidak meniru sifat Qarun. Seorang sahabat nabi Musa yang hidup dalam kondisi serba kekurangan. Dalam setiap harinya dia bekerj keras dan senang ibadah kepada Allah SWT. Qarun selalu berusaha dan berdoa agar diberikan kekayaan yang berlimpah. Setelah kaya, dirinya lupa dan lalai kepada Allah SWT. Sehingga sebuah ujian diberikan kepada manusia yang serakah seperti dirinya. Seluruh hartanya kemudian ditenggelamkan Allah SWT sebagai peringatan kepada manusia yang serakah dalam urusan harta dunia.
Baca Juga: Memaknai Ujian sebagai Berkah
Sebagai insan beriman, kita selayaknya memandang harta sebagaimana Rasulullah Saw, mengajarkan kepada umatnya. Meski menjadi pemimpin spiritual dan politik, Rasulullah selalu menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhiratnya. Tak ada sedikitpun beliau hidup bermegahan, justru kehidupan sederhana dan zuhud menyertai perjalanan hidupnya. Dalam mencari harta, beliau mencari secukupnya untuk keseharian hidupnya agar tidak kekurangan dan jauh dari sikap meminta-minta.
“Rasulullah Saw, tidur di atas tikar dan ketika bangun berbekaslah tikar itu pada belakangnya, lalu kami bertanya, ‘Ya Rasulullah, bagaimana seandainya kami buatkan untukmu tilam yang lunak?’ Beliau bersabda, ‘Untuk apa dunia ini bagiku? Aku di dunia ini bagaikan seorang musafir, berhenti sebentar di bawah pohon, kemudian pergi meninggalkannya” (HR Tirmidzi)
Mencari harta sebagai ibadah artinya harta dicari secukupnya, jangan berlebihan dalam mengumpulkan harta. Jangan sibuk menuruti keinginan hidup yang tak ada batasnya sehingga mencari harta dengan menghalalkan segala cara. Ketika sudah dapat harta yang dicari, kita menumpuknya dan pelit dalam bersedekah dan mengeluarkan harta untuk berzakat. Setiap muslim selayaknya bercermin agar berlomba-lomba dalam bersedekah sebagaimana kisah Umar bin Khattab dan Abu Bakar As Shidiq.
Dalam sebuah kesempatan, Umar memberikan setengah hartanya kepada Rasulullah dan yakin bisa mengalahkan sedekah Abu Bakar. Tapi seketika Umar terdiam, ketika Abu Bakar datang menyerahkan semua hartanya dan meninggalkan Allah dan Rasulnya sebagai jaminan atas kehidupan duniawinya.
Di era kehidupan yang serba materialistik sekarang, harta jangan dijadikan tujuan kehidupan. Sebab dia bisa datang dan pergi kapan saja, bahkan tak dapat dibawa menyertai kematian di alam kubur jika malas disedekahkan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah mengingatkan setiap muslim bahwa harta dapat menjadi ujian yang menyenangkan dan menyedihkan bagi orang beriman.
Baca Juga: Doa-doa Rasulullah saat Menerima Cobaan
”Sesungguhnya setiap umat ada ujian dan ujian bagi umatku ialah harta kekayaan,” (HR. Tirmidzki) Allah SWT juga mendidik umat Islam agar tidak mabuk harta dan kehilangan pahala dan rahmatNya. ”Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (QS Al-Kahfi : 46)
Penulis: Inggar Saputra
Penggiat Literasi Rumah Produktif Indonesia.