tebuireng.online (17/05/14) Pesantren Tebuireng melalui BEM Ma’had Aly Hasyim Asy’ari bersama Majalah Surah Jakarta, Tebuireng Media Group, dan Pusat Kajian Pesantren dan demokrasi Hasyim Asy’ari menggelar acara diskusi dan bedah buku, “Hari Demi Hari”. Buku yang menguak mengenai pergolakan masa revolusi karya Mahbub Junaidi pernah memenangkan sayembara roman Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1974.
Acara ini menghadirkan pimpinan redaksi Majalah Sastra “Surah” Abdullah Alawy sebagai pembedah buku, Roy murtadho dari Pusat Kajian Pesantren dan Demokrasi Hasyim Asy’ari pesantren Tebuireng dan Lutfi Taufik sebagai pembanding. Acara yang dilangsungkan di gedung Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng dihadiri puluhan undangan mulai dari Santri, mahasiswa hingga penikmat sastra dan aktifis di Jombang meriah.
Dalam prolognya, Fao sebagai moderator memantik diskusi ini dengan memperkenalkan sosok Mahbub Junaidi terlebih dahulu, mengingat banyak dari mahasiswa utamanya yang aktif dalam dunia organisasi kampus banyak yang tidak tahu akan sosok Mahbub Junaidi. Buku novel karangan Mahbub Juniadi yang dibedah kali ini diterbitkan ulang oleh Surah dan bekerja sama dengan Yayasan Saifuddin Zuhri . Sebelumnya buku tersebut diterbitkan pertama kali oleh Pustaka Jaya pada tahun 1975. Novel “Dari Hari ke Hari” ini sendiri merupakan novel yang berkisah revolusi fisik Indonesia dari tahun 1946 hingga 1948, sehingga bisa dikatakan dari gaya tulisan novel tersebut cenderung kental dengan rekaman-rekaman kisah pengarangnya (otobiografi).
Roy murtadho sebagai pembanding mengungkapkan bahwa sosok Mahbub Djunaidi sudah tidak asing lagi bagi kalangan santri Tebuireng kala itu.Pasalnya beliau bersama Gus Dur pernah bersama-sama aktif di kajian Pesantren Tebuireng melalui Majalah Tebuireng. Gaya bahasa Mahbub Juniadi yang khas di buku “”Dari Hari Ke Hari” memperlihatkan sedikit banyak bahasa jurnalisme yang memiliki aroma sastra. Gaya penulisan yang lugas dan tegas terungkapkan melalui kritik-kritik sosial mulai dari peristiwa berdirinya Republik Indonesia hingga pemberonakan-pemberontakan yang terjadi semasa orde lama. Pun begitu paduan humor khas betawi juga muncul di tulisan-tulisan Mahbub Junaidi di. “Karya “dari Hari Ke Hari” ini perlu dibaca karena nilai kritis penulisnya, bahasanya lugas dan tidak banyak alusi (Mbulet-Jawa.red)” komentar Roy terhadap “dari Hari Ke Hari”. Menurut Roy , karya “dari Hari Ke Hari”Mahbub Junaidi memuat banyak nilai sejarah politik masa sukarno, mulai dari kritik penulis terhadap perjanjian RI dengan Belanda (Linggar jati dan Renville), perlawanan terhadap gaya feodal, hingga masalah pendidikan era orde lama. Namun gaya bahasa yang cenderung reportase jurnalistik.
Sedangkan menurut Abdullah Zuma Alawy yang akrab dipanggil Abah menuturkan , “dari Hari Ke Hari” adalah karya sastra hasil kombinasi jurnalisme – sastra yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah novel otobiografi pengarangnya. Sifat dan gaya penulisan Mahbub yang melangkolis, lugas, namun tetap kritis ini menjadi sebuah nilai tambah “dari Hari Ke Hari” sehingga masih layak untuk diterbitkan ulang dan dibaca khalayak. Gaya humoris Mahbub dalam“dari Hari Ke Hari” juga tak lepas dari tiap tulisan Mahbub hingga bisa membuat pembaca terbawa emosi humor, “Bisa dikatakan gaya bahasanya mirip EMHA yang mengolok-olok namun tetap kritik. Esensi Humor dan kritik menjadi ciri khas karya Mahbub Junaidi” kata pria yang saat ini aktif menjadi redaktur NU online.
Lutfi Taufik, Alumnus Mahad Aly yang juga duduk bersama para pemateri mengatakan bahwa memang di Novel “dari Hari Ke Hari” ini banyak memuat repetisi cerita dengan nukilan-nukilan sejarah mengenai perjuangan revolusi , masalah pendidikan, dan politik, “Mahbub memerankan anak kecil sebagai sudut pandang pertama dalam novel “dari Hari Ke Hari” ini, memperlihatkan pengalaman-pengalaman penulis pada masa itu” kata Lutfi. BEM Ma’had Aly Hasyim Asy’ari, Pesantren Tebuireng melalui perwakilannya menuturkan bahwa program ini sangat menarik untuk mengingatkan mahasiswa untuk menelaah kembali jerih payah dan kiprah Mahbub Junaidi di dunia pergerakan mahasiswa maupun jurnalistik. (lutfi/tebuireng.online)