Pengasuh Pesantren Tebuireng, KH. Salahuddin Wahid (Gus Sholah) saat menyampaikan sambutan dalam workshop “Menggali Arsip Kepresidenan dari Lingkungan Pesantren” yang bertempat di Hotel Yusro Jombang, Sabtu-Ahad (4-5/11/17). (Foto: Rara)

Tebuireng.online- Saat menjadi Keynote Speaker pada acara Workshop “Menggali Arsip Kepresidenan dari Lingkungan Pesantren” yang bertempat di Hotel Yusro Jombang, Sabtu-Ahad (4-5/11/17), Pengasuh Pesantren Tebuireng Dr. (H.C) Ir. KH. Salahuddin Wahid (Gus Sholah) mengungkapkan pentingnya arsip untuk mengetahui sejarah bangsa.

Menurut Gus Sholah hal itu karena minimnya pembukuan sejarah bangsa Indonesia yang ditulis secara objektif, sehingga terdapat distorsi peran yang sengaja dibesarkan maupun dikecilkan. Oleh karena itu sangat tepat menurut Gus Sholah, apabila pemerintah ingin menggali arsip-arsip presiden apalagi difilmkan.

“Kalau membaca transkip pidato Bung Karno 1 Juni itu kan luar biasa andai saja difilmkan,” ujar Adik Presiden RI keempat KH. Abdurrahman Wahid ini.

“Gus Dur lama di Tambakberas selama 4 tahun di tempat Kiai Fattah, Gus Dur lama di Denanyar setelah menikah tahun 1971 sampai tahun 1980an itu juga bisa digali, dan tentu kalau ada arsip dari Gus Dur tentu kita akan membantu,” imbuhnya.

Pada kesempatan itu juga, Gus Sholah menegaskan bahwa peristiwa “Resolusi Jihad” itu benar adanya dan bukan sebuah legenda. “Cari surat kabar pada akhir Bulan Oktober dan awal bulan November 1945. Kalau ada berita di surat kabar tentang Resolusi Jihad berarti peristiwa tersebut benar ada,” tegasnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Yang pertama kali, masih menurut Gus Sholah yang mengemukakan pertama kali tentang Resolusi Jihad itu ditemukan oleh Ilmuan Amerika Serikat Ben Anderson. “Betapa tidak ada arsip yang disimpan pengurus NU (red, saat itu),” ungkapnya.

“Kenapa tidak ditulis di sejarah?” tanya Gus Sholah. Hal itu disebabkan pada saat itu yang menulis sejarah tidak ada orang NUnya. Pasalnya, yang menulis sejarah bangsa Indonesia adalah Anwar Sanusi dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Alasan selanjutnya adalah tidak adanya tradisi menulis di kalangan warga NU, ”Di NU waktu itu tidak ada tradisi menulis sejarah, dengan menulis sejarah dikira akan mengurangi keikhlasan, padahal tidak,” tambahnya.

Pada sejarah, kontribusi pesantren dianggap tidak ada, “Ada distorsi peran, perannya besar dikecilkan, yang kecil diblow up, dibesarkan jadi terjadi ketidakadilan,” ungkap Gus Sholah lebih dalam.

Hal itu juga dibuktikan dengan tidak banyak yang menulis bahwa Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari adalah tokoh pemimpin bangsa, yang dikenalkan hanya bahwa Hadratussyaikh adalah tokoh pesantren.


Pewarta: Rif’atuz Zuhro

Editor: Munawara MS

Publisher: Rara Zarary