KH. Salahuddin Wahid (Gus Sholah)

Oleh: M. Abror Rasyidin*

Para pengagum dan pecinta Gus Dur membentuk aliansi dengan nama Gusdurian. Sementara Sukarno memiliki pengagum garis keras disebut Sukarnois. Bolehlah pengagum dari setiap tokoh membentuk aliansinya masing-masing. Tentu hal itu untuk memberikan ruang tukar pikiran, saling berbagi ide dan gagasan sang inspirator.

Itu merupakan hak setiap orang untuk memilih siapa dan apa yang menginspirasinya. Biasanya hal yang menginspirasi, akan menjadi prioritas dalam ruang gerak dan pola pikirnya.

Saya menulis ini dengan pelan-pelan. Sebagai santri yang sering berinteraksi dengan kiai, tentu wajar jika hal itu memberikan kesan tersendiri yang mendalam. Kata, pesan, teladan, gerak, dan pemikiran sang kiai, akan terus dikenang dan terngiang.

Waktu masih sekolah, saya mendengar ada nama “Salahuddin al-Ayyubi” seorang pemimpin umat Islam dalam Perang Salib. Saat lebih dewasa, saya beberapa kali mencoba mencari literaturnya dan membacanya dengan sangat antusias. Saya sangat mengaguminya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Saat saya di Tebuireng, saya menemukan orang dengan nama sama dan dengan kaliber sama-sama hebatnya di mata saya. Sosok yang lembut tapi tegas, cerdas tapi pemberani, jujur, apa adanya, dan benar-benar mendobrak.

Namanya, sama “Salahuddin al-Ayyubi, tapi memang sering disebut “Salahuddin Wahid” atau lebih pendek lagi “Gus Sholah”. Karena saya santri, tentu tidak berani dekat dengan kiai. Santri dengan segala ta’dhim-nya akan menjaga jarak pandang dan prilakunya.

Tapi kekaguman demi kekaguman terus memuncak dalam hati saya. Melihatnya memunguti sampah saat berjalan, ketenangan saat berbicara, data yang disampaikan saat ceramah, dan tegasnya dalam berdiskusi, membuat saya semakin kagum.

Mulailah saya mempelajari siapa Gus Sholah. Tapi tak bertahan lama, saya harus meninggalkan Tebuireng, dan entah kapan lagi dapat terus berjumpa dengan beliau. Tapi sungguh indah nian rasanya, di perantau jauh di sana, di negerinya Ibn Bathuthah dan para sufi, Maroko, saya malah dipertemukan dengan beliau dan bisa punya kesempatan mengobrol walau sebentar.

Jelang kepulangan ke Indonesia, saya sedikit dilema, antara melanjutkan di Jakarta, atau balik ke Tebuireng. Di Jakarta tentu lebih menggiurkan, karena kawan-kawan saya punya jalur tawasul yang mutawatir pada karir masa depan. Tapi saya mantab memilih kembali ke Tebuireng, sumber keberkahan dan kenikmatan proses. Sosok Gus Sholah lebih menarik dari pada Jakarta yang rumit.

Siapa sangka di Tebuireng saya punya kesempatan banyak belajar banyak hal yang “saya” banget. Gus Sholah memberikan wadah yang luas, untuk berproses. Setahun setelah saya kembali saya masuk di media Tebuireng, dan tak lama diamanahi menjadi Pemimpin Redaksi Tebuireng Online (hingga lebih dari delapan tahun belum lengser).

Dari sinilah, persinggungan saya dengan Gus Sholah semakin sering. Hati sangat senang. Saya bisa melihat beliau dari jarak dekat. Sering keluar masuk Dalem Kasepuhan untuk meliput dan mendokumentasikan momen-momen bersejarah. 

Intensitas itu semakin banyak, saat saya mendapatkan tugas dari beliau di beberapa hal, mulai dari kajian pemikiran kakek beliau, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, di perfilman yang kemudian juga memproduksi satu film yang sangat berarti bagi beliau, Jejak Langkah 2 Ulama, hingga ikut mengawal teknis Halaqah Komite Khittah 1926 yang beliau dirikan untuk berusaha mengembalikan NU kepada relnya.

Persinggungan demi persinggungan, tentu membekas menjadi transformasi pemikiran dan teladan yang tiada bisa diceritakan dalam secarik kertas kenangan, tapi harus dikembangkan dan terus disebarkan. Ingatan soal beliau tentu tidak hanya sebagai hal-hal melankolis yang terus ditangisi.

Itu tentu saja manusiawi, tapi ada tugas berat yang lebih berhak diperjuangkan, yaitu melanjutkan apa yang telah beliau mulai dan merawat apa yang beliau tinggalkan. Tentu itu semua tidak bisa hanya dilakukan oleh satu orang, tetapi semua orang yang merasa terinspirasi oleh beliau dan mencintai beliau.

Untuk itu, tentu para Gussholais harus benar-benar sadar tentang betapa perlunya berdiskusi, bertukar ide, bersinergi dan berkolaborasi. Ada banyak hal yang menjadi ide dan gagasan beliau yang perlu dikembangkan lagi, diluaskan perspektifnya, walau tentu itu semua mengundang interpretasi yang berbeda-beda. Justru itulah bukti betapa sebuah ide dapat diterima oleh banyak orang dan nyata memberikan dampak.

Sebut saja beberapa ide beliau, perpaduan keislaman dan keindonesiaan, transformasi pendidikan pesantren, tranformasi digital di pesantren, integritas dan kejujuran, moral etika dan karakter, akhlakul karimah, Khittah dan transformasi politik NU, Islam dan Pancasila, hubungan Islam dan sains-teknologi, urgensi gizi bagi generasi muda termasuk santri, ketidaksetujuan terhadap Islam Nusantara.

Selain itu, ada juga NU dan pengembangan ekonomi umat, penyelesaian polemik PKI, makna radikalisme, pesantren dan pembangunan kesehatan, solusi pendidikan Islam Indonesia, literasi dan minat baca masyarakat Indonesia, jihad melawan 5 masalah besar bangsa; korupsi, penegakan hukum, kemiskinan, masalah SARA, dan keadialan sosial.

Kemudian relevansi pemikiran Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dengan dinamika masa ke masa, spiritual tanpa spiritualitas, menggemakan kasalehan sosial, ajaran cinta pada sesama, polemik (sepenuhnya) manusia Indonesia, mempertahankan Kementerian Agama, resolusi jihad kedua, dan masih banyak lagi.

Kecenderungan kita dalam mengenang orang lain, terjebak dalam nostalgia. Itu perlu dan harus, karena ingatan tentangnya akan selalu melekat. Tapi, yang lebih penting sekarang, menurut saya sebagai Gussholais, jelas adalah mendiskusikan hal-hal di atas semakin dalam dan bergerak mengembangkannya.

Para gussholais sudah saatnya berkumpul, mengumpulkan serpihan-serpihan pemikiran, ide, dan gagasan beliau. Kita sebagai anak-anak yang lahir dari ide dan gagasan itu, harus muncul menjadi yang terdepan untuk tetap ada bersama beliau, bukan malah atas nama dinamika, mulai bergeser ke arah yang lain, dan “lupa” atau “terjebak nostalgia” akut. Gussholais, waktunya merapat.

*Dosen PAI Unhasy Tebuireng.