Gus Sholah bersama Hariqo dan Bima Arya saat seminar Radikalisme di Media Sosial di Gedung Pusat Pengembangan Islam Bogor (PPIB), Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (21/12/2015)
Gus Sholah bersama Hariqo dan Bima Arya saat seminar Radikalisme di Media Sosial di Gedung Pusat Pengembangan Islam Bogor (PPIB), Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (21/12/2015) (foto: rri.co.id)

tebuireng.online—Perdebatan soal keyakinan dan agama di media sosial dan beberapa daring (dalam jaringan) atau  situs media online, menimbulkan keresahan di kalangan generasi muda. Bagi mereka, perdebatan yang seperti itu, tidak perlu diperpanjang, karena masalah kemiskinan, separatisme, pengangguran, korupsi, krisis moral dan berbagai masalah krusial lainnya, lebih pantas untuk dicarikan solusi bersama. Apalagi bayang-bayang ekonomi bebas pada 2016 nanti seakan menjadi momok bagi perekonomian bangsa.

Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Komunikonten Hariqo Wibawa Satria dalam diskusi tentang “Radikalisme di Media Sosial” di Gedung Pusat Pengembangan Islam Bogor (PPIB), Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (21/12/2015) sore. Selain Hariqo, terdapat pembicara lainnya, diantaranya Pengasuh Pesantren Tebuireng Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid dan Wali Kota Bogor Bima Arya.

Menurut Hariqo, isu radikalisme atas nama apapun dan usaha memecah belah antar anak bangsa ini, harus tetap diwaspadai dan dilawan. “Jangan sampai gara-gara sibuk mikirin keyakinan orang kita lupa kepentingan nasional,” kata alumnus Pondok Modern Gontor ini seperti yang dikutip dari NU Online. Hariqo Wibawa mengungkapkan, pihaknya selama ini banyak menemukan fakta-fakta di media sosial penyerangan kepada keyakinan dan agama tertentu.

Paling banyak, media yang dipakai oleh para penyerang yang tidak bertanggung jawab ini, adalah media sosial seperti twiiter, facebook, youtube, dan lain sebagainya, dengan memakai akun anonim. “Ini maksudnya jelas adu domba, agar Indonesia tidak fokus membangun peradaban. Ini haters Indonesia,” ungkapnya. Untuk mencegah hal tersebut, ia meminta anak-anak muda harus belajar menjadi detektif di media sosial. Pasalnya, di media sosial, lanjutnya, ada dua jenis pengguna, yaitu pengguna biasa dan pengguna peneliti.

Sementara Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH. Salahuddin Wahid atau yang sering disapa Gus Sholah, mengajak netizen atau pengguna pengguna media sosial melawan radikalisme di media sosial dengan bahasa yang baik, santun dan argumen yang kuat. Bagi adik Gus Dur ini, ke-bhinnekaan Indonesia merupakan fakta yang tak bisa terbantahkan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Sejak dulu kita ini sudah beragam, dan ini kekuatan kita. Soal mengelola keberagaman jangan mencontoh beberapa negara yang berkonflik di Timur Tengah, justru mereka yang harus belajar ke Indonesia,” terang Gus Sholah dalam seminar yang dihadiri oleh sekitar 240 orang tersebut.

Pembicara ketiga, Wali Kota Bogor Bima Arya lebih menekankan pada pentingnya kehadiran tokoh-tokoh pemersatu seperti Gus Solah di media sosial. “Jumlah akun anonim ini ternyata banyak juga, sementara akun-akun nyata yang mencerahkan seperti Gus Sholah bertambah, tapi pertambahannya tidak sebanyak akun-akun anonim,” ungkap alumnus Universitas Parahayangan Bandung ini. (abror)