Sumber foto: nu.or.id

Oleh: Rif’atuz Zuhro*

Menjaga keutuhan NKRI adalah tugas dan kewajiban masyarakat Indonesia dalam beragama, berbangsa dan bernegara. Artinya, setiap tindakan yang mewujudkan bukti keagamaan, kebangsaan, dan kenegaran, yang dilakukan individu maupun kelompok (community) diharamkan berbuntut menggoyang keutuhan NKRI.

Gesekan-gesekan yang mengatasnamakan agama sebetulnya bukan hal baru bagi bangsa ini. Dan egosentris kaum muslim yang menjadi kaum mayoritas saat perumusan “Dasar Negara Pancasila” telah diishlahkan dengan bijak oleh KH Abdul Wahid Hasyim yang merepresentasikan kaum muslim pada panitia sembilan yang merencanakan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Sisi bijak dan toleran Kiai Wahid Hasyim itu juga diwarisi oleh puteranya, KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur.

Gus Dur yang juga merupakan cucu dari Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari itu memang seringkali membuat pernyataan ataupun sikap yang membuat banyak pihak geleng-geleng kepala.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam kesederhanaannya, Gus Dur mempunyai ide dan pemikiran yang jauh ke depan. Gus Dur menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan keberagaman yang mengandung nilai-nilai keislaman, serta kedamaian bagi siapa saja yang berada di sekitarnya, baik muslim maupun non muslim.

Oleh karena itu, jauh sebelum maraknya isu radikalisme agama saat ini. Gus Dur telah memberikan pandangannya tentang konsep negara Islam. Dalam bukunya yang berjudul “Tuhan Tidak Perlu Dibela”, tanpa menggunakan banyak dalil, Gus Dur menarasikan beberapa pandangan dari kaum ‘cupet’ (suhu pendek, sesak) dengan narasi yang sederhana dan mudah dipahami.

Menurutnya, kalau memang Nabi Muhammad menghendaki berdirinya sebuah Negara Islam, mustahil masalah suksesi kepemimpinan dan peralihan kekuasaan tidak dirumuskan secara formal. Nabi cuma memerintahkan ‘bermusyawarahlah kalian dengan persoalan’. Masalah sepenting itu menurut Gus Dur seharusnya dilembagakan secara konkrit.

Namun faktanya, hanya dicukupkan dengam sebuah diktum ‘masalah mereka (haruslah) dimusyawarahkan antara mereka’. Mana ada negara bentuk seperti itu? (Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, Hal 20).

Gus Dur juga menerangkan bahwa asas negara mayoritas muslim di dunia menggunakan asas yang berbeda-beda. Di Indonesia berasas politik tunggal dalam bentuk Pancasila. Di Iran, secara definitif didirikan Republik Islam. Di Aljazair, sebuah negara ‘Arab Sosialis’ yang menyatakan secara formal dalam UUD nya bahwa agama resmi negara adalah Isam. Sedangkan di Arab Saudi dinyatakan Al Qur’an sebagai konstitusi, walaupun negaranya sendiri bukan negara Islam formal. Sungguh sangat beragam.

Menurut Gus Dur, memang tidak mudah membicarakan ada tidaknya konsep kenegaraan dalam Islam. Di samping kesulitan politis, ada juga sebuah kesulitan yang sebenarnya teknis, yaitu belum adanya kesamaan pemahaman atas istilah-istilah yang digunakan. Umpamanya saja istilah ‘konsep negera’.

Bahwa istilah konsep negera berarti sebuah teori kenegaraan yang lengkap, tuntas dan terperinci, yang sama sekali berbeda dari teori-teori lain (seperti teori ekonomi Marxis berbeda dengan teori ekonomi Kapitalis). Jika itu yang dimaksud oleh pengusung khilafah, maka belum ada konsep negara Islam yang jelas. Selama belum ada kejelasan-kejelasan seperti itu, menurut Gus Dur sebenarnya sia-sia saja diajukan klaim bahwa Islam memiliki konsep kenegaraan yang baku.

Gus Dur pernah menuliskan, Ali Abdel Raziq di Mesir dalam tahun 1940-an yang menulis buku Al Islam wa Qawa’id as Sulthan (Islam dan sendi-sendi kekuasaan) yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul Islam and The Best of Power. Dalam bukunya, (seperti yang dikutip Gus Dur), Abdel Raziq menyangkal adanya kerangka kenegaraan dalam Islam. Al Qur’an tidak pernah menyebut adanya negara Islam (Daulah Islamiyah, an Islamic state). Al Qur’an hanya menyebut negara ‘yang baik’ yang penuh ampunan Tuhan (Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafur).

Dalam argumentasinya, Abdel Raziq meyakini bahwa ada tiga alasan cukup kuat dan masuk akal yang mendasari tidak adanya konsep negara Islam di dalam Islam. Pertama, Al Qur’an tidak pernah ada doktrin. Kedua, perilaku Nabi Muhammad sendiri tidak memperlihatkan watak politis, tetapi moral. Ketiga, Nabi Muhammad juga tidak pernah merumuskan secara definitif mekanisme penggantian pejabatnya.

Pemikiran Gus Dur memang jauh melintasi masanya. Kegemaran menulis Gus Dur terus memberikan manfaat bagi bangsa ini melalui tulisan dan pemikirannya. Maka dalam buku “Islamku, Islam Anda, Islam Kita” Gus Dur mengatakan:

“Islam perlu dikembangkan, tidak untuk dihadapkan pada serangan orang. Kebenaran Allah tidak berkurang sedikitpun dengan adanya keraguan orang. Maka ia pun tentram. Tidak lagi merasa bersalah berdiam diri. Tuhan tidak perlu dibela, walaupun juga tidak menolak dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita lihat dalam perkembangan di masa depan.”

Lantas, anda membela siapa?