Oleh: Amin Zein*
Kesesuaian Antara Ucapan dan Perbuatan
Profesi sebagai guru kini sedang diperebutkan, bahkan menjadi tumpuhan harapan hidup bagi orang banyak. Perguruan tinggi pun kini sedang meningkat drastis, program studi yang meluluskan para guru profesional. Dahulu, orang menjadi guru adalah pilihan yang terakhir tatkala sudah tidak ada mata pencaharian lagi. Menjadi guru lah pilihanya. Bahkan di tahun 80-an pengangkatan guru PNS hanya diumumkan lewat lembaga secara manual dan dengan acungan tangan. Kalau seorang guru bisa menjadi PNS, hal ini menunjukkan bahwa saat itu guru menjadi pilihan terakhir dalam urusan profesi status di masyarakat.
Di era tahun 2000-an ketika KH. Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI ke-4, seluruh PNS yang berprofesi sebagai guru penghasilanya menjadi meningkat, sehingga hal ini menjadikan para orang tua yang mempunyai anak lulus sekolah menengah atas akan dimasukkan ke perguruan tinggi yang mencetak guru profesional dan berkualitas, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan niat mengkuliahkan anak ke perguruan tinggi, nantinya si anak akan benar-benar menjadi guru? Apakah profesi guru memang layak untuk diperbutkan? Jawabanya ada di diri kita masing-masing.
Teringat saat masih kecil, guru-guru kita begitu sabarnya mendidik kita. Bahasa yang beliau pakai sangatlah mendasar tetapi mendalam dan menancap selalu di hati. Setiap apa yang beliau sampaikan menjadi penyejuk hati dan menjadikan kita akan selalu ingat apa yang beliau ucapkan. Sungguh pelajaran-pelajaran yang bermakna dan berharga dicontohkan dengan perbuatan yang benar-benar sesuai dengan apa yang beliau sampaikan. Kita sangatlah beruntung mendapatkan guru yang begitu hebat dan super hingga mampu mencetak orang-orang berilmu dan berkualitas mempunyai integritas yang sangat luar biasa. Lantas apakah rahasia dibalik itu semua hingga sekarang kita bisa merasakan akan kemanfaatan ilmu yang sudah beliau sampaikan dan kita amalkan?
Nilai-nilai yang ditanamkan oleh guru-guru kita sangatlah dalam dan menggunjam di hati para murid-muridnya. Bagaimana tidak, ilmu yang beliau sampaikan semuanya menjadi kan kita seorang yang mengerti mana yang benar dan mana yang salah, mana yang menjadikan pahala dan mana yang menjadikan dosa, mana yang menjadikan mashlahat dan mana yang menjadikan madharat, mana yang menuntun kita ke syurga-Nya dan mana yang menjerumuskan ke neraka-Nya. Hal inilah yang membuat kita merasa bahwa apa yang beliau sampaikan dan ajarkan saat itu memang benar-benar dilandaskan akan keikhlasan dalam mendidik kita semuanya. Keikhlasan inilah yang sangat mendasar demi tercapainya ilmu yang manfaat dan barokah.
Mempunyai nilai Kejujuran dalam berucap dan bersikap, inilah yang ditunjukkan oleh guru-guru kita terdahulu, berani berkata dan bersikap jujur dalam kondisi apapun itu. Hal ini sangat mudah untuk dibicarakan, namun sangatlah sulit untuk diterapkan. Banyaknya guru yang hanya mengandalkan kualitas keilmuanya, tapi mengabaikan akan nilai kejujuran ini, wal hasil apa yang guru sampaikan tidak sampai ke hati para muridnya, karena apa yang guru sampaikan tidak sesuai dengan prilaku keseharianya. Pada dasarnya murid akan meniru apa yang mereka lihat pada pendidiknya. Teringat ucapan beliau KH. Salahuddin Wahid, “Saat ini mencari orang jujur sangatlah sulit”. Kami yang mendengarkan perkataan Beliau hatipun bergetar, terngiang selalu di telinga akan sikap yang selalu dicontohkan oleh Beliau pada ribuan santri tentang pentingnya dan langkanya orang yang bersikap jujur pada saat ini.
Bertanggungjawab akan Ilmu yang Disampaikan
Bagaimana tidak, kita yang diajar oleh guru-guru kita terdahulu mempunyai bobot keilmuan yang begitu besar, sebelum beliau mengajarkan materi pada kita semuanya, beliau muthola’ah terlebih dahulu, tentunya dengan beberapa sumber ilmu yang akan disampaikan pada murid-muridnya. Sehingga apa yang beliau sampaikan menjadi satu pengetahuan yang utuh dan bisa dipertanggung jawabkan keabsahan keilmuan yang disampaikan pada kita semuanya.
Ada perasaan yang tidak nyaman, dalam bahasa jawanya “getun” saat kita tidak masuk atau berhalangan hadir dalam majlis itu, sehingga kita menanyakan pada teman untuk menjelaskan apa yang sudah beliau sampaikan di pertemuan tadi (hal ini sudah sangat langka dalam proses belajar mengajar tatkala murid tidak masuk sekolah di zaman seperti ini).
Bukan Tugas Guru Memaksa “Murid Harus Paham”
Kesabaran guru dalam mendidik sang murid juga menjadi landasan penting untuk terwujudnya murid menjadi sukses dan berhasil. Teringat ucapan dari Beliau KH. Maimun Zubeir Sarang, saat kami sowan ke beliau, berpesan, “Jadilah guru yang baik, yang memberi pemahaman murid menjadi paham bukanlah guru, tapi Allah lah yang memahamkan mereka semua”.
Dari sini bisa kita telaah, bahwa seorang guru tidak diperkenankan untuk memaksa muridnya menjadi paham dan sesuai kehendaknya. Guru-guru kita terdahulu selalu menuntun kita memberi suri tauladan dengan contoh-contoh para ulama atau kyai-kyai sepuh yang sudah membuktikan kesuksesan dalam kesabaranya. Kalaupun ada hal yang di luar kesabaran hingga memunculkan emosi guru, maka beliau-beliau selalu mendo’akan dan meminta maaf akan apa yang sudah diperbuat. Bahkan setelah itu mendoakan yang positif kemudian kembali seperti sebelum marah.
Asas Ketawadlu’an Tak Bisa Ditawar
Sikap ketawadlu’an guru dalam mengajar juga menjadikan kunci keberhasilan guru mendidik para murid, hal ini sesuai dengan ajaran para ulama salaf al-shalih dan para kyai yang selalu mengajarkan sikap kerendahan hati dan kesederhanaan dalam hidup. Budaya cium tangan salah satu bukti bahwa seorang murid tawadlu’ kepada gurunya, hal ini harus tetap dipertahankan, setinggi apapun kualitas keilmuan si murid, mungkin jabatan atau stratanya melebihi gurunya, tapi tetaplah ketawadlu’an pada seorang guru mutlak tidak bisa di tawar lagi. Justru dari ketawadlu’an seorang murid pada guru itulah yang menjadikan murid itu berhasil.
Tidak lupa para guru dahulu selalu meminta maaf, mengucapkan terima kasih serta mendoakan para murid di saat hendak mengakhiri pelajaran. Sungguh pelajaran yang sangat mulia, memberikan pelajaran tentang menghargai antar sesama. Sedikit menceritakan saat kami mendampingi Beliau KH. Salahuddin Wahid, saat itu kami sedang bepergian ke luar kota, dipertengahan jalan kami berhenti di minimarket untuk membeli beberapa minuman dan makanan ringan yang akan kami bawa bekal untuk di perjalanan. Seketika itu beliau langsung menawarkan “Silahkan ambil yang Amin suka apa?”, saat itu juga kami bingung harus menjawab apa, karena kamilah seorang santri yang menjadi pelayan beliau, malah beliau yang menawarkan terlebih dahulu.
Setelah itu kami bawakan tas beliau, dan beberapa belanjaan yang sudah kami beli. Di mobil, beliau langsung mengucapkan, “Terimakasih sudah membantu saya dan membawakan tas saya”. Subhaanallah, apa yang diucapkan beliau sangatlah dalam dan buat kami sudah menjadi tanggung jawab kami seorang santri melayani seorang kyai. Dari sini bisa kita ambil pelajaran begitu sifat dan sikap keteladanan beliau dalam memberikan contoh pada kami, selalu meminta maaf, dan mengucapkan terima kasih pada sesama tanpa memandang strata. Sungguh sikap mulia yang perlu kita contoh bersama, akhlaqul karimah yang sudah beliau tunjukkan pada kami semuanya.
Nilai Unggul Pesantren
Beruntunglah orang yang bisa memasukkan anaknya di pesantren. Pada saatnya, nanti akan kembali pada pesantren semuanya. Dan kini, orang berbondong-bondong untuk memondokkan anaknya agar terselamatkan dari ancaman yang tidak baik dari perkembangan zaman. Sekarang dengan berkembangnya teknologi dan perkembangan zaman yang begitu bebasnya, terjadilah degredasi moral yang begitu dahsyatnya menjadikan para orang tua resah, bagaimana tidak, perkembangan anak yang begitu cepatnya sampai melampauhi pengetahuan orang tua dengan teknologi yang begitu canggih.
Pesantren tersedia untuk menjawab tantangan itu. Laju mobil teknologi yang sangat cepat dan ekspres, harus dicarikan rem yang sangat cakram. Pesantren lah rem itu. Nilai keagamaan dan spiritualitas yang semakin ditinggalkan, diperdayakan oleh pesantren dengan dampingan ilmu-ilmu yang lain, termasuk juga sains dan teknologi. Pesantren bukan hanya sarang rehabilitasi anak nakal, namun jauh lebih dari itu adalah lembaga pencetak kader berakhlak dan siap terjun di masyarakat.
Dari uraian singkat ini, akankah kita mengabaikan atau meneruskan nilai-nilai yang sudah diajarkan oleh guru-guru kita semuanya. Mari kita menginstropeksi diri kita masing-masing agar menjadi guru yang benar-benar dijalan ridloNya dengan meneruskan perjuangan ulama salafu al-shalih dan para kyai-kyai yang sudah mengajarkan kita semuanya akan nilai-nilai luhur yang bermanfaat dan barokah. Teringat ucapan KH. Zarkashi dalam bukunya, “Menanamkan nilai pada anak, tidak semudah membubuhkan nilai pada rapor anak”.
*Penulis adalah dosen UNHASY Tebuireng Fakultas Tarbiyah menjabat sebagai Kaprodi MPI (Manajemen Pendidikan Islam)