ilustrasi waktu dan masa. (freepik)

Oleh: halub©*

Risin

Kita tak sama, cara pandang kita bukan menjilat. Babak belur dengan peluh sendiri, merayap mempelajari apa pun yang harus.
Kena-kena kepergian manusia congkak ber-ruh binatang bajingan, selalu lupa, sudah banyak dibuat kenyang,
Malah membuat malu mampus majikan. Sabar-sabar dengan iblis ber-raga manusia, dikasih kenyamanan, dibalas dengan,
Kekejaman, tak ada nurani, kecuali—kebangsatan yang takkan pernah terobati. Selalu melawan; kebijakan yang,

Seharusnya dipatuhi. Ber-raut memuakkan, berjalan bak bajingan yang tak pernah mau tahu perasaan.
Pandir, terlalu banyak keluh kesah. Segalanya haruslah nyaman dirasa, masih tinggal di bumi, maunya begitu.
Terpakas kita campakan kebajingan yang terlampau akut, dengan rasin berbalut makanan, minuman yang kita sajikan.

Mampus-mapuslah segera menuju neraka. Jengah kita memandang iblis berlaga manusia.
Segera mati-matilah terus hingga matahari tak terbit lagi, hadir di dunia hanya untuk merusak bumi.
Tak pernah tahu malu. Menghina, merendahkan, mengkerdilkan orang hidup—sudah terlalu biasa.

Sebab genetik kebangsatan akut, orang mati pun harus dicari-cari, dibuat-buat makian yang terdengar renyah,
Dan menyeret banyak orang, agar ikut satu barisan, haluan pada kegelapan hati yang tak akan pernah bertepi,
Kecuali di jurang neraka yang juga tak berujung. Selalu menilai orang lain iri dengki hasad kepadanya.
Najis tak terbatas, menganggapnya ada saja tak perlu. Buat apa iri dengki hasad kepada babi.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pmlg, Ahd, 140724, halub©



Gelapnya Masa Silam

Kau tahu, masa silam?
Sudah kukubur, tetap tak kabur

Kesibukan palsu yang kupaksakan,
Menenggelamkannya, hanya sesaat.

Tempat yang tak akan pernah kukunjungi!
Penjara durja, yang selalu mencari mangsa.

Mengatasnamakan peduli, bantu-bantu,
Ujung-ujungnya—nafsu bejat.

Hewan-hewan buas beralih tubuh, manusia rela mengenakannya.
Rupa sempurna, hancur karena dosa,
Dengan dungu berlindung,

Di balik tabir, “SIAPA SIH YANG TAK PERNAH BUAT DOSA!?”
Mata-mata lemah yang dinyalakan,
Sudah lemah, malah menyalak.

Peka telah mati di ujung tombak,
Pribadi kaku beku, berlagak sosialis.
Sudahlah salah, marah-marah pula,
Gelap-gelapnya masa silam.

Pandai bercicit ini itu kurang, coba begini begitu—tentu tak semenyesal sekarang.
Ramai di Maya, bisu di nyata.
Apalah yang mau diangkuhkan?

Sebab hari esok selalu misteri,
Keputusan penyesalan harus jadi pelajaran!
Bingung-bingung, gabut. Menjalani kehidupan saat ini saja, selemah itu!

Bagaimana esok? Kesenjangan pribadi saja, orang lain harus menanggungnya?
Gelap, beberapa tahun silam, apa saja yang sudah kauperbuat?
Makin silamlah sudah, bagaimana tak bingung,

Baca saja malas! Minimal sehari itu, bacalah buku!
Mengurus diri sendiri saja begini, bagaimana esok!? Gelap sudah!
Kau hari ini, adalah kumpulan masa silamkau.

Beradaptasilah! Usiakau, tak lagi belia. Banyak-banyak lah mengaca!
Siapa lagi yang dapat menolong kau, kecuali, dirikau sendiri.
Tak pernah mau tahu malu. Merasa kelakuankau baik-baik saja.

Pmgl, Ahd, 140724, 10.03, halub©



Jaga

Yang harus dipertahankan, tak lagi butuh pertanyaan. Buat pengukuhan? Semu, terlalu berbelit di pembantahan. Makanan haram, menjadi sebab fundamental. Apa pun yang diraih dengan keilegalan.

Jaga agar tak kacau, suatu wadah pengikat ketidakteraturan, ketidakpastian, genggam erat, jangan diabaikan. Menerima kemudahan, menjauhi larangan. Mahal harga sebuah penjagaan.

Jaga diri baik-baik, jangan diberikan kepada yang tak berhak, hancur nanti. Mental, pikiran, raga pun bisa luluh lantah amburadul tak karuan. Jangan anggap enteng.

Uang boleh dicari, tapi tidak dengan harga diri. Duit boleh melimpah, tapi dengan jalur legal, bukan melegalkan yang ilegal atau yang samar-samar. Jika telah ada, jangan sembarang dihabiskan,

Kalau bukan pada tempatnya mereka digunakan, pelik nanti, itu pasti. Sedikit saja diperhitungkan, apa lagi banyak. Jangan berpikir tentang hari ini saja, nanti akan ada hari mulut dikunci.

 Jika tak bisa jaga diri, apa yang akan diwariskan nanti? Bila semua dianggap remeh, terlebih hal-hal penting, kebaikan apa yang akan membantu nanti, sekarang bisa tertawa santai meremehkan,

Esok, ketika kita semua terdiam dengan perbuatannya masing-masing, mengapa harus sampai tak bisa apa-apa lagi, baru menyadari semuanya? Tahan nafsu bejat itu. Jika tidak, binasa sudah.

Bukan kapan-kapan, sekarang. Kapan-kapan bermakna tak kan pernah, seringnya. Sekarang berat, faktanya. Tapi itulah yang jujur menyelamatkan. Siapa juga yang tak tahu kefanaan ini?

Tindak tanduk, perhatikan. Jangan bersebab kesal, legal gila. Jangan. Tak ada juga yang bisa menjaga akal-akal yang terpasang, kecuali si empunya. Kalau sudah bosan berakal, terserahlaPergaulan terpengaruh, ke arah yang keruh. Keturunan apa yang akan dipertaruhkankan kelak? Sudah berumur, masih berlagak remaja. Sudah bau kubur, masih saja tak mau mengukur diri.

Cls, Sen 150724, 16:44, halub___