KH. Musta’in Syafi’i memberikan mauidzah hasanah kepada para santri di halaman Pesantren Tebuireng dalam rangka memperingati hari santri, refleksi resolusi jihad, Sabtu (21/10/17). (Foto: Kopi Ireng)

Oleh: KH. A. Musta’in Syafi’ie

إِنَّ الْحَمْدَلِلهِ، نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُهُ، وَ نَعُوْذُ بِهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ اَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّابَعْدُ

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْ اللهَ، اِتَّقُوْ اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، أَعُوْذُبِالله مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ، صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ

Ini kali kesekian tentang materi khutbah bahwa kehidupan itu hakikatnya dimulai justru setelah umur 40 tahun, life begin at forty. Oleh surah al-Ahqaff, (memberi aturan) ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh orang yang sudah berumur 40 tahun. Kali ini, mungkin yang ke-delapan. Masuk pada poin wa an a’mala sholihan tardhohu.

Bahwa hidup di dunia ini, kita harus ada responsibility, siap mengerjakan amanat ibadah. Amanah ibadah ini mutlak, dan nantinya akan dipertanggungjawabkan. Ada accountability di akhirat nanti, dipertanggungjawabkan. Karena itu, segalanya harus merujuk kepada Allah Swt.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Memang, ada bahasa-bahasa dalam al-Quran al-Karim tentang amal saleh. Tetapi di dalam ayat ini, amal saleh tardhahu, yang Engkau ridhai. Memang susah, atau tidak semuanya amal kita itu diridhai Allah. Kita mencari amal yang diridhai. Segala hal yang menimpa diri kita, kembalikan kepada Allah. “Ya Allah, kalau Engkau senang menghendaki saya begini, maka saya juga senang.”

Seperti yang diperagakan oleh Imran ibn Husain. Dia sakit parah. Sampai 30 tahun sakit. Setiap orang yang menjenguk itu menangis, kasihan, sakit kok tidak sembuh-sembuh, padahal dia orang mulia seperti itu. Pakar di bidang hadis. Orang tabi’in ini memang hebat, setiap kali ada yang menjenguk begitu, Imran ibn Husain mengatakan, “Ya Allah, kalau Engkau senang menghendaki saya begini, maka saya juga ridha.”

Itulah hamba yang masuk pada kriteria;

رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ

Untuk itu, bisa membuat mental yang hebat, jujur, dan tidak manipulasi maka ada pendidikan-pendidikan. Dibangunlah sebuah akhlak. Disamping akhlak adalah ilmu. Tapi, sepanjang pendidikan yang disampaikan Hadratu Rasul Nabiyullah Muhammad Saw. (adalah) justru akhlak. Akhlaklah yang keluar dari madrasah rumah Rasulullah.

Didikan Rasulullah, contohnya adalah Usamah. Usamah ini adalah cucu dari anak angkatnya yang berasal dari budak Usamah bin Zaid. Umur 18 tahun sudah betul-betul, mampu dia menjadi panglima perang. Sehingga kita bisa bertanya kepada diri kita, pendidikan kita, anak kita, umur 18 tahun itu bisa apa? Bisa apa anak kita ini, memang belum matang tapi kita berusaha seperti itu.

Maka kita nukil sejenak Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dengan kisah-kisah bagaimana beliau menyikapi para santri. Yang terkenal adalah Hadratussyaikh itu dalam soal akhlak; termasuk jamaah shalat, mereka yang ketahuan tidak jamaah shalat itu ditakzir dengan mencium kemaluan sapi betina. Menurut sebagian cerita, sapi juga begitu ketika dipakai untuk takzir santri yang tidak jamaah, begitu dicium itu langsung pipis atau kencing. Entah apa yang terjadi, cerita ini sudah umum (banyak yang tahu).

Hal yang saya garisbawahi bukan masalah itu. Tapi Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari ini mentakzir santri itu bukan karena masalah bodoh, tidak bisa membaca kitab, sulit diajari, dan seterusnya. Tapi (yang ditakzir) itu santri yang akhlaknya sedang kurang bagus, ibadahnya kurang bagus.

Karena itu, kita bisa bertanya pada diri kita sendiri, “Beranikah, lembaga-lembaga pendidikan di dunia ini menjadikan akhlak sebagai pedoman tolok ukur, pedoman untuk kenaikan kelas.” Dalam artian, ada anak tidak begitu rajin shalat, tidak shalat, suka berbohong, akhlaknya kurang bagus, apakah bisa lembaga pendidikan kita ini tidak meluluskan anak yang ibadahnya tidak bagus seperti itu. Yang ada (kriteria lulus), biasanya yang nilainya 9, 10 dan lain-lain.

Untuk itu, mereka yang dididik di dalam paduan akhlak dan ilmu seperti ini, menjadikan generasi itu tumbuh jujur, tumbuh eksis, tumbuh bertanggung jawab, dan tidak manipulasi atau mereka-reka. Karena nanti di bidang keilmuan, bisa saja orang itu membuat rekaan-rekaan karena ilmunya sendiri.

Bisa dibuatkan contoh bahwa dengan progam yang pernah dicanangkan Hadratu Rasul Nabiyullah Muhammad Saw. mengubah pemerintahan yang semula tertutup (dari raja-raja), kemudian hanya dengan 9 tahun mendidik pemerintahan umat Islam sudah bisa, memilih kepala negara sendiri. Lahirlah khulafa’u ar-Rasyidun meskipun resikonya, cost-nya juga tinggi. Model musyawarah atau kalau orang sekarang mengidentikkan dengan demokrasi, walaupun tidak sama. Cost-nya juga tinggi.

Dari keempat khulafa’u ar-Rasyidun, seluruhnya mati dibunuh karena perbedaan tafsir dalam berpolitik. Kecuali satu, yaitu Abu Bakar. Walaupun begitu, riwayat menunjukkan bahwa Abu Bakar setahun sebelum (meninggal) pernah diracun lembut, sehingga dibiarkan karena sudah tua. Nanti akan mati sendiri. Betul, kekuasaan Abu Bakar hanya dua tahun lebih sedikit.

Umar juga wafat dalam shalat, dibunuh Abu Lu’luah. Tapi yang hebat adalah komitmen Sayyidina Umar, bertanya, “Siapa yang menusuk saya tadi.” Tertangkaplah penusuk itu, lalu Sayyidina Umar bersyukur kepada Allah. “Saya bersyukur kepada Allah, saya mati di tangan orang non-muslim.”

Pemerintahan terus bergulir, pada Sayyidina Utsman ibn Affan, yang dikeroyok di rumahnya sendiri dan kematian beliau lebih sadis lagi. Tidak langsung dibunuh. Bahkan menurut beberapa riwayat, jari-jari beliau dipotong karena termasuk penulis mushaf al-Quran dan lain-lain.

Tetapi, tidak saja berhenti disitu, diganti Sayyidina Ali ibn Abi Thalib. Inilah chaos. Inilah bermunculan persepsi-persepsi yang bersifat kepentingan. Ali ibn Abi Thalib yang pada waktu itu dalam keadaan puasa, kalau tidak salah tanggal 7 Ramadhan, hampir sama dengan tanggal wafatnya Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari.

Masih dalam keadaan puasa dan pada waktu subuh dibunuh oleh Ibnu Muljam. Di sini, lagi-lagi kalimah lâ ilâha illallah menjadi rebutan. Di sini, mushaf al-Quran dijadikan dasar untuk mem-back up melindungi diri, kepentingan politiknya sendiri. Di sini kalimah thoyyibah, kalimat tauhid dipakai untuk kepuasan nafsunya, untuk menipu orang.

Pada perang Siffin tidak sekedar kalimah tauhid yang diangkat untuk mendamaikan. Ketika pasukan itu kalah, pemberontak itu kalah, oposisi itu kalah, maka dia dengan cerdiknya mengangkat mushaf di ujung tombak. Menunjukkan bahwa dia bernaung di bawah al-Quran.

Ali bin Abi Thalib yang ‘tertipu’ dengan trik mereka, akhirnya harus membayar mahal. Pembunuhnya adalah Ibnu Muljam. Tidak banyak orang tahu siapakah Ibnu Muljam. Ibnu Muljam adalah Abdurrahman Ibnu Muljam al-Muradi al-Muqri’. Dia adalah sahabat besar, hafidz al-Quran, dia muqri’ pengajar al-Quran. Disebutkan, hafidzun zahidun, orang yang zuhud betul.

Pada waktu zaman khalifah Umar, pada waktu Amr ibn Ash itu menjadi gubernur di Mesir dan meminta guru al-Quran mengajar di sana. Justru Abdurrahman Ibn Muljam inilah yang diutus Sayyidina Umar mengajarkan al-Quran di Mesir, luar negeri.

Abdurrahman ibn Muljam ini sama, berlindung di kalimah tauhid lâ ilâha illallah dengan al-Qurannya. Tetapi, “dasar” itu dipakai untuk kepentingan politik. Untuk menumbangkan khalifah Sayyidina Ali Ibn Thalib. Setelah membunuh, dia tidak lari. Justru, dengan menuding Sayyidina Ali dan mengatakan,

لاحكم إلا لله، لا لنفسك ولا لأصحابك

“Hukum hanyaAllah, tidak untuk kamu, juga tidak teman-temanmu.”

Ibnu Muljam yang sedemikian hebat memakai al-Quran al-Karim, memakai kalimah tauhid seperti itu, sudah tertangkap. Keputusan para sahabat, bagaimana ini seorang hafidz, seorang yang mengibarkan lâ ilâha illallah, bagaimana. Keputusan para sahabat, orang ini harus dieksekusi dihukum mati. Begitu dieksekusi, ia pun masih minta kepada algojo, “Hai algojo, kamu jangan memenggal kepala saya langsung. Penggallah anggota badan saya satu per satu. Tangan saya, kaki saya, satu per satu. Biar saya bisa menyaksikan tubuhku dipotong karena Allah, karena lâ ilâha illallah.” Masih begitu.

Untuk itu, disinilah penyebab orang bisa memandang dari sisi mana sesungguhnya melihat kalimat tauhid itu dihukumi sebagai pure (murni) hukum. Kalau kalimat tauhid itu ada pada tempatnya, pada al-Quran, kitab, dan tulisan biasa, lalu kamu bakar dan kamu injak-injak, maka menurut ulama salaf itu murtad. Sama dengan pelecehan dan penghinaan terhadap Allah.

Tetapi kalau kalimat tauhid itu sudah di-frame. Masuk pada frame. Frame kepentingan, seperti menjadi bendera ormas tertentu. Seperti menjadi simbol “ini” tertentu. Kemudian melakukan kejahatan, sama dengan Abdurrahman Ibnu Muljam. Waktu akan dieksekusi, apakah kita tidak tahu ada kalimat lâ ilâha illallah di dalam hatinya. Apakah tidak tahu, di dalam dirinya itu ada al-Quran al-Karim 30 juz. Iya, tetapi kemaslahatannya lebih bagus orang ini mati. Daripada membuat onar.

Karena itu, saya juga mau bertanya dan tidak perlu dijawab. Kalau kalimat lâ ilâha illallah itu pada frame dan bi’ah (perilaku) yang salah. Maka terjadi sebuah dua ‘illat, dilihat wadahnya maka itu fasik atau buruk tapi dilihat isinya murni lâ ilâha illallah kalimat tauhid.

Saya ambil contoh. Kita tahu ada mobil, seumpama. Di kacanya ditulisi lâ ilâha illallah muhammadun rasulullah menempel kelihatan. Tapi (mobil) dipakai untuk merampok. Karena dipakai merampok itu, maka oleh massa tertangkap lalu dibakar. Apakah itu membakar “mobil perampok” atau membakar “kalimat tauhid lâ ilâha illallah”?

Inilah, kadang-kadang orang bisa berdebat disini. Tapi dihukumi yang dhohir saja. Tanpa ada tendensi apa-apa. Maka Ibnu Muljam tetap dihukum mati walaupun dia menggunakan mushaf di dalam hatinya, 30 juz al-Quran, ada lâ ilâha illallah. Tapi karena sudah masuk dalam frame yang salah, di “tempat yang salah”. Bukan tulisan “lâ ilâha illallah”-nya yang salah. Tetapi yang menyalahgunakan itulah yang salah.

Dengan demikian, kita ini bersikap, tidak lain adalah wa an a’mala sholihan tardhohu. Dalam bidang apapun, kita ini merujuk kepada Allah. Mudah-mudahan segala yang dilakukan oleh umat Islam, dengan segala ijtihadnya, segala perjuangannya, termasuk as-Salafu as-Shalih ini, benar-benar diridhai oleh Allah Swt.

 بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ الْعَظِيْم،وَنَفَعَنابه وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأٓيَةِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْم،فتقَبَّلَ اللهُ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ تعالى جَوَّادٌ كَرِيْمٌ.البَرُّ الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمُ، و الحمد للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Pentranskip: Sutan