Sumber: dareliman.or.id

Oleh: Hilmi Abedillah*

Ditengarai fikih tidak ramah dengan teknologi. Ilmu pengetahuan dan sains berkembang di tengah peradaban umat muslim modern. Namun, nampaknya fikih sebagai maskot hukum islam kewalahan mengiringinya. Relasi antara keduanya kurang begitu padu, selama kita masih mengekor pada khazanah salaf yang belum dikontekstualisasikan.

Fikih sebagai suatu ilmu yang logis, terkadang menjadi tidak logis saat berbenturan dengan kontekstualisasi yang tidak sinkron. Secara garis besar, setidaknua ada dua klasifikasi dalam relasi fikih dan teknologi. Pertama, relasi integratif di mana fikih dan teknologi seiring. Antara satu yang lainnya saling mengisi, saling menguatkan dan memberikan solusi. Kedua, relasi non-integratif yang mana di sini fikih tidak berhasil diotak-atik sehingga bisa sesuai dengan zamannya. Kadang kala menjadi tidak logis.

Relasi integratif fikih dan teknologi tercermin dalam ilmu falak. Walau bukan anak dari fikih, ilmu falak sangat erat kaitannya dalam menentukan ibadah tahunan, semisal penentuan awal ramadan. Hadits yang dijadikan mashdar hukum ialah:

 صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Puasalah kalian karena melihat hilal, dan berhentilah puasa karena melihat hilal.

Rasulullah menggunakan redaksi ‘rukyah’ yang merupakan mashdar dari fi’il madli ‘roa’. Dalam Lisanul Arab, roa ialah melihat dengan mata, membutuhkan satu maf’ul (objek). Sementara jika bermakna mengetahui, membutuhkan dua maf’ul. Dalam hadits ini, rukyah lebih tendensi pada makna pertama, dimana  awal ramadan ditetapkan oleh penglihatan hilal dengan mata telanjang.

Seiring terciptanya alat modern yang bernama teleskop, rukyah tidak dilakukan dengan mata telanjang. Dengan teleskop, kita bisa memastikan hilal berposisi ada di ketinggian berapa derajat. Ini contoh teknologi yang sangat membantu dalam mempermudah aktivitas fikih.

Sementara pemakaian makna kedua berakibat bolehnya penentuan awal ramadan menggunakan hisab (penghitungan). Pemakaian hisab pun telah terkena modernisasi, dengan penggunaan kalkulator dan rumus trigonometri (sin-cos-tan) yang tinggal pencet.

Penentuan arah kiblat menjadi praktis menggunakan kompas digital juga Global Positioning System (GPS) yang memanfaatkan teknologi satelit. Akurasinya cukup tinggi sehingga tidak perlu ada pemantapan hati serta kerumitan ijtihad dalam menentukan arah kiblat.

Melihat relasi integratif fikih dan teknologi itu, Susiknan Azhari menulis buku berjudul Ilmu Falak; Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern (2007)

Pola relasi non-integratif terlihat dalam praktik shalat jamak qashar. Perkembangan teknologi transportasi memudahkan serta mempercepat waktu tempuh seorang musafir. Jika dibandingkan dengan orang yang jalan kaki dua jam, musafir yang naik pesawat lebih mudah dan sedikit masyaqqahnya. Dalam waktu sejam, pesawat bisa berpindah dari satu provinsi ke provinsi lain. Orang pertamaa dilarang melakuakn qashar, sementara yang kedua boleh. Fikih tidak memperhitungkan waktu tempuh, melainkan jarak tempuh, yaitu dua marhalah (+/- 90 km). Padahal, kebolehan jamak qashar dilandaskan pada kaidah fikih

َالمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِر

“Kepayahan menarik kemudahan”.

Walau disebutkan bahwa yang menarik kemudahan adalah masyaqqah (kepayahan), ushul fikih menyebutkan bahwa teori rukhshoh (dispensasi hukum) harus didasarkan pada sesuatu yang mundlobith (terukur). Jarak bisa terukur, sementara kepayahan bersifat relatif-subjektif.

Dalam kasus ini, fikih tidak mempedulikan perkembangan teknologi. Tanpa kompromi, berkendara dengan sepeda motor, becak, ataupun kereta api, tidak ada bedanya dalam ukuran jarak masafatul qashri. Sekalipun masyaqqah yang ditimbulkan berbeda-beda.

Dalam fikih muamalah, teknologi telah mengubah banyak tatanan sistem ekonomi. Dari transaksi bank, jual beli online, sistem atm, sampai trading forex. Harus dipilah satu per satu mana yang teknologi yang integratif dan mana yang non-integratif. Kesemuanya tidak cukup bila dijelaskan dalam tulisan yang singkat ini.

Selain pola integratif dan non-intgratif, relasi selanjutnya dalam fikih dan teknologi bersifat mukhtalaf fih (kontroversial). Misalnya al-Quran dalam gadget. Sepihak memahami bahwa teks al-Quran dalam gadget disebut sebagai mushaf saat keadaan dibuka. Pihak lain tidak berpendapat demikian, karena gadget tidak memenuhi definisi mushaf dan gambarnya hanya digital (sekedar bayangan, bukan tulisan).

Nampaknya yang mukhtalaf fih tidak kalah banyak jumlahnya dibanding yang lain. Ini mungkin dikarenakan adanya integrasi yang tidak sempurna antara fikih dan teknologi. Satu sisi berprinsip pada kekakuan hukum, sedangkan yang lain berpijak pada esensi hukum. Dua-duanya punya kelebihan dan kekurangan. Kekakuan hukum membuat orang sulit dan kerepotan dalam menjalani hukum, sementara orientasi pada esensi memungkinkan adanya percik-percik yang hilang dari suatu hukum.

Formulasi fikih perlu dipahami oleh semua perumus hukum fikih. Teknologi diperbaru (update) setiap harinya. Fikih tentu harus dirumuskan sebagai ilmu yang berkembang pula. Jangan sampai penulisan dan perumusannya hanya mengulang masa lalu. Namun, ini bukan berarti hukum harus berubah. Semua yang masih relevan tidak perlu diubah, namun setelah mengalami pengkajian serius.

Relasi fikih dan teknologi tidak serta merta bisa disebut seiring, tidak pula anti-kompromi. Perkembangan teknologi tidak dapat diacuhkan begitu saja. Kompleksitas istinbath (menentukan) hukum patut mempertimbangkan keberadaannya yang efektif. Penentuan hukum yang tidak sederhana diharapkan mempu memberikan solusi terbaik bagi kelancaran hidup manusia. Maslahat dalam teknologi diharapkan tidak menghancurkan maslahat dalam hukum islam.


*) Alumni Ma’had Aly Hasyim Asy’ari