Alkisah, “Pada suatu waktu ada seorang kiai memberikan ceramah keagamaan kepada ibu-ibu. Pada kesempatan itu, sang Kiai memberinya fatwa mengenai masalah hukum keluarga khususnya masalah perceraian. Menurut sang Kiai, salah satu alasan seorang isteri boleh minta cerai kepada suaminya yaitu jika suaminya kencing berdiri sembari menghadap qiblat. Dari para ibu-ibu yang ikut mengikuti pengajian sang kiai, kebetulan ada seorang isteri yang sedang berseteru dengan suaminya. Mendengar kiainya berfatwa demikian.
Lantas, sesampainya di rumah seorang perempuan yang telah bersuami memperaktikan fatwa sang kiai. Si isteri tadi mengintip suaminya ketika berada di kamar mandi. Tak pelak, seketika itu ia mengetahui bahwa suaminya kencing berdiri sekaligus menghadap qiblat. Tanpa ragu-ragu pun si isteri kemudian menggugat suaminya dan menjadi alasan kuat untuk meminta cerai kepadanya. Walhasil, oleh pengadilan ketika itu diputuskan untuk bercerai.
Tak berapa lama kemudian, si janda tadi diperistri oleh sang kiai yang memberikan fatwa. Ditengah perjalanan kehidupan rumah tangganya bersama sang kiai timbulah suatu permasalahan yang kompleks. Tak pelak, perang urat saraf antara suami dan isteri pun tak terelakan. Dalam hal ini, lagi-lagi si perempuan yang kini menjadi isteri Kiai memperaktikan fatwa suaminya yang pernah disampaikan. Si isteri pun mengintip suaminya i di kamar mandi. Dan ketika tahu bahwa sang kiai kencing berdiri serta menghadap qiblat, maka si isteri pun kembali menggugat suaminya dan menuntut agar ia segera diceraikannya.
Ironisnya, ketika sampai di hadapan pengadilan sang suami mampu mengecohnya. Sang kiai dihadapan pengadilan berpendapat yang cukup rasional. Kiai berkata: Memang benar, ketika saya kencing dikamar mandi sembari berdiri dan menghadap kiblat. Tetapi alat kelaminnya dibelokkan ke arah Selatan. Akhirnya, karena kepandaiannya bersilat lidah itulah, pengadilan tidak jadi memutuskan bercerai”. (Kisah diambil dari penuturan Nyai Khairiyah Hasyim, saat beliau mengaji kepada ayahnya. KH. Hasyim Asy Ari)
Dari kisah diatas setidaknya ada pesan moral yang dapat kita petik. Pertama, seorang guru harus memiliki tanggungjawab terhadap ilmu yang disampaikannya kepada muridnya. Kedua, seorang guru harus mampu berbuat baik. Artinya mampu memberikan teladan kepada muridnya. Ketiga, seorang murid juga harus mengamalkan ‘ilmu’ apa yang diajarkan gurunya. Dengan demikian, seorang guru dimanapun dan kapanpun memiliki tanggung jawab sosial untuk menampilkan budi pekerti yang baik. Pasalnya, guru di gugu(dianut) dan ditiru.
Kaitanya dalam masalah etika guru kepada murid. Hadratus Syaikh Kiai Haji Hasyim memberikan beberapa kode etik guru. Setidaknya ada enam poin yang beliau kelompokan yaitu: pertama, Bersih dan rapih. Kedua, Niat tulus dan ikhlas. Ketiga, Menyapa murid, seperti salam. Keempat, Menghadap murid dengan baik. Kelima, Lemah lembut. Keenam, Berdoa. Perilaku keteladanan seorang guru juga tidak saat berada di dalam tempat mengajar. Diluar pun juga harus memberikan cermin yang baik.
Dalam kehidupan bermasyarakat kita sering mendengarkan ungkapan seorang pepatah yang sangat populer, guru kencing berdiri murid kencing berlari. Artinya, jika guru tak memberi teladan yang baik maka muridnya pun akan mengikutinya. Tentunya, sangat mengerikan jika seorang guru tak mampu memberikan teladan yang baik. Betapa sering kita dengar dan lihat banyak diantara guru yang tak memberikan teladan yang baik khususnya ketika diluar tempat mengajar. Misalnya, egois dan arogant. Serta tak peduli dengan orang lain.
Padadasarnya seorang guru tidak hanya bertugas melakukan transfer ilmu pengetahun semata namun juga berbudi pakerti yang luhur. Jika nilai-nilai keteladanan terabaikan dari seorang guru sudah pasti akan di contoh muridnya. Tak pelak, fenomena banyak pelajar yang justeru menjadi pribadi yang gemar tawuran dan terjerumus ke dunia hitam. Yang sudah pasti dekat dengan narkoba, sek bebas, dan tak bermoral menjadi pemandangan mata yang tak sedap. Menunjukan kegagalan yang seorang guru dalam mendidik muridnya. Bukankah, sepandai apapun seseorang tak akan ada nilainya jika tak menunjukan akhlak yang terpuji?
Hemat penulis, ditengah kehidupan modern, dimana peranan tekhnologi dan informasi beragam budaya tak sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama mudah diakses oleh siapa saja khususnya dalam hal ini para pelajar. Jika para generasi muda ini tak memiliki kepribadian baik yang kokoh tentunya akan mudah kehilangan karakter. Peran guru amat dibutuhkan dalam hal ini. Menggugah, seorang guru untuk menjadi teladan yang baik penting dilakukan. Dengan demikian, upaya untuk meminimalisir perilaku-perilaku negatif yang dilakukam oleh seorang pelajar dapat teratasi. Tanpa adanya usaha itu, jelas akan menjadi persoalan yang tak akan pernah terselesaikan.
Oleh Ahmad Faozan, Pendiri Sanggar Kepoedang(Komunitas Penulis Muda Tebuireng)